Minggu, 11 Mei 2014

Habibie, Poros JAB dan TNI


by: yayan@indocuisine / Kuala Lumpur, 10 May 2014

Ini adalah artikel tersulit yang pernah saya buat. Kemampuan bertutur seakan-akan hilang seketika, dibatasi oleh begitu banyaknya rambu yang harus saya patuhi. Merekayasa sebuah realita agar lebih terkesan fiktif, mengaburkan fakta agar lebih bernuansa hoax, adalah salah satu diantara sekian banyak tantangan yang saya hadapi. Namun apapun rintangannya, saya tetap berbangga karena telah mampu menjadi seorang saksi mata, sekaligus juga saksi bisu..!

Royal Brunei Airlines di KLIA

Tiga gagang anggrek masih dalam genggaman, ketika Royal Brunei Airlines mulai menapakan kembali kaki-kakinya di atas landasan KLIA untuk mengantar saya kembali pulang ke tengah dekapan keluarga tercinta. “Uncle, terima kasih untuk kunjungannya. Sering-sering datang kemari ya..!” ungkapan seragam dari anak-anak sahabat saya saat menyerahkan anggrek-anggrek itu, sesaat sebelum saya meninggalkan Bandar Seri Begawan. Tawa kami pun berderai. Kenangan manis di Brunei itu, masih melekat di hati sanubari. Terima kasih sahabat, untuk  tali persaudaraan yang telah kita jalin selama lebih dari 20 tahun. Salam takziah untuk ayahanda tercinta..!


Menyusuri koridor-koridor KLIA yang megah, membawa kembali ingatan pada penuturan sahabat saya beberapa hari yang lalu tentang kisah durhaka pemimpin Malaysia hingga menjadi sumber pangkal bekunya jalinan harmonis yang selama ini telah terbangun. Nun di tahun 1998, ketika Malaysia dikejar deadline untuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan Commonwealth Games 1998. Kegundahan jelas tersirat di wajah-wajah para pemimpin Malaysia. Krisis ekonomi Asia yang datang menerjang, telah meluluhlantakan sendi-sendi perekonomian nasional yang telah terbangun. Proyek-proyek bersekala besar banyak yang terbengkalai bahkan harus rela terhenti. Kondisi yang tidak menentu, telah mengancam munculnya bopeng-bopeng yang akan mencoreng wajah-wajah kota yang akan ditampilkan pada pentas opera yang bersekala antara bangsa.

Tak ayal, Mahathir Muhammad pun ikut meradang. KLIA, Pusat pemerintahan Puterajaya, KL Sentral, Stadium Bukit Jalil, dan lain-lain adalah sebuah paket proyek raksasa yang sejatinya bersifat multiyears, yang pengerjaannya diprogram sedemikian rupa agar bisa selesai serentak dengan waktu penyelenggaraan event olahraga negara-negara persemakmuran. Alih-alih menjadi media pertunjukan kebesaran bagi Malaysia, Commonwealth Games malah beralih rupa menjadi sebuah media yang justru mengancam akan memojokan kegusaran dan kekerdilan Malaysia.

Akhirnya dengan sedikit menahan rasa malu, sang PM pun pergi mencari pertolongan, hingga sampailah di hadapan sang Baginda Sultan Brunei Darussalam, Sultan Hasanal Bolkiah. Selanjutnya yang kita dengar adalah cerita-cerita heroik tentang sang PM, keberaniannya menentang IMF, kegigihan, keuletan dan kecerdasannya dalam mengendalikan krisis, dan menjadikannya sebagai negara pertama di Asia yang berhasil keluar dari cengkeraman krisis. Tapi benarkah demikian yang terjadi sesungguhnya? Hehehe..! Ingat, tidak ada makan siang yang gratis..! Begitulah kira-kira ungkapan yang tepat untuk dilayangkan dalam kasus ini. Meskipun akhirnya Malaysia berhasil keluar dari krisis, tapi ongkos yang harus dibayar juga tidak murah. Limbang..! Ya, inilah nilai dari sebuah harga diri.

Setelah terbebas dari krisis, Mahathir Muhammad yang kemudian lengser keprabon, menyerahkan Limbang melalui tangan suksesornya, yakni Abdullah Ahmad Badawi. Meskipun beliau sendiri turut mencaci, tapi tak seorang pun tokoh di Malaysia yang berani menggugatnya di Mahkamah Internasional, termasuk sang Raja Agong sekalipun. Bukan seorang Abdullah Ahmad Badawi jika harus takut berkorban. Putera seorang tokoh agama paling berpengaruh di Malaysia ini, memilih rela menjadi tumbal sebuah harga diri bangsa, dari pada harus melawan tetapi hasilnya justru hanya akan mempermalukan bangsa dan negara dengan kadar yang tiada tara.

Fakta membuktikan, pasca penyerahan Limbang kepada Brunei, hingga kini tidak pernah ada satupun usaha diplomatik yang ingin mengungkit kembali masalah Limbang, karena segalanya telah terbayar tunai. Bahkan Brunei sendiri lebih memilih untuk meninggalkan dan membiarkan tapak istananya yang mewah dan megah di KL terbiar menjadi onggokan kumuh yang tak bernilai.

Bagi Brunei, pola hubungan yang dibangun dengan Malaysia, telah menjadi sebuah pelajaran penting yang sangat berharga. Mereka kini menyadari, di dunia ini, mungkin hanya tinggal Bruneilah yang menganut sistem monarki absolut, yang menempatkan titah raja, berada di atas segala-galanya. Sikap ekstra hati-hati ditunjukan dalam memilih rekan atau sahabat dalam melaksanakan hubungan internasionalnya.

Brunei bukanlah negara yang tertutup dari pengaruh luar. Tapi Brunei juga bukan negara yang agresif dalam menanamkan pengaruhnya di dunia internasional. Dengan kemampuan financial yang dimilikinya, sejatinya bisa saja Brunei menjadi negara industri yang besar seperti Singapore. Tinggal mendatangkan teknologi dan SDM, dalam sekejap mata, industri akan maju di tanah Brunei. Tapi bukan itu ambisinya.

Brunei sangat menyadari keterbatasan lahan yang ada. Mereka bukan Indonesia. Mereka juga gak mungkin membeli lahan di Indonesia. Mereka inginkan negeri mereka tetap hijau, minyak bisa dihemat dan rakyatnya selamat. Brunei akan memproteksi produk yang bisa dihasilkan oleh industrinya, tetapi tidak akan sungkan untuk import produk berteknologi tinggi. Sikap penuh kepedulian yang ditunjukan oleh sang Sultan pada rakyatnya inilah, yang membuat rakyat Brunei begitu loyal dan mencintai Sultannya.

Rakyat Brunei tidak pernah melihat kekuatan militer negara manapun sebagai sebuah ancaman, selama kekuatan itu tidak mengancam kedudukan sang Sultan. Karena itu tidak heran, ketika negara lain sedang sibuk berlomba menumpuk senjata, Brunei justru menghibahkan kapal-kapal perangnya. Bahasa filosofi yang ingin disampaikan Brunei adalah bahwa senjata hanya bersifat sesuatu, sementara kepercayaan adalah bersifat lebih dari itu. Kepercayaan memiliki nilai yang sama dengan kedaulatan. Karena itu Brunei dipercaya untuk berdaulat, dan berdaulat untuk memberikan kepercayaan.

Pelepasan Timor Leste dari NKRI, adalah titik awal kekaguman Sultan Brunei pada Indonesia. Baginda merasakan kepedihan yang dirasakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Tapi kebenaran harus ditegakkan. Dan sejak saat itu pulalah, percaya atau tidak, bangsa Indonesia untuk pertama kalinya berani berdiri dengan kepala tegak dalam setiap perundingan internasional. Dalam kasus Sipadan dan Ligitan, meskipun kita kalah, tapi kita sudah berusaha maksimal hingga maju ke perundingan Mahkamah Internasional.

Brunei juga terpesona dengan sikap jantan kita saat menghadapi kasus Ambalat dan sikap luwes kita dalam kasus Aceh dan Papua. Bagi Brunei, apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah sebuah pengejawantahan nilai-nilai luhur adat istiadat para leluhur yang sudah turun temurun. Untuk itu, pemberian atau hibah alat perang pada Indonesia adalah sebuah simbol kepercayaan tertinggi, karena bisa bermakna bahwa mulai sekarang, hidup dan matinya kami, andalah yang menjaga..! Beruntung para petinggi bangsa ini hidup di negara yang berlandaskan Pancasila, sehingga masih bisa berbudi pekerti luhur dan tahu berterima kasih.

Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam
Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam

Pada tahun 2008, Sultan Hasanal Bolkiah, didaulat menjadi anggota kehormatan di berbagai satuan elite TNI. Sesudah itu, berbagai hibah peralatan militer dari Brunei mulai berdatangan. Dan baru-baru ini giliran sang Putera Mahkota yang menapak tilasi jejak sang Ayahanda. Beliau dinobatkan sebagai anggota kehormatan dalam satuan elite TNI, seperti Kopassus TNI AD, Marinir TNI AL dan Korpaskhas TNI AU. Lalu peran dan andil apa yang layak kita tunggu setelah ini? Hehehe..! Ternyata salah besar jika kita harus menunggu. Sang Putera Mahkota justru sudah berperan besar, jauh sebelum upacara penyerahan baret kehormatan..!

Seperti pada pagi itu, Jumat, 09 May 2014. Ini hari terakhir saya di Brunei Darussalam. Saya sengaja check out dari hotel lebih awal, meskipun jadwal penerbangan saya untuk pulang ke KL pada jam 16.20 petang. Sahabat saya ingin mengajak main tenis di sebuah tempat menarik yang pernah dia janjikan. Mobil kami meluncur ke arah jalan yang menuju ke airport, tapi setelah melewati airport, mobil kami tidak ada tanda-tanda akan berhenti.

Selanjutnya saya menduga bahwa kami akan main tenis di kawasan industri Muara, tapi ternyata tidak. Begitupun ketika saya coba menebak-nebak bakal lokasi kami untuk bermain tenis, mulai dari Royal Dutch Sell Petroleum Refinery Complex, pelabuhan peti kemas Muara Brunei, pelabuhan laut dalam yang dikelola PSA Holdings, dan mungkin salah satu hotel besar di sekitar pantai Muara.

Ternyata tidak ada satu pun terkaan saya yang tepat sasaran. Mobil saya memasuki jalan sepi yang pasangi oleh begitu banyak CCTV. Dan di sebuah pos penjagaan, sahabat saya membukakan jendela mobil sambil melambaikan tangan, yang disambut dengan sikap tegak penuh hormat dari sang penjaga pos. Disini banyak herder berseragam loreng berkeliaran. Mobil kami yang meluncur ke arah tepian dermaga tak luput dari perhatian dan pengawasan mereka. Inilah Muara Naval Base, markas besar angkatan laut Tentara Diraja Brunei Darussalam. Kawasan super luas yang tampak sedang berbenah melengkapi berbagai fasilitas yang dimilikinya.

Jika Naval Base TNI AL di Surabaya sudah terkenal sebagai Naval Base terbesar di Asia Tenggara, maka bisa jadi, Muara Naval Base adalah yang kedua terbesar. “Welcome to Surabaya..!” celetuk sahabat saya, membuat saya agak terperanjat, seakan dia bisa membaca pikiran saya. Ternyata pembangunan Muara Naval Base ini memang terinspirasi oleh kemegahan dan kelengkapan naval base TNI AL di Surabaya, pada saat Sultan Hasanal Bolkiah menerima penganugerahan anggota kehormatan Marinir di Surabaya pada 2008 dulu.

Di sisi kiri dan kanan kanal dermaga terlihat puluhan kapal perang berbendera asing. Di kanal lain, terlihat kapal kebesaran keluarga kerajaan yang megah, dengan bendera Brunei yang berkibar. Tidak jauh dari kapal itu, beberapa kapal lain turut bersandar. Yang membuat saya terkejut adalah adanya bendera merah putih yang berkibar..! Ya, itu KRI milik TNI AL. Sedangkan yang lainnya adalah kapal perang milik Uni Emirat Arab.


Royal Brunei Navy

Mobil kami terus meluncur ke arah Timur dermaga. Di ujung pelabuhan yang sepi, kanalnya dibuat agak menjorok ke dalam. Tidak terlihat ada anjungan kapal di situ. Namun ketika mobil kami mulai mendekati batas zona terlarang, sekali lagi jantung saya berdegup kencang. Lutut saya terasa bagai tak bertulang.

    Mata saya memelototi lima bendera merah putih yang berkibar di atas lima kapal selam..! 401, 401, 402, polos, polos..! Untuk meyakinkan rasa penasaran saya, saya share dengan sahabat saya, bahwa sebagian besar rakyat Indonesia hanya mengetahui bahwa TNI AL cuma memiliki 2 unit kapal selam.
Jika mereka melihat kelima kapal selam ini, maka mereka akan dibilang mimpi atau dicap pembohong. Tapi sahabat saya berujar, bahwa orang Brunei mengetahui TNI AL memiliki 20 unit kapal selam, jika Indonesia mengaku cuma punya kelima unit kapal selam ini, maka Indonesia adalah pembohong dan telah menganggap orang Brunei lagi mimpi. Hehehe..! Kadang dunia ini memang suka jungkir balik..!

Setelah melaksanakan shalat Jumat, kami meninggalkan kawasan Muara Naval Base. Jangan lewatkan untuk menikmati kesegaran ikan laut di daerah ini. Dan itu pulalah yang kami lakukan pada hari itu. Menyambangi sebuah restoran yang menyajikan ikan laut segar, menjadi acara yang tak kalah seru. Di dalam restoran itu, bukan saja ikan laut segar yang saya temui, tapi juga para prajurit TNI yang kekar..! Hahaha..! Senang sekali bisa bertemu dengan saudara sebangsa dan setanah air yang bertugas di luar negeri. Dia bilang ada ratusan personel TNI dari berbagai satuan yang setiap tahun di kirim ke Brunei untuk menjadi instruktur pelatih berbagai keahlian militer tentara Diraja Brunei. Wah, mendengar kabar ini, rasa bangga saya kian bertambah.

Waktu sudah menunjukan jam 14.00, ketika mobil kami memasuki pintu gerbang sebuah perkantoran megah. Sahabat saya meminta passport saya untuk discan di tempat pemeriksaan identitas yang ada di pos jaga. Setelah itu kami meluncur ke sebuah bangunan megah dengan tiang menjulang yang dihiasi lampu kristal yang menjuntai, lantai pualam dan karpet persia serta pernak pernik perak yang tampak berkilauan. Di ruangan terdepan, saya diminta mengisi buku tamu, yang telah lebih dulu mencantumkan nama beserta nomor ID Card saya. Setelah itu, pasport saya sekali lagi didekatkan pada sebuah layar komputer, yang diikuti oleh bunyi denting bell, pertanda bahwa pintu lift berwarna emas itu telah terbuka. Wow..! Menaiki sebuah lift, terasa menaiki sebuah kamar istana yang bergerak..! Jauh lebih megah dari istana negara di Jakarta atau istana Raja Agong Malaysia yang baru itu. Padahal ini bukanlah istana..!

Ya benar, itu bukanlah istana. Gedung itu adalah Bolkiah Garrison. Kantor Kementerian Pertahanan(MinDef) Brunei Darussalam. MinDef berada di bawah kendali langsung Sang Sultan. Alasannya ternyata tak lepas dari sejarah masa lalu. Ketika Inggris menawarkan Brunei untuk bersama-sama Sabah dan Sarawak, bergabung menjadi bagian dari Negara Persekutuan Tanah Melayu. Brunei dengan tegas menolak tawaran itu, dan lebih memilih untuk menunda kemerdekaan secara penuh dari Inggris.

Pada masa penantian penyerahan kedaulatan penuh ini, semua urusan luar negeri, pertahanan, dan moneter berada dibawah kekuasaan Inggris. Sedangkan sang Raja hanya berhak mengurusi masalah internal istana dengan segala tetek bengek adat istiadat yang mengaturnya, mengurusi masalah dalam negeri, termasuk didalamnya adalah masalah agama, seni budaya, transportasi, pendidikan dan kesehatan. Bagi Brunei, sektor Pertahanan bukan hal yang biasa. Pertahanan adalah simbol kedaulatan penuh kerajaan. Karena itu, sejak awal kemerdekaan, Kementerian Pertahanan akan selalu berada dibawah kendali sang Sultan, sebagai pemegang simbol kedaulatan penuh negara.

Nun berabad-abad lampau, kerajaan Brunei pernah dikuasai Sriwijaya dan Majapahit. Di masa kekuasaan Majapahit itulah, Brunei justru berhasil membebaskan diri bahkan juga berhasil memperbesar wilayah kekuasaannya hingga ke Manila. Kekuatan dan kebesaran masa lampau, menjadi kekuatan spiritual yang amat besar untuk menjadi sebuah bangsa yang mandiri dan berdaulat. Karena itu mereka pantang menjadi sebuah boneka bangsa manapun..!

Semangat dan rasa percaya diri yang besar itu, tergambar dari foto-foto pemimpin mereka yang banyak terdokumentasikan di dalam ruangan kantor sahabat saya yang luas dan besar. Termasuk kiriman foto teranyar dari Jakarta mengenai liputan perjalanan sang Putera Mahkota ke Indonesia. Pandangan mata saya tiba-tiba terpagut oleh sebuah foto besar yang terpajang di salah satu sisi dinding. Dua wajah itu, sudah sangat saya kenal, tapi yang satunya..?

“Those are our King with your former President Habibie and the other one is UAE’s King.” Sahabat saya seperti selalu mengetahui segala sesuatu yang sedang menjadi tanda tanya saya. Merekalah yang merancang dibentuknya poros kerjasama tiga negara antara Indonesia, Uni Emirat Arab dan Brunei Darussalam, yang kemudian dinamakan Poros Jakarta-Abu Dhabi-Bandar Seri Begawan (Poros JAB). Ini bukan semata-mata poros kekuatan, tapi lebih bersifat poros kepercayaan. Sama seperti halnya aliansi yang diajukan sahabat saya beberapa waktu lalu. Penunjukan saya, jelas bukan untuk mewakili negara dan pemerintah Indonesia, dan juga bukan untuk menjadi agen asing di Indonesia. Tapi sahabat saya meyakini dan percaya bahwa saya akan bisa bersikap bijaksana dalam menghadapi dua kepentingan yang berbeda. Pengalaman kami dulu sebagai kaum minoritas di tengah komunitas kami yang sangat Latino sewaktu tinggal kami tinggal di Maracaibo, Venezuela, telah berhasil membangun rasa dan sikap saling peduli dan melindungi, sehingga kemudian tumbuh rasa saling mempercayai.

Pola hubungan seperti inilah yang akan dianut Brunei untuk memenangkan kompetisi dalam bingkai Masyarakat Ekonomi Asean mendatang. Ketika banyak negara sibuk mengejar formalitas, ternyata Brunei menyodok ke bawah dengan jurus barunya yang terkadang sulit dibaca. Apapun jurusnya, fakta lebih bisa berbicara, hingga saat ini tidak ada satu negara pun yang berani menteror negara sekecil Brunei Darussalam. Bahkan China sekalipun terlihat lebih bersikap  santun. Malaysia yang songong, tidak sekalipun berani melakukan unjuk kekuatan di sekitar pekarangan Brunei Darussalam. Pertanyaannya, jadi selama ini siapa yang jaguh..? Jawabannya yang pasti adalah, “Ya Indonesialah..!” Hehehe..! Selamat berakhir pekan, Bung..!. 


by: yayan@indocuisine / Kuala Lumpur, 10 May 2014 (JKGR)

4 komentar:

  1. Salam Bung Yayan,

    Kisah yang diungkapkan sangat menyentuh sekaligus membanggakan.
    Ditengah pergaulan antar negara/bangsa yang sarat dengan intrik dan penuh konspirasi, ternyata masih ada nilai-nilai luhur kehidupan bertetangga yang baik yang dimiliki oleh TRIO masa depan (JAB).

    Salut dengan "value" tulisan Anda, Bung !!!

    Salam

    BalasHapus
  2. cerita anda memang sangat-sangat membanggakan dan menyenangkan, dan saya percaya kalau memang ada poros JAP. Tapi yg bikin saya bingung, malengsial memang tidak pernah berani bikin ulah dngn brunai, tp ko kalau dngn indonesia dia seperti bikin ulah trz (ngelunjak) di dalam mslah HAM,pencaplokan wilayah bahkan pertahanan negara. Dan indonesia terkesan selalu mengalah. Kenapa sy blng mengalah?? Karena sy tau kalau dngn malengsial indonesia tidak mungkin kalah.( Kecuali tuhan berkehendak lain)

    BalasHapus
  3. JKGR ini tidak bisa di jadikan sumber yang valid, lebih banyak HOAX-nya

    BalasHapus
  4. Halo bung yayan.... ini cerita versi anda atau anda mengalami jalan cerita ini.

    BalasHapus