Minimum Essential Force (MEF) menjadi program pemerintah dalam meningkatkan kapasitas alutsista TNI untuk menjaga pertahanan dan keamanan NKRI. Meski demikian, penerapan MEF dipandang sudah tidak relevan lagi dengan situasi keamanan kawasan yang selalu berubah.
Connie Rahakundini Bakrie |
“Pengertian minimum atau maksimum itu fluktuatif. Ancaman 2011 tidak sama dengan ancaman 2014, ancaman 2014 tidak sama dengan 2020, dan seterusnya. Jadi tidak bisa MEF dihitungnya kapan, ditetapkannya kapan,” ujar Connie Rahakundini Bakrie, pengamat militer Indonesia kepada JMOL beberapa waktu lalu.
Connie mengkritik kebijakan MEF pemerintah yang menurutnya hanya ikut-ikutan pemerintah AS yang juga menerapkan MEF dalam kebijakan pertahanannya.
“Penyakit kita suka copy paste. Hari ini AS membuat MEF yang sebenarnya pengurangan jumlah tentara. Di mana-mana tentara bisa dikurangi jumlahnya jika teknologinya sudah meningkat. Di kita teknologi masih minim, tentara juga dikurangi, habislah kita,” tegas Connie.
Connie menuturkan, program MEF tertuang dalam Buku Putih Kementerian Pertahanan (Menhan). Hanya saja, dalam perhitungannya MEF masih banyak ketidakjelasan. Menurutnya, sampai hari ini cara perhitungan MEF masih tidak ada yang bisa menjawab.
“Semua bisa menghitung, tapi dasar perhitungannya apa, tidak jelas. Buku Putih Pertahanan kita seperti turun dari langit,” sebut Connie.
National Security Council
Seperti normalnya negara-negara lain, Connie memaparkan, terdapat lembaga yang disebut sebagai National Security Council (NSC). Lembaga ini mengeluarkan apa yang disebut sebagai National Security Strategic (NSS), dan akan diterapkan ke seluruh departemen dan instansi terkait.
Sebelum NSS ditetapkan, ketiga lembaga, antara lain Presiden, Menlu, dan Menhan terlebih dahulu merumuskan national interest (kepentingan nasional). Persoalannya, lanjut Connie, adalah yang disebut sebagai NSC di Indonesia sekarang tidak jelas.
“Hari ini kita tidak jelas. Ada yang bilang Wantanas (Dewan pertahanan nasional—red), ada yang bilang Lemhannas, dan masing-masing saling gontok-gontokan,” ungkapnya.
Menurut Connie, hal tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu. Harus ada kejelasan secara kelembagaan. Karena dari sini akan turun apa yang disebut sebagai National Defense Strategic, dan setelahnya akan turun National Military Strategic.
“Sekarang yang ada tiba-tiba Buku Putih keluar, entah dari mana perhitungannya. Dasarnya apa tidak jelas,” cetus Connie.
Connie berharap, problem-problem kelembagaan seperti ini harus dituntaskan terlebih dahulu sehingga pembangunan postur pertahanan dan alutsista militer Indonesia terarah dan jelas.
“Karena untuk menggiring doktrin outward looking military kita yang dicanangkan sejak 1998, tapi hanya sebatas teori di atas kertas, tidak mewujudkan kekuatan pertahanan kita yang seharusnya. Kalau kita ingin konsekuen mereformasi TNI maka harus mampu mewujudkan hal tersebut. Outward looking military kekuatannya ada di laut dan udara,” pungkas Connie, yang juga salah satu anggota Wantanas. (JurnalMaritim)
yang tahu kebutuhan kekuatan militer adalah militer itu sendiri bukan pengamat....dan setiap tahun akan ada evaluasi kekuatan yg ada dan apa yg dibutuhkan.
BalasHapusMaaf bro, kurang tepat.
HapusMiliter adalah tool/alat yang digunakan untuk pertahanan negara. Seperti yg disebutkan di atas, kita butuh semacam National Security Council (NSC) yg terdedikasi untuk menganalisa dan merumuskan strategi pertahanan nasional.
Negara2 maju seperti itu dan itu artinya profesional. Ada tim think-tank/pemikir strategis (NSC) dan militer berperan sebagai eksekutor. Analoginya itu seperti bikin film ada penulis skrip (NSC), sutradara (Dephan), dan aktor (TNI).
Kalau semuanya militer yg nentuin ya bakal bias. Semua masing2 matra TNI pasti mau peralatan canggih dan personel banyak. Tapi apa bijak semua bagi rata? Apa iya Anggaran utk AD, AL dan AU musti sama bagi rata biar sama2 senang? Apa iya kuatnya matra AD bs menjamin menang saat konflik? Apa doktrin TNI kita bs menjawab ancaman musuh yg lbh kuat?
Semoga dibentuknya dewan pertahanan/National Security Council (NSC) bisa segera terwujud di pemerintahan terpilih nanti.
Yang anehnya lagi, tanpa ada suatu dewan (NSC) tapi kalau masalah beli, semuanya berjalan lancar, bahkan kurang budget, tapi pembelian alutsita sudah tepat sasaran atau tidak, kurang menjadi perhatian pemerintah. Makanya adanya tanggapan miring terhadap pembelian tank leopard dan pembelian pesawat RI 1, apakah sudah sesuah kebutuhan kita atau tidak?
HapusTidak adanya NSC juga dipertanyakan, apakah memang belum sempat memikirkan ke arah sana, atau memang dipandang NSC akan mempersulit pemerintah dalam hal 'belanja' alutsita, apalagi kemarin menjelang pemilu, semua alutsita diborong.
Sebenarnya Menhan hrs bersama2 wantanas membuat ukuran2 utk MEF yg dpt diukur akan pemenuhannya, sdgkan sbg alutsista yg dibeli dr luar di rahasiakan yg dalam arti tdk diketahui oleh umum/rakyat dpt diartikan dg uang yg belum dibelanjakan dan dpt dipertanggung jawabkan akan uang atau alutsista yg akan dibeli. Shg tahapan TNI dlm MEF dpt dihitung/dipublikasikan ke masyarakat. Kalau menurut saya TNI hrs ditambah jumlah personilnya menjadi 1 juta, karena luas wilayah NKRI sebesar eropa dan bila jadi Kogabwilhan ada kawasan pertahanan timur meliputi negara2 Pasifik Australia/AS selanjutnya tengah mrpk kawasan pertahanan sentral ASEAN termasuk Asia/Uni Eropa dan kawasan pertahanan barat masuk Afrika/Timur Tengah. Jadi BUMN membentuk sub devisi PT Pal/PT DI/PT Len/PT Dahana/PT Krakatau Steel hrs dibuat sesuai Kogabwilhan utk memenuhi keperluan perdagangan/militer spt kapal, pesawat, roket, industri lainnya dan ini semua hrs diadakan penambahan pembantu mentri dlm negeri utk memenuhi hubungan dunia. Jadi penambahan prajurit sangat dibutuhkan utk pemenuhan kawasan pertahanan, kapal induk hrs ada spt AS utk mengamankan perdagangan kita sesuai kawasan pertahanan dan kapal selam mapun pesawat tempur hrs diperbanyak. Ini strategi Indonesia di abad 21, utk global dunia.................
BalasHapus