Strategi Militer Indonesia - Menyuguhkan informasi terbaru seputar pertahanan dan keamanan Indonesia
Selasa, 15 Maret 2016
Menhan Bantah Dwifungsi ABRI Akan Dihidupkan Kembali
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu membantah tudingan sejumlah kelompok yang menyebut pemerintah hendak memunculkan kembali doktrin dwifungsi yang pernah dijalankan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Bantahan Ryamizard tersebut terkait tugas perbantuan yang dijalankan Tentara Nasional Indonesia kepada Kepolisian Republik Indonesia pada operasi pengejaran kelompok teroris.
"Tentara itu kan mem-back up. Di mana-mana juga begitu. Di Amerika Serikat dan Inggris, kalau polisi tidak mampu, baru tentara dikerahkan," ujar Ryamizard di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (14/3).
Perbantuan yang dikerahkan TNI kepada Polri, menurut Ryamizard, tidak berkaitan dengan doktrin dwifungsi. Ia berkata, di negara-negara lain, tentara bahkan mengaplikasikan doktrin multifungsi.
"Waktu saya menjadi Kepala Staf Angkatan Darat, saya mengerahkan anggota ke wilayah bencana tsunami. Itu kan salah satu contoh perbantuan. Apa tidak boleh membantu?" kata Ryamizard.
Sebelumnya, Ketua Komisi Pertahanan DPR Mahfudz Siddiq mendorong pemerintah untuk secara aktif melibatkan TNI dalam menghadapi aksi kelompok teroris dan separatis.
Kepada KSAD Jenderal Mulyono, Mahfudz meminta pemimpin matra darat itu menyusun rencana penguatan postur untuk melaksanakan operasi selain perang.
Meski demikian, ujar Mahfudz, TNI tidak memiliki dasar hukum untuk terlibat secara luas dalam operasi militer selain perang. Menurutnya, pemerintah dan DPR bertugas menyiapkan instrumen hukum tersebut.
"Sampai sekarang, regulasi yang ada belum memberikan pintu masuk bagi negara untuk melibatkan TNI secara luas dalam menghadapi operasi militer selain perang," ucapnya pekan lalu di Markas Komando Pasukan Khusus, Jakarta.
Setara Institute menyatakan, dorongan DPR kepada TNI untuk menjadi garda terdepan dalam operasi pemberantasan teroris dan separatis bertentangan dengan konstitusi.
Setara menilai UUD 1945 mengatur peran TNI secara limitatif. Pelibatan TNI pada operasi militer selain perang, menurut lembaga yang mengawal demokrasi dan hak asasi manusia itu, harus dilandasi pada Undang-Undang Perbantuan Militer. Beleid tersebut hingga kini belum terbentuk.
"DPR seharusnya segera menyusun UU Perbantuan Militer yang sudah diamanatkan oleh UU TNI dan lebih dari 10 tahun tidak juga dibahas DPR. Tanpa batasan yang jelas, pelibatan TNI hanya akan menimbulkan masalah baru," ujar Setara dalam keterangan tertulisnya.
Akhir tahun lalu kepada CNNIndonesia.com, Letnan Jenderal Ediwan Prabowo yang ketika itu masih menjabat Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan, berkata lembaganya telah menyiapkan tiga rancangan beleid prioritas untuk periode 2016 dan 2017.
Ketiga Rancangan Undang-Undang itu adalah revisi UU 34/2004 tentang TNI, RUU Pengelolaan Sumber Daya Nasional Pertahanan, dan RUU Keamanan Negara. Perbantuan militer tidak masuk dalam rancangan UU pemerintah.
Pasal 7 ayat (2) UU TNI menyebut 14 tugas pokok TNI pada operasi militer selain perang antara lain mengatasi aksi terorisme, gerakan separatis, dan pemberontakan bersenjata.
Koalisi Masyarakat Sipil Sektor Keamanan yang dibentuk beberapa lembaga swadaya masyarakat seperti Imparsial dan Elsam menyatakan, perbantuan TNI kepada Polri seharusnya mengacu pada pasal 7 ayat (2) huruf b angka 10 pada UU TNI.
Aturan itu menyebut, tugas perbantuan kepada Polri dalam rangka menjaga keamanan dan ketertiban diatur oleh undang-undang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar