Senin, 24 November 2014

Realisasikan Poros Maritim Dunia Indonesia Perlu Lima Pilar Negara Maritim


Aura maritim sedang bergema di seantero negeri, seiring visi Presiden Jokowi menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Negeri dengan duapertiga wilayahnya berupa laut dan memiliki 17.508 pulau ini dipandang telah lama meninggalkan Laut. Padahal, sejarah telah membuktikan, dengan kekuatan Laut, kerajaan Nusantara, Sriwijaya dan Majapahit, telah menjadi superpower di masanya.

Realisasikan Poros Maritim Dunia Perlu Lima Pilar Negara Maritim
LIMA PILAR – Pakar maritim Son Diamar memaparkan lima pilar penyangga Negara Maritim.
(Foto: JM Foto/Arif Giyanto)

Meski demikian, ide Poros Maritim Jokowi dipandang masih sebatas slogan, lantaran belum adanya penjelasan utuh tentang apa dan bagaimana bentuk Poros Maritim yang akan diwujudkan. Ide Poros Maritim masih menjadi diskursus hangat di antara para pakar, politisi, birokrat, maupun praktisi yang bergelut dengan dunia maritim.

Banyak pemikiran yang muncul tentang bagaimana membangun kemaritiman Indonesia. Salah satunya dari teknokrat senior dan mantan birokrat di Badan Pembangunan Nasional (Bappenas), Son Diamar.


Menurut Sondi, sapaan akrabnya, untuk merealisasikan Poros Maritim Dunia perlu memperhatikan lima pilar negara maritim.

Pilar pertama, membangun SDM melalui penataan kembali kurikulum pendidikan, mulai dari level PAUD hingga perguruan tinggi, agar materi pelajaran bermuatan cukup pengembangan kognitif, efektif, dan psikomotorik bagi peserta didik, menjadi manusia Bangsa Maritim, yang siap membangun negara, tidak hanya berbasis darat, tetapi juga laut.

“Indonesia sebagai Negara Kepulauan terbesar di dunia sangat layak dan bisa menjadi pusat Iptek kelautan tropikal terkemuka di dunia,” urainya.

Pilar kedua adalah membangun Ekonomi Maritim, antara lain industri pelayaran dan perkapalan yang bisa menjadi terkemuka di dunia, energi berbasis laut (gas dan listrik arus laut), industri perikanan berbasis tangkap dan budidaya yang bisa menjadi salah satu terkemuka di dunia, dan pariwisata bahari yang bisa menjadi kawasan tujuan wisata terkemuka di dunia, mengingat ternyata 70 persen pariwisata dunia berkaitan dengan laut.

Selanjutnya, pilar ketiga, penataan ruang dan lingkungan yang harus berbasis ‘geografi sejati’ sebagai Negara Kepulauan, karena lokasi strategis Indonesia yang berada di pertengahan jalur perdagangan dunia. Setidaknya, Indonesia bisa memiliki empat kota bandar dunia atau global hub yang memiliki pelabuhan internasional dan kawasan industri mancanegara sekelas Singapura dan Hongkong.

“Jadi, dalam proses globalisasi, Indonesia tidak patut cengeng takut terjajah perusahaan global, tetapi sebaliknya, menangkap peluang perusahaan global utk berada di negeri kita. Mereka kita layani, menjadi lebih beruntung, dan tentu akan menguntungkan Indonesia, baik finansial, ekonomi, maupun diplomasi antar-bangsa.

Tata-ruang penting lain adalah mengembangkan sistem kota-kota global, besar, menengah, dan kecil, yang terintegrasi darat dan laut, serta terhubungkan dalam sistem sarana, prasarana, dan pelayanan produksi dan distribusi. Selain itu, diperlukan tata-kelola lingkungan yang terjaga secara terintegrasi dari puncak gunung (catchment area air) sampai di laut, sesuai peruntukan ruang dan bakat alam.

Badan Keamanan Laut dan Pantai


Pilar keempat, membangun pertahanan dengan kekuatan memadai, bukan minimum, yang terintegrasi antara darat, laut, dan udara. Dalam hal keamanan, sebagai negara dengan laut terluas di dunia, Indonesia harus memiliki pasukan kelima, yaitu Badan Keamanan Laut dan Pantai yang merupakan pengintegrasian sekurangnya 10 tugas pokok keamanan laut dalam satu institusi.

“Single institution, single command, multi-mission,” terangnya.

Sedangkan pilar kelima adalah pengembangan sistem hukum maritim. Perlu penyeimbangan komposisi hukum darat dan hukum laut agar sesuai kebutuhan, baik di darat maupun di laut. Saat ini, sistem hukum lebih didominasi oleh hukum darat.

Untuk membangun pilar-pilar tersebut, diperlukan sebuah lembaga maritim yang mengkoordinasikan semua kementerian dan institusi terkait lain, termasuk pemda untuk merumuskan kebijakan pembangunan lima pilar tersebut.

“Lembaga ini harus kuat, yang maksimum Menko, yang medium Meneg, dengan tugas hanya kebijakan, tanpa jadi eksekutor. Di bawah menteri ada deputi, bukan Dirjen. Deputi untuk masing-masing pilar,” jelas Sondi. (JMOL)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar