Pembahasan revisi Undang-undang Terorisme No 15/2003 masih berlanjut karena ada perdebatan. Dirjen Perundang-undangan Kemenkum HAM Widodo Ekatjahjana setidaknya menyebutkan 5 hal yang tengah dibahas untuk masuk ke revisi undang-undang tersebut.
"Satu, tentang kegiatan-kegiatan mereka yang di luar itu apakah nanti akan dicabut paspor atau ikut kegiatan militer/para militer paspor dicabut kewarganegaraannya," tutur Widodo usai rapat membahas hal itu di Kantor Kemenko Polhukam, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (28/1/2016).
Pembahasan kewarganegaraan diakui Widodo sebagai hal tersengit di perdebatan. Ada berbagai pertimbangan untuk nantinya benar-benar mencabut status kewarganegaraan orang yang tergabung dalam gerakan tertentu.
"Kedua, tentang perdagangan senjata yang memang dimaksudkan, bukan dimaksudkan tapi memang sengaja untuk kegiatan teroris," imbuh Widodo.
Selanjutnya adalah mengenai penindakan terhadap jaringan ekstrateritorial yang ada di Indonesia. Lalu yang keempat yakni terkait masa penahanan saat penyelidikan yang ditambah.
"Kemudian masalah penahanan ada penambahan, 120 hari tambah 60 tambah 60. Ini kan memang pekerjaan berat ya. Kalau enggak bisa extraordinary, harus bisa paksa bongkar semuanya," papar Widodo.
Poin terakhir yang disebutkan Widodo adalah mengenai bukti atau saksi elektronik. Dengan demikian nantinya terduga teroris dapat langsung ditindak dengan menggunakan bukti elektronik dalam bentuk apa pun, seperti rekaman dan lain sebagainya. (Detik)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar