Penggantian, upgrade dan atau modernisasi terhadap suatu sistem senjata lumrah dilakukan dalam lingkungan angkatan bersenjata negara manapun, termasuk Indonesia. Beberapa alasan upgrade antara lain karena teknologi sistem senjata tersebut yang sudah tertinggal, suku cadang sistem senjata tersebut sudah tidak diproduksi lagi, dan agar tak tertinggal secara teknologi dengan negara-negara lain.
KRI Oswald Siahaan, salah satu fregat kelas Ahmad Yani Class sedang menembakkan rudal strategis Yakhont | Foto: Dispenal |
Miisalnya upgrade pada sistem senjata yang berbasis elektronika, seperti CMS, avionik, fire control dan sejenisnya. Akibat kemajuan teknologi elektronika yang sangat pesat, dalam jangka waktu lima tahun dapat membuat beberapa sistem senjata menjadi ‘kuno’ dan bahkan suku cadangnya sudah tidak sudah tak tersedia lagi di pasaran.
Contoh lain adalah rencana penggantian fregat kelas Van Speijk yang kembali mengemuka beberapa hari ini. Rencana ini sebenarnya cukup mengejutkan, karena selama ini Indonesia telah berinvestasi banyak pada kapal perang kelas Van Speijk dan Fatahillah.
Selain dipasang rudal Yakhont, fregat kelas Van Speijk juga mengalami modernisasi pada CMS dan radar lewat sejumlah proyek. Apabila ditotal, investasi dalam 10 tahun terakhir cukup untuk membeli kapal perang baru jenis kombatan.
Dalam Renstra 2015-2019, fregat kelas Van Speijk juga tidak masuk dalam daftar kapal perang yang akan diganti. Belum diketahui juga apakah terdapat ruang fiskal yang cukup dalam APBN-P 2015 atau RAPBN 2016, untuk membiayai pengadaan kapal fregat pengganti enam kapal kelas Van Speijk yang sekarang masih berdinas tersebut.
Yang juga menjadi masalah adalah soal ‘timing’, yaitu rencana penggantian fregat ini muncul di tengah kondisi ekonomi Indonesia yang tengah mengalami perlambatan.
Pola Tidak Jelas
Pola modernisasi kapal perang pada Angkatan Laut Indonesia selama ini kabur alias tidak jelas. Modernisasi kapal perang, baik upgrade kapal perang maupun pengadaan kapal perang baru tak mempunyai pola yang jelas. Selain itu, rencana modernisasi terlihat tidak terintergrasi dengan elit politik yang memiliki otoritas terhadap anggaran.
Sebagai contoh lagi, dalam 10 tahun terakhir terdapat tujuh kapal kombatan baru yang masuk dalam susunan tempur Angkatan Laut Indonesia. Namun kehadiran tujuh kapal kombatan itu sama sekali tak diikuti dengan penghapusan kapal kombatan lama yang dinilai sudah tidak layak, baik dari sisi operasional maupun usia.
Yang terjadi malah adalah upaya mencapai angka jumlah kapal perang yang dipatok dalam MEF. Guna mencapai angka tersebut, bukan saja kapal kombatan buatan 1960-1980 yang dipertahankan, tetapi juga kapal yang tidak layak menyandang sebutan KRI pun dipaksakan untuk menyandang nama itu.
Sebagai contoh adalah kapal-kapal plastik yang dipersenjatai senapan mesin kaliber 12 mm. Padahal jika mengacu pada aturan baku, kapal plastik yang dipaksakan menyandang sebutan KRI itu lebih pantas dan tepat menyandang sebutan KAL.
Kembali ke kapal kombatan. Baru kali ini kekuatan laut Indonesia menyatakan akan mengganti suatu kelas kapal perang, khususnya kombatan. Sebab selama ini tradisinya adalah membeli kapal kombatan baru sekaligus tetap mempertahankan kapal perang yang telah ada, walaupun sudah berusia 30-50 tahun. Contohnya, kehadiran korvet kelas Sigma, fregat ringan kelas F2000 dan nantinya fregat kelas Sigma tidak dinyatakan untuk mengganti kapal perang manapun.
Dalam periode 2015-2019, modernisasi kekuatan Angkatan Laut Indonesia melalui pembelian kapal perang dan pesawat udara baru dipastikan tidak akan selancar periode 2010-2014. Program modernisasi kekuatan hingga 2019 dihadapkan pada fakta bahwa ekonomi Indonesia kini mengalami perlambatan, bahkan -menurut beberapa pakar ekonomi- sudah mendekati fase resesi.
Dalam kondisi demikian, umumnya akan ada pemilihan prioritas belanja pemerintah. Di Indonesia dan juga negara lain, dalam urusan pemilihan prioritas belanja pemerintah, biasanya sektor pertahanan menjadi salah satu korbannya.
Kondisi ini pernah terjadi pada era 2005-2009, ketika hampir terjadi krisis pada ekonomi Indonesia akibat krisis di Eropa dan Amerika Serikat. Hanya saja saat itu berkat kebijakan ekonomi yang prudent, ekonomi Indonesia selamat dari krisis dan perlambatan.
Berlatar belakang kondisi demikian, modernisasi kekuatan laut Indonesia diperkirakan akan sulit dilaksanakan secara leluasa. Harus ada pilihan yaitu program yang lebih prioritas di antara sekian banyak prioritas yang ada.
Kalau demikian adanya, tanpa intervensi fiskal dari penghuni Istana Merdeka, program modernisasi, termasuk rencana penggantian fregat kelas Van Speijk, dipastikan akan molor hingga 2019. (JMOL)
dibuang nih kapal dah ketuaan...
BalasHapus