Strategi Militer Indonesia - Menyuguhkan informasi terbaru seputar pertahanan dan keamanan Indonesia
Jumat, 10 Oktober 2014
Ketika Sang Jendral Dihadapkan Dengan Uang Sogokan Rp 20 M
Pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI jadi incaran para makelar untuk ikut masuk. Mereka berniat menggelembungkan harga senjata untuk keuntungan pribadi. Para makelar juga menawarkan uang miliaran rupiah agar para jenderal mau bekerja sama.
Salah satu sepak terjang para makelar senjata ini dikisahkan mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (TNI AD) Jenderal Purn Pramono Edhie Wibowo. Saat itu TNI AD berniat memesan teropong atau alat bidik untuk senapan serbu SS2 produksi PT Pindad.
Pramono terkejut saat salah satu agen menawarkan teropong dengan harga Rp 30 juta per unit. Padahal harga satu unit senjata SS2 kala itu cuma Ro 9 juta.
"Aneh, harga teropong kok lebih mahal dari harga senjata," kata Pramono Edhie.
Kisah itu ditulis dalam buku 'Pramono Edhie Wibowo dan Cetak Biru Indonesia ke Depan' karya Rajab Ritonga dan diterbitkan QailQita tahun 2014.
Terdorong rasa penasaran, Pramono mengutus anak buahnya menanyakan langsung pada pabrikan di Amerika Serikat. Ternyata harganya cuma Rp 9 juta. Namun pabrik tak mau menjual langsung ke pemerintah Indonesia karena sudah mempunyai kesepakatan dengan si makelar senjata yang telah ditunjuk di Singapura.
Tak hilang akal, si broker kemudian membujuk Jenderal Pramono agar bersedia membeli teropong itu dengan harga Rp 24 juta.
Saat itu TNI AD akan membeli 500 teropong untuk 1 batalyon. Padahal ada 100 batalyon yang memerlukan alat bidik tersebut. Jadi total TNI AD membutuhkan 50.000 teropong. Pramono pun dijanjikan akan dapat komisi lebih dari Rp 20 M.
Namun Pramono mengaku tak tergiur dengan tawaran broker senjata itu. Dia juga mengaku ingin mengikis korupsi alutsista TNI yang merugikan negara.
Pramono Edhie adalah putra komandan legendaris RPKAD Sarwo Edhie Wibowo. Sarwo dulu pernah berpesan pada anak dan menantunya.
"Pergi membawa satu kopor, pulang juga tetap satu kopor," kata Sarwo. Artinya jelas, jangan pernah mengambil apapun dari pangkat dan jabatan. Hal itu dibuktikan Sarwo, hingga akhir hayatnya dia tak punya rumah pribadi. (Merdeka)
waaah.... klw para broker yg slama ini sdh bermain sogok menyogok bisa danger ... krn tidak mementingkan lg tehnologi dan kwalitas itu alutsita, krn mereka berprinsip asal dapat komisi penjualan sj dr pabrikan sipembuat senjata entah dr negara mana, disini pasti terjadi mark up yg gede2an brooo, pantas sj alutsita kita tdk berkembang klw sdh terjadi praktek yg begini yg slama ini...jadi sebaik klw pembelian dilakukan dgn G to G..agar lbh transparan langsung tidak pakai makelar..he he....
BalasHapussudah taukan akal bulus usa dan singapura,coba dibongkar teropong itu buat sendiri,kenapa saya bisa bicara seperti itu karna saya pernah membuat kapal perang baidk dalam negeri dan luar negeri,hanya sebatas buruh,tapi enginner hanya mampu mengambar,masih memerlukan seorang pelaksana lapangan,,,yaitu MARKER,
BalasHapus