Minggu, 10 Juni 2012

Kontroversi Kontrak Pembangunan PKR 10514


PKR 10514

Hingar bingar belanja alutsista TNI yang sedang menuju panen raya tahun ini tiba-tiba “dikejutkan” dengan kontrak kerjasama pengadaan 1 unit kapal perusak kawal rudal (PKR) antara Kemhan RI dengan DSNS (Damen Schelde Naval Shipbuilding) Belanda. Kontrak itu ditandatangani Selasa tanggal 5 Juni 2012 di Jakarta. Kemhan diwakili oleh Kepala Baranahan (Badan Sarana Pertahanan) Mayjen TNI Ediwan Prabowo dan DSNS diwakili oleh Director Naval Sale Of DSNS Evert Van Den Broek.

Mengapa harus terkejut, karena komunitas militer dan publik kita tidak menyangka akan adanya penandatanganan kontrak PKR karena proyek itu sudah dianggap mati suri. Padahal awalnya harapan begitu besar disandangkan terhadap proyek PKR light fregat ini yang kelak akan menghasilkan 10 kapal perang PKR dengan pola transfer teknologi. Tetapi ketika membaca nilai kontraknya hanya menghasilkan nilai 1 produk yang biasa-biasa saja dan hanya bernilai kontrak US$ 7 juta untuk bagian PT PAL. Sedangkan sisa dari nilai kontrak yang US$ 220 juta tetap milik Damen Schelde meski dinyatakan bahwa kapal itu akan dirakit bagian-bagiannya di PAL Surabaya. Ironisnya ketika bicara transfer teknologi, RI harus bayar lagi sebesar US $ 1,5 juta pada guru mantan kolonialnya.

Diantara semua paket pengadaan alutsista TNI, paket kontrak dengan Damen Schelde ini merupakan paket yang berakhir anti klimaks padahal ereksi harapannya sudah cukup lama tapi tak mampu juga penetrasi. Bandingkan dengan pengadaan Leopard yang sempat diributkan itu tetapi sesungguhnya komunitas forum militer dan publik tanah air mendukung kehadiran MBT Leopard. Namun ketika kontrak pengadaan PKR 10514 (Kapal perang dengan panjang 105 meter dan lebar 14 meter, berat 2335 ton) ini di sign, kritik yang bertubi-tubi ditembangkan oleh komunitas itu tak terkecuali oleh wakil ketua Komisi I DPR TB Hasanudin.

Kalau dalam proyek pengadaan Leopard komunitas militer yang tergabung dalam formil kaskus sebagian besar kontra dengan TB Hasanudin maka kali ini sebagian besar mereka justru mendukung langkah TB Hasanudin untuk membawa persoalan kontrak itu dalam rapat dengan Kemhan minggu-minggu mendatang. Banyak hal yang perlu ditanyakan, diklarifikasi sehubungan dengan pola kerjasama pengadaan alutsista kapal perang yang dinilai banyak kalangan bersifat setengah hati. Setengah hati di pihak Indonesia sebangun dengan setengah hati pihak Belanda.

Proyek PKR ini sudah tersendat lebih dari empat tahun dengan berbagai cerita yang tak berujung. Setelah KRI Sigma ke empat di terima, publik dilambungkan dengan rencana proyek Kornas (korvet nasional) atau yang disebut Sigma jilid 5, lalu berubah lagi dengan memajang proyek PKR, dan bahkan sudah pakai acara potong baja sebagai simbol dimulainya proyek itu. Namun setelah itu tak ada kabar lagi. Lalu tiba-tiba ada rencana mengakuisisi 3 kapal perang dari jenis Nachoda Ragam Class, tiga perawan tua yang tak laku-laku. Awalnya sudah dipinang Brunai namun tak lama dibatalkan karena spek teknisnya tak sesuai dengan permintaan Brunai walaupun negeri kaya minyak itu sudah membayar lunas maharnya.

TNI AL memang masih membutuhkan banyak kapal perang berbagai kelas untuk memenuhi ambisinya membentuk 3 armada tempur. Diantara berbagai proyek pengadaan kapal perang itu tercatat proyek kapal cepat rudal buatan galangan swasta nasional yang berjalan mulus. Selama 2 tahun terakhir ini sudah jadi 2 KCR Clurit Class. Proyek pengadaan 3 kapal selam kelas Changbogo dari Korsel sedang berjalan meski jalan ke arah sana berliku sampai membutuhkan 5 tahun untuk memilih jenis kapal selam yang bagaimana yang akan mengawal perairan RI. Meski sempat bangga dengan rencana menghadirkan 2 kapal selam kelas Kilo dari Rusia namun akhirnya kapal selam kelas U209 dari Korsel yang terpilih karena ada sekolah transfer teknologinya.

Ada pertanyaan menggelitik mengapa untuk urusan pengadaan kapal pemukul permukaan kita harus berkiblat ke Belanda. Padahal masih banyak negara yang mampu membuat jenis kapal yang sekelas dengan pola yang lebih ramah dalam perjanjian kerjasamanya, misalnya Italia. Ada kesan dalam setiap pengadaan alutsista dengan negeri penjajah ini mereka selalu beranggapan bahwa mereka merasa diatas kita derajat kelasnya. Lihat saja ketika kita mau pesan Leopard, Belanda mempersyaratkan berbagai macam hal seperti HAM dan Papua. Namun ketika kita balik arah ke Jerman mereka senewen juga dan minta bagian separuhnya daripada tidak dapat sama sekali. Menepuk air di dulang tepercik muka sendiri.

Sebagai negeri penjajah, sudah tiba saatnya bagi Belanda untuk memamerkan langkah kedewasaan sikap dengan lebih banyak membagi ilmu, mempertaruhkan langkah arifnya daripada sekedar berbisnis murni. Proyek kerjasama dalam bentuk apa pun semestinya dijadikan langkah untuk mempromosikan diri sebagai bangsa yang menghargai nilai-nilai kebersamaan dan harkat. Bukan selalu mendikte dan merasa paling pintar. Ingat jaman IGGI, ingat lagak Mr Pronk dekade 90an. Sayangnya juga kita masih berada dalam lingkar langgam sebagai anak jajahan dengan pola pikir banyak mengangguk, sehingga kita juga tak mampu membebaskan diri dari pengaruh bathin 350 tahun itu.

Negara-negara industri alutsista di Asia seperti Korsel dan Cina selalu menampilkan gaya gaul yang setara dan ini memang kultur Asia yang selalu menghargai bangsa lain. Dengan Cina kita sudah mendapatkan kerjasama teknologi rudal. Demikian juga dengan Korsel dengan teknologi kapal selam. Kerjasama pengadaan kapal perusak kawal rudal kelas light fregat awalnya sangat diharapkan menghasilkan jumlah kapal light fregat minimal 2 unit tahun 2014 dari opsi pengadaan 10 unit setelah tahun 2014. Selain itu dengan pengadaan kapal sebanyak itu diharapkan RI dapat mengambil ilmu transfer teknologinya setelah kapal ketiga dan keempat. Namun cerita dongeng sebelum tidur itu justru dianggap mati suri karena Damen Schelde dan PT PAL gagal bersepaham dalam kualitas dan kuantitas transfer teknologi yang diinginkan.

Nahkoda Ragam Class (foto audrey)
 
Nah ketika perjalanan pasal kontrak terhenti di terminal pasar transfer teknologi, sementara TNI AL sangat memerlukan kapal-kapal berkualifikasi korvet ke atas lalu muncullah tawaran 3 Nachoda Ragam (NR) Class. Sebagai user TNI AL memang butuh banyak kapal perang untuk peremajaan kapal perangnya sekalian mengejar pencapaian target MEF tahap I yang berakhir tahun 2014. Terlepas dari apapun kontroversi tentang NR sesungguhnya Angkatan Laut kita membutuhkan kapal perang ini karena kegagalan pencapaian kontrak PKR sesuai jadwal. Apalagi NR ini barangnya sudah ada.

Kontrak PKR 10514 yang di sign tanggal 5 Juni 2012 itu hanya untuk pembuatan 1 kapal tok. Ini juga sebuah bentuk keanehan karena biasanya kontrak kerjasama minimal untuk 2 kapal perang. Okelah kalau memang kontrak PKR 10514 itu dilakukan dalam rangka memenuhi payung hukum atau sekedar menggugurkan kewajiban, ke depannya tidak salah kalau kita melirik ke Cina, Perancis dan Italia. Kita masih butuh kapal perang berkualifikasi fregat dan bahkan destroyer. Negara-negara itu diyakini bersahabat dan tidak pelit ilmu teknologi sehingga jalannya proses pertambahan kapal perang RI dapat terpenuhi sekalian menimba teknologinya. Catatan untuk PT PAL juga adalah jangan terlalu berharap banyak tentang ilmu transfer teknologi jika secara lahiriah dan bathiniah belum mampu menjalankan peran itu secara total.

Kita sangat mendukung perkuatan kapal perang TNI AL. Ada proyek kapal cepat rudal KCR 40 dan KCR 60 serta KCR Trimaran. Ada proyek kapal tanker, ada proyek kapal LST, ada proyek kapal selam, semuanya sedang berjalan. Ketersendatan proyek PKR dengan Belanda selayaknya dijadikan pengalaman berharga. Ke depan kita mengharapkan pola kerjasama pembuatan kapal pemukul berkualifikasi fregat dan destroyer dengan negara lain selain Belanda dapat berjalan. Tidak satu jalan ke Roma bukan, dan hanya keledai yang bisa jatuh ke kubangan lebih dari sekali.

Sumber : 
kompasiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar