Rabu, 22 Agustus 2012

Perang Dingin Gaya Baru AS - Rusia & Pengaruhnya Terhadap Indonesia


Secara resmi Perang Dingin antara Amerika Serikat (AS) dengan Uni Sovyet - kini Rusia, sudah berakhir dua dekade lalu. Perang dua kekuatan itu sering digambarkan sebagai pertarungan antara Blok Barat yang diwakili AS dan Blok Timur oleh Uni Sovyet. Atau antara Blok Non-Komunis dan Blok Komunis.



Berakhirnya Perang Dingin berdampak positif bagi umat manusia. Setidaknya dunia terhindar dari Perang Nuklir. Perang pemusnah manusia ini didefinisikan sebagai pertarungan antar bangsa. Sebab semua negara, termasuk yang Non-Blok pun diperkirakan akan berkelompok ke salah satu blok.

Atas dasar itu Perang Nuklir sering digambarkan sebagai Perang Dunia Ketiga, yang disetarakan dengan perang terakhir umat manusia atau sama dengan hari kiamat ciptaan manusia. Selama perang tersebut rudal-rudal berkepala nuklir akan diluncurkan oleh Washington ke Moskow, begitu pula sebaliknya.

Washington dan Moskow yang berperang, tetapi warga dunia lainnya bakal ikut terkena dampaknya. Sebab kedua kekuatan juga akan menghancurkan negara lain yang tidak berada dalam blok yang sama dengan mereka. Berakhirnya Perang Dingin telah mengubah peta politik dan ekonomi dunia.

AS yang dianggap sebagai pemenang dalam Perang Dingin - sejak berakhirnya Perang Dingin, tidak lagi melakukan invasi ke sebuah negara yang sedang digiring oleh Uni Sovyet untuk menjadi negara komunis.

Ingat Perang Saudara di Vietnam dan Kamboja. Vietnam Utara dikuasai komunis, Vietnam Selatan oleh non-komunis. Kamboja yang tadinya monarkhi, jatuh ke tangan komunis. Di era 1970-an, AS masuk di kedua negara tersebut dalam rangka mencegah penyebaran pengaruh ideologi komunis ala Uni Sovyet. AS gagal di sana.

Saat ini diyakini, tidak ada lagi pertarungan ideologi antara non-komunis (Blok AS) dan komunis (Blok Uni Sovyet). Terutama setelah komunisme di Eropa Timur yang dipimpin Unin Sovyet ditumbangkan oleh gerakan pro demokrasi. Uni Sovyet sendiri runtuh dan terpecah menjadi lebih dari 20 negara baru. Yang menjadi pengganti atau penerus Uni Sovyet hanyalah Rusia.

Rusia sendiri sudah tidak lagi menjadikan komunisme sebagai ideologinya. Semua agama yang di era Uni Sovyet dilarang, kini bebas dipeluk oleh warga Rusia. Pemimpin Rusia dan elit di negara itu mengakui keberadaan Tuhan. Pengampilan sumpah jabatan oleh pemimpin Rusia disaksikan oleh pemuka agama dan menggunakan kitab suci.



Perang Dingin Gaya Baru AS - Rusia
 
Kini ancaman atas kehidupan harmonis umat manusia di permukaan bumi, diperhitungkan tidak lagi dipicu oleh akibat peperangan. Melainkan oleh faktor ekonomi. Kemiskinan berpotensi memicu terjadinya peperangan baru.



Uniknya pihak yang diperhitungkan sebagai pemicu perang baru itu masih tetap AS dan Rusia. Sebab kedua negara berlomba menjadi negara terkaya sekaligus menjadi pembela negara miskin. Trend yang ada, orang-orang kaya di dunia, tidak lagi didominasi oleh AS. Sudah muncul nama-nama baru dari Rusia atau bekas Uni Sovyet.

Persaingan menjadi negara kaya ini telah menyebabkan munculnya Perang Dingin Baru antara AS dan Rusia. Perbedaannya, persaingan dalam Perang Dingin Baru tidak lagi pada perlombaan pembuatan senjata-senjata nuklir. Melainkan pada persaingan ekonomi dan bisnis.

Itu sebabnya Perang Dingin baru disebut sebagai Perang Dingin Ekonomi. Perang Dingin Ekonomi antara lain ditandai oleh pembentukan blok ekonomi baru oleh lima negara: Brasil, Rusia, India, China dan South Africa (Afrika Selatan).

Blok ekonomi baru ini disebut BRICS, sesuai alfabet terdepan dari kelima negara di atas. BRICS juga ditengarai sebagai pesaing baru terhadap blok G-7 (Group of Seven) yang terdiri atas AS, Kanada, Jepang, Jerman, Prancis, Inggeris dan Italy.

Dari segi penduduk dan pasar komiditi, BRICS memiliki persentase yang lebih besar dibanding dengan G-7. Sebab dalam BRICS terdapat dua negara terbanyak penduduknya di dunia yakni China (1,2 miliar manusia) dan India dengan 1 miliar penduduk.

Pandangan yang menyebut BRICS sebagai pesaing terbaru terhadap G-7 muncul, antara lain karena sikap AS dan Rusia sendiri. Tidak lama setelah Perang Dingin berakhir, AS langsung mengajak Rusia bergabung kedalam blok kelompok negara industri (G-7)..

Sehingga di 1993, ketika Rusia dipimpin oleh Presiden Boris Yeltsin, G-7 sempat diubah menjadi G-8, berhubung Rusia menjadi anggota baru di dalamnya.

Hingga sekarang Rusia masih menjadi bagian dari G-8. Tetapi secara spirit, Rusia tidak terlalu bersemangat. Rusia kelihatannya sangat sadar, keanggotaannya dalam G-8 tidak didukung AS sepenuhnya. Rusia dirangkul supaya lebih mudah mengontrolnya.

Di tahun 2012 ini saja, Rusia menyatakan absen dalam pertemuan G-8 di Washington setelah sebelumnya AS menyatakan absen di pertemuan APEC yang digelar di Vladivostok. Hal mana menunjukan persaingan atau Perang Dingin kedua negara, terus berlangsung.

Rusia lebih antusias membesarkan BRICS. Sementara AS melihat BRICS sebagai sebuah blok tandingan bagi kepentingannya di dunia. Beberapa agenda utama BRICS memang disusun untuk mengurangi dominasi AS di dunia. BRICS bertujuan menggeser dolar AS sebagai mata uang bagi sistem transaksi internasional.

BRICS juga ingin 'melumpuhkan' Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF - International Monetary Fund) sebagai regulator sistem perbankan dan keuangan dunia.

Rusia dan China berpandangan ketidak seimbangan perdagangan dunia saat ini terjadi karena peran dominan Bank Dunia dan IMF. Kedua lembaga yang bermarkas di Washington dan sengaja dikendalikan secara politik oleh AS justru menciptakan negara miskin dan negara gagal. Jumlahnya terus bertambah.


Posisi Indonesia
 
Bagi Indonesia, tidak gampang melepaskan diri dari tarik menarik antara dua kekuatan. Multi krisis yang menerpa Indonesia sejak tahun 1998, semakin memperparah posisi Indonesia. Akan tetapi untuk masuk di dalam pertarungan kedua kekuatan kemudian ikut berperan, juga sama sulitnya.

Untuk sementara, satu-satunya yang bisa dilakukan Indonesia adalah mencermati arah pertarungan kedua kekuatan kemudian mencari posisi yang sesuai dengan kemampuan Indonesia. Tapi lagi-lagi kembali, ini juga tidak mudah dilakukan.

Di sisi lain, sebagai pendiri Gerakan Non-Blok (GNB), Indonesia kelihatannya merasa berhasil atas berakhirnya Perang Dingin. Sehingga beberapa kebijakan luar negeri Indonesia, terkesan dibuat dengan asumsi Perang Dingin telah berakhir secara total.

Elemen Perang Dingin sebagai sesuatu yang belum berakhir atau telah muncul Perang Dingin Baru, tidak masuk dalam kalkulasi Indonesia. Hal ini antara lain tercermin dari keputusan Indonesia yang mencoba lebih dekat atau bersahabat dengan Rusia dan di pihak lain tetap menjaga hubungan yang baik dengan AS.

Caranya, antara lain dengan terus mengadopsi sistem demokrasi ala AS, tapi pada saat yang sama mulai melakukan pembelian sejumlah produk pertahanan dan telekomunikasi buatan Rusia, produk yang sebelumnya lebih banyak disuplai oleh AS.

Bagaimana hasil atau implikasinya ?

Tidak lama setelah Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden RI pada 2001, Indonesia memutuskan membeli pesawat tempur buatan Rusia (Uni Sovyet). Yang dipilih jet tempur Sukhoi.

Keputusan ini didukung oleh alasan yang sangat kuat. Keputusan ini merupakan bentuk lain dari kekecewaan Indonesia atas embargo militer AS pada Indonesia yang berkepanjangan. Pada saat embargo itu diberlakukan, Indonesia hanya mengandalkan jet tempur F-16 buatan General Dynamics, AS. Tetapi akibat embargo tersebut maka skwadron tempur F-16 yang mengalami kerusakan, tidak bisa diperbaiki. Suku cadang yang hanya bisa dibeli pada produsen AS itu, tidak dibolehkan untuk dijual ke Indonesia.

Akibatnya setiap kali jet tempur F-16 mengalami kerusakan, maka yang dilakukan oleh tehnisi TNI AU ialah memperbaikinya dengan cara kanibal. Suku cadang dari pesawat yang masih bagus dipindahkan ke pesawat yang rusak. Makin lama, kanibalisme makin meluas.

Kekuatan armada tempur F-16 Indonesia pun terus melemah dan mengecil. Negara tetangga mulai meremehkan Indonesia. Pernah terjadi sebuah pesawat F-16 yang mengalami kerusakan di Indonesia oleh otoritas AS diminta untuk diperbaiki di AS. F-16 itu pun diterbangkan ke AS.

Tetapi sesampai disana, pesawat itu disarankan untuk diperbaiki di Korea Selatan. Maka pesawat itupun dibawa ke Korea Selatan. Di negara ginseng itu, pesawat bisa diperbaiki. Sayangnya, biaya perbaikannya melebihi harga sebuah pesawat baru jenis yang sama. Indonesia semakin dirugikan.

Tapi bukan itu yang menjadi masalah. Setelah diperbaiki dengan biaya super mahal, pesawat F-16 itu akhirnya tidak diizinkan oleh AS untuk diterbangkan kembali ke Indonesia. Pemerintah khususnya kalangan militer Indonesia merasa dipermainkan oleh AS. Tetapi dengan posisi tawar Indonesia yang sangat lemah menyebabkan Indonesia tidak bisa memprotes apalagi memaksa AS.

Panglima TNI pada saat itu Jenderal Endriartono Sutarto cukup tersinggung dengan perlakuan AS. Sehingga akibat ketersinggungannya, Indonesia memutuskan mencari alternatif lain. Saat itulah diputuskan membeli jet tempur Sukhoi buatan Rusia.

Keputusan ini disadari membuat pihak AS ikut tersinggung. AS merasa Indonesia mulai bermain mata dengan negara yang menjadi lawannya dalam Perang Dingin. Namun ketersinggungan AS ini tidak membuat batalnya kesepakatan antara Rusia dan Indonesia dalam pengadaan jet Sukhoi dalam konteks program Alutsista (alat utama sistem persenjataan).

Sejalan dengan berkembangnya industri penerbangan di era pemerintahan SBY, swasta Indonesia juga mengikuti jejak pemerintah. Sejumlah perusahaan penerbangan dalam negeri tertarik membeli pesawat komersil buatan Shukoi yaitu Super Jet 100. Hanya (swasta) Lion Air yang membeli pesawat Boeing buatan AS.


Sukses dalam kerja sama pengadaan jet tempur dan jet komersil, Indonesia kemudian mengembangkan bisnis lainnya. Peluncuran Satelit Telkom 3, juga dilakukan oleh roket Rusia, Proten-M.

Entah secara kebetulan atau semata-mata disebabkan oleh kesalahan manusiawi, ikatan bisnis Indonesia dan Rusia dalam pembelian pesawat jet dan komersil serta peluncuran Satelit Telkom 3, ketiga-tiganya diwarnai oleh kecelakaan ataupun insiden.

Pada 2011, sejumlah teknisi pesawat jet tempur Sukhoi yang bertugas melakukan asembling semua peralatan yang diperlukan armada jet Shukoi, meninggal secara misterius di Pangkalan Udara TNI AU, Makassar, Sulawesi Selatan.

Penjelasan resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah RI dan Rusia menyebutkan bahwa kematian para tehnisi Shukoi tersebut karena meneguk minuman keras jenis vodka, di atas batas normal. Sekalipun demikian, kecurigaan bahwa mereka meninggal akibat faktor lain - seperti dibunuh oleh lawan bisnis, tetap saja menjadi buah bibir masyarakat.

Pada Mei 2012, sebuah pesawat Shukoi Super Jet 110 yang dikemudikan oleh Alexandr Yablontsev, seorang pilot berpengalaman, menabrak Gunung Salak Bogor. Pesawat SSJ 100 itu melakukan promosi terbang kepada para calon pembeli dari Indonesia.

Seluruh penumpang termasuk penerbang berpengalaman itu tewas dalam kecelakaan tersebut. Tragedi menimbulkan kecurigaan. Presiden Rusia, Vladimir Putin yang dikenal sebagai bekas anggota agen rahasia KGB, dilaporkan sangat marah atas insiden kecelakaan itu.

Yang pasti kecelakaan SSJ 100 itu berikut tewasnya tehnisi Rusia di Makassar, telah menimbulkan dampak negatif bagi Sukhoi. Produsen Rusia itu mulai dinilai sebagai entiti yang tidak kapabel dan akuntabel. Berbisnis dengan Rusia, memiliki risiko tinggi.

Kurang dari seminggu setelah kecelakaan tersebut, sejumlah media di Moskow melaporkan bahwa kecelakaan itu disebabkan oleh sabotase. Dan pihak yang dituding media Moskow sebagai penyabot adalah personil tentara AS yang bekerja di Pangkalan TNI AU, Halim Perdanakusumah, Jakarta Timur.

Laporan media Rusia ini cukup mengejutkan. Sebab selama ini tidak pernah terungkap bahwa di salah satu pangkalan militer Indonesia, terdapat personil militer AS yang berperan sebagai pelatih. Disebutkan bahwa personil militer AS di Halim Perdanakusumah itu memiliki alat berbentuk chip. Alat itulah yang ditempelkan di tubuh pesawat (Sukhoi Super Jet 100).

Alat itu kemudian mengganggu semua jaringan kabel yang ada dalam tubuh pesawat yang sedang mengangkasa. Sampai akhirnya pada ketinggian tertentu muncul di layar monitor, data yang membingungkan bagi sang kapten penerbang.

Tapi data yang tidak valid ini tetapi saja menjadi sumber acuan pengambilan keputusan si pilot. Pesawat yang seharusnya menaikan ketinggian oleh monitor justru diperintahkan untuk melakukan penurunan ketinggian. Blaaaaak. Pesawat pun menabrak gunung.

Penyabotan ini ditengarai sebagai bagian dari usaha pihak pesaing industri di AS untuk mencegah Indonesia melakukan pembelian pesawat berteknologi Rusia.

Penyabotan ini mengingatkan sejumlah kecelakaan pesawat buatan Rusia di berbagai tempat, di antaranya dalam Pameran Dirgantara (Air Show) di Paris. Kemudian kandasnya kapal selam bertenaga nuklir di perairan Laut Mati. Media Rusia menuding pihak AS lah yang melakukan penyabotan. Alasannya, persaingan bisnis semata.

Yang teranyar, hilangnya Satelit Telkom 3, milik PT Telkom TBk pada 6 Agustus 2012. Satelit itu diluncurkan oleh roket Rusia dari Kosmodrom Balkonur, Kazakhstan. Tidak lama setelah kejadian itu, Wakil Presiden Rusia, dilaporkan sangat geram dengan insiden itu. Hanya saja tidak disebutkan bahwa pejabat tinggi Rusia itu menunding adanya sabotase pihak ketiga.

Sepuluh hari kemudian Satelit Telkom 3 bisa ditemukan. Kendati begitu sudah terjadi kerugian dan secara psikologis kerja sama bisnis yang baru pertama kalinya dilakukan PT Telkom dengan Rusia, sudah diawali oleh keraguan.

Sejak Telkom meluncurkan satelit telekomunikasi Palapa di 1976, semua peluncuran dilakukan oleh negara dari blok Barat. Yang menjadi langganan tetap adalah NASA (AS) atau Ariane (Prancis). Baru di tahun 2012 satelit Indonesia diluncurkan ke orbit oleh perusahaan Rusia.

Apa yang menjadi penyebab atas hilangnya Satelit Indonesia, tersebut nampaknya bakal tak pernah bisa terungkap secarfa utuh. Misteri penyebab hilangnya Satelit Telkom 3 sama dengan misteri kecelakaan pesawat Sukhoi Super Jet 100 maupun penyebab kematian dari para teknisi Sukhoi di Pangkalan Udara Makassar.

Yang pasti rentetan 'kecelakaan' diatas tidak bisa dianggap sebagai sebuah kecelakaan biasa. Makanya tidak heran bila muncul spekulasi yang mengaitkan kejadian-kejadian itu dengan persaingan AS-Rusia dalam konteks Perang Dingin di bidang ekonomi.

Insiden-insiden itu seakan memberi pesan kepada Indonesia agar jangan pernah coba-coba keluar dari cengkeraman dan pengaruh AS. Kalau mau tanpa resiko, tetaplah dengan "sahabat lama", Paman Sam. 


Opini: Derek Manangka

Sumber : Inilah

3 komentar:

  1. membaca artikel ini sangat mengasikkan menambah wawasan luar biasa analisanya
    terima kasih buat admin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih telah berkunjung ke bolg ini, semoga dapat menambah wawasan bagi kita semua...

      Hapus
  2. Indonesia hrs mengaktifkan intelejen ala indonesia jangan lagi di bayang2i oleh AS, krn kita sdh belajar/kaloborasi sdh dialami utk itu hrs lepas dr bayang2 AS dan membuat tradisi sendiri mendirikan sekolah intelejen ala Indonesia hrs mulai dikembangkan serta hrs ada dukungan peralatan yg lain menyusul. Kalau belum siap maka satu2 jalan menyiapkan orang2 utk dididik agar SDM sdh siap, yg lain menyusul utk dipersiapkan dan kesemuanya dipersiapkan utk NKRI Raya.

    BalasHapus