Kepala Divisi Munisi Pindad I Wayan Sutama mengatakan perusahaan pembuat alat utama sistem persenjataan pelat merah itu mengalami dualisme. Ini karena Pindad memiliki dua lembaga yang menaungi dan mengatur kebijakan mereka.
Wakil presiden Jusuf Kalla memeriksa senjata laras panjang terbaru buatan pindad pada Indo Defence Expo 2014 di JIEXPO Kemayoran, Jakarta, Rabu 5 November 2014. TEMPO/Dian Triyuli Handoko |
"Maksud saya ada dua kementerian yang menaungi kami, yakni Kementerian BUMN dan Kementerian Pertahanan," kata Wayan kepada wartawan di kantornya di Turen, Malang, Jawa Timur, Rabu, 19 November 2014.
Sebagai perusahaan milik pemerintah, dia melanjutkan, sudah tentu Pindad diatur oleh kementerian yang kini dipimpin oleh Rini M. Soemarno itu. Di sisi lain, produk yang dihasilkan Pindad bukan barang sembarangan melainkan persenjataan, sehingga Kementerian Pertahanan ikut andil memberikan regulasi. "Ditambah lagi ada Undang-Undang Industri Pertahanan sehingga hubungan kami (Pindad dan Kementerian Pertahanan) semakin erat," kata dia.
Menurut Wayan kedua kementerian memberikan instruksi yang bertentangan. Kementerian BUMN meminta Pindad mengoptimalkan produksi, penjualan hingga pemasaran mereka hingga ke luar negeri. Singkat kata, Kementerian BUMN ingin Pindad bekerja demi memperoleh keuntungan sebanyak mungkin.
Sayangnya Kementerian Pertahanan meminta Pindad fokus memenuhi kebutuhan dalam negeri, TNI. Sebab saat ini TNI sedang menjalani proses modernisasi kekuatan. Selain itu Kementerian Pertahanan memperingatkan Pindad untuk tidak menjual alutsista dengan harga mahal ke pemerintah. Hal tersebut dianggap mulia oleh Wayan, sebab tujuannya bagus agar alutsista yang didapat TNI lebih banyak.
"Lagi pula doktrin kami dari dulu memang bekerja untuk Merah Putih," kata dia. Namun di sisi lain, setiap bulan wayan harus menyiapkan uang sebesar Rp 5 miliar untuk menggaji 1200 karyawan di divisinya.
Wayan pun mengaku sedang memutar otak untuk mendapatkan tambahan pemasukan. Salah satu caranya dengan mengembangkan bisnis komersil yaitu kembang api. Namun yang dimaksud Wayan bukan sekadar mainan anak-anak melainkan kembang api ukuran besar untuk perayaan resmi.
Menurut Wayan bisnis kembang api ini sangat menggiurkan. Permintaan kembang api di Indonesia dalam satu tahun dapat mencapai Rp 600 miliar. "Itu pun impor semua, lumayan kalau kami bisa masuk," kata dia. "Investor yang ajak kerja sama sudah ada, lokasi juga kami punya, harapannya satu bulan lagi jalan."
Wayan pun ingin memaksimalkan produksi amunisi di divisinya. Dia ingin mengembangkan produksi amunisi kelas berat seperti meriam howitzer berkaliber di atas 120 milimeter. Serbab sampai saat ini kebutuhan peluru meriam untuk TNI didatangkan melalui impor dengan nilai sekitar Rp 400 miliar per tahun. "Kalau kami bisa (produksi amunisi kaliber besar) maka rencana penjualan kami akan dinaikkan. Dari Rp 665 miliar (untuk tahun ini), bisa bertambah jadi Rp 1,1 triliun," kata dia. (Tempo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar