Pemerintah dinilai tidak mempunyai komitmen yang kuat terhadap penyerapan alat utama sistem pertahanan (alutsista) yang diproduksi industri pertahanan dalam negeri.
Panser Anoa (foto : bronco1978 / Kaskus Militer) |
"Idealnya sudah bisa memperkirakan berapa jenis dan berapa banyak alutsista yang akan dibuat sampai 2024 karena mereka sudah punya perencanaan postur sampai 2024," ujar Pengamat Militer Andi Widjajanto di kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta, Kamis (28/2).
Namun, kenyataan di lapangan lebih kental dengan politik anggaran tahunan yang membuat tidak terwujudnya efisiensi dalam skala ekonomi produksi. Akibatnya, industri pertahanan dalam negeri sulit untuk menetapkan efekifitas produksi alutsista dalam skala besar.
"Industri pertahanan kesulitan mengembangkan kapasitas produksi optimal jangka menengah dan jangka panjang. Semua industri tentu menginginkan kapasitas produksi memengah dan jangka panjang sehingga investasi akan lebih efisien," katanya.
Dalam postur pertahanan yang ditetapkan pada periode 2007-2024, pemerintah sudah mempunyai pedoman pemesanan senjata ke industri pertahanan.
Sebagai contoh, sistem armada terpadu Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Laut sampai 2024 membutuhkan 174 kapal dari berbagai jenis. Sedangkan Angkatan Udara membutuhkan 10 skuadron dan Angkatan Darat setidaknya membutuhkan 120 main battle tank.
"Rencana ini sudah ada hanya belum terwujud menjadi kontrak kerja ke industri pertahanan sehingga mereka belum bisa dengan sistematis mengembangkan kapasitas prouduksi," katanya.
Direktur Utama PT Pindad Adik A Sodersono juga mengeluhkan hal yang sama menyangkut ketidakpastian permintaan alutsista dari pemerintah. Misalnya, pemerintah sempat menyatakan minatnya untuk membuat 500 kendaraan lapis baja jenis Anoa yang diproduksi PT Pindad.
"Anoa dulu dibilangnya mau bikin 500. Posisi saya saat itu sudah bisa punya alat pemotong baja (laser cutting) sendiri, punya enginer dan kontraknya lebih murah tapi dikasih 150 juga enggak jelas," ungkapnya.
Kejadian sama berlaku saat Pindad berinisiatif mengembangkan bom untuk pesawat tempur F-16 yakni MK-82. Sudah berjalan 10 tahun sejak diproduksi namun belum ada pembelian dari pemerintah.
"Kalau kita mau serius bangun industri pertahanan kayak Malaysia lah. Dia kalau mau beli senjata M4 dikasih tahu industri pertahanannya mau order 120 ribu pucuk. Nah kalau seperti itu kita bisa hitung biaya produksinya. Kalau dikasih tahu pengembangan industri lebih mudah," ungkapnya. (Anshar Dwi Wibowo/Ray | Metronews)
Industri Pertahanan Butuh Teknologi Tinggi
INDUSTRI pertahanan merupakan salah satu sektor industri strategis yang perlu mendapatkan perhatian serius dari semua pihak yang berkepentingan dalam pengembangannya. Pasalnya, ciri utama sektor industri pertahanan adalah keberadaan teknologi tinggi serta inovasi yang melekat dalam setiap tahapan proses produksinya.
"Keberadaan industri pertahanan nasional tersebut apabila mendapatkan porsi pengembangan serta dukungan yang lebih besar maka dapat menjadi lebih kuat yang pada akhirnya mampu bersaing dengan industri sejenis dari negara-negara lainnya. Untuk itu, penguasaan terhadap teknologi terkini mutlak diperlukan agar tidak tertinggal dari negara-negara lainnya," kata Sekjen Kementerian Perindustrian, Ansari Bukhari, di Jakarta, Kamis (28/2).
Lebih lanjut, Ansari mengatakan, inovasi dan improvisasi terhadap produk juga diperlukan secara terus menerus yang disesuaikan dengan perkembangan teknologi yang digunakannya. Pada era globalisasi dan modernisasi seperti sekarang ini, semua bangsa di dunia berusaha untuk mengejar ketertinggalan dengan bangsa lainnya melalui penerapan teknologi yang diimplementasikan dalam setiap pembangunannya.
"Hal ini mengandung makna bahwa penguasaan teknologi menjadi suatu kebutuhan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi sehingga harus menjadi prioritas utama dalam pelaksanaannya. Begitu juga dengan industri pertahanan kita, penguasaan teknologi menjadi kunci bagi keberhasilan pengembangannya karena dari waktu ke waktu aplikasi teknologi semakin dibutuhkan," ujar dia.
Oleh karena itu, lanjut Ansari, dalam pengembangan industri pertahanan tanpa memperhitungkan adanya kemajuan teknologi hanya akan berjalan di tempat.
"Penting bagi suatu industri pertahanan yang ada di Indonesia untuk dapat memenuhi kebutuhan yang ada sehingga pertahanan dan keamanan nasional dapat terjamin. Untuk dapat mengembangkan sektor ini melalui teknologi, diperlukan dukungan dan keberpihakan semua lini," ucapnya. (Jurnas)
Tantangan terbesar bangsa Indonesia untuk menjadi negara maju dan besar bukanlah menghadapi hegemoni negara2 barat/adidaya lain dan penguasaan teknologi, tetapi tantangan terbesarnya adalah bagaimana di dalam bangsa Indonesia sendiri mau berbenah dan bersatu untuk memajukan bangsa.
BalasHapussetuju pak
Hapus