Dalam sistem keamanan nasional, pemerintah akan menempatkan masyarakat sebagai subjek ketika membahas dan menentukan jenis ancaman. Aparat berwenang yang akan menyelesaikan ancaman tersebut. Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Keamanan Nasional (Kamnas) yang sedang dibicarakan DPR berbeda dengan konsep keamanan nasional yang lama.
Sumber : softskillrp3.wordpress.com
|
"Di dalam RUU Kamnas, jelas diatur bahwa masyarakat ditempatkan sebagai subjek, tidak lagi hanya sebagai objek," kata Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Pertahanan (Kemhan), Mayjen TNI Hartind Asrin, di sela-sela latihan menembak di Markas Komando Cadangan Strategis TNI AD (Kostrad), Cilodong, Depok, Jawa Barat, Selasa (25/9).
Lebih lanjut, Hartind menjelaskan, tokoh masyarakat akan menjadi bagian dalam keanggotaan Dewan Keamanan Nasional di tingkat pusat serta Forum Koordinasi Keamanan Nasional di tingkat daerah. "Di Pasal 20 RUU Kamnas dijelaskan bahwa ada anggota tetap dan anggota tak tetap," ujar dia.
Adapun untuk anggota tetap dari Dewan Keamanan Nasional dan Forum Koordinasi Keamanan Nasional, antara lain seluruh stakeholder pertahanan dan keamanan, meliputi Kepolisian, TNI, kepala daerah, imigrasi, kejaksanaan, dan lainnya, sedangkan anggota tak tetap adalah masyarakat yang dinilai memiliki kompetensi seperti tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh agama.
Dia mencontohkan, ketika ada kasus terorisme yang berlatar belakang agama, Dewan Keamanan Nasional akan mengajak tokoh agama untuk menganalisis siapa yang berhak menangani konfl ik ini. "Dan ketika sudah ditentukan bahwa yang bergerak adalah polisi dibantu tentara, maka kedua institusi itu yang bergerak," jelas dia.
Dijunjung Tinggi
Dengan keterlibatan masyarakat secara aktif itu, lanjut Hartind, demokrasi justru dijunjung tinggi. Karena, menurut dia, semua elemen berkumpul untuk menentukan jenis ancaman dan siapa yang menindaknya. Keberadaan Dewan Keaman an Nasional maupun Forum Koordinasi Keamanan Nasional ini akan memberdayakan kekuatan TNI dalam membantu memberikan rasa aman. Saat ini, TNI merasa tak diberdayakan.
"Ketika ada teroris, TNI justru masa bodoh. Padahal, TNI memiliki kemampuan untuk memukul teroris," kata dia.
Ketiadaan sistem keamanan nasional, lanjut dia, juga membuat pihak kepolisian enggan meminta bantuan ke TNI karena gengsi dan takut dianggap tak mampu menyelesaikan persoalan keamanan sendiri. Pasal 54 RUU Kamnas banyak dipertanyakan sejumlah elemen masyarakat. Pasal itu menyatakan bahwa unsur-unsur keamanan nasional diperbolehkan untuk menangkap, menyadap, hingga melakukan tindakan paksa sesuai UU.
"Artinya, untuk kewenangan menangkap diserahkan ke kepolisian sesuai UU Kepolisian. Kewenangan menyadap pun sama, tetap berada di tangan Badan Intelijen Negara seperti yang tertulis dalam UU Intelijen. Jadi, bunyi pasal itu tak serta- merta setiap unsur keamanan boleh melakukan wewenang yang disebutkan," jelas mantan Atase Pertahanan Militer Indonesia di Malaysia ini.
Dia mengajak seluruh komponen masyarakat membahas RUU Kamnas ini bersama-sama. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang kritis perlu ikut membahas RUU di DPR. Sebelumnya, sejumlah lembaga swadaya masyarakat khawatir keberadaan aturan tentang Kamnas akan mengembalikan kembali rezim otoritarian.
Untuk itu, Koordinator Program Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi), Beni Sukadis, meminta parlemen membuka dialog dengan LSM yang masih resisten terhadap RUU tentang Kamnas. Yang perlu didialogkan adalah peran Dewan Keamanan Nasional.
Sumber : Koran Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar