Dari pelabuhan Watusampu, dermaga Angkatan Laut di Palu, kapal perang KRI Hiu 804 meluncur pelahan. Angin laut yang membuai di teluk Sulawesi itu seakan meredam teriknya udara siang.
Foto dokumentasi kegiatan di KRI Hiu 804 (ANTARA) |
Perjalanan ke arah Pantai Tanjung Karang Donggala, Sulawesi Tengah, ditempuh dalam dua jam.
Inilah tamasya yang sesungguhnya: kapal perang yang meluncur tanpa ketergesaan. Para penumpang dipersilakan menikmati eksotisme tebing-tebing di sekitar Palu. Mengirup hawa sejuk laut. Menyaksikan hamparan air laut sebening kaca.
Di geladak tingkat dua, pergelaran karaoke dengan organ tunggal disemarakkan para penyanyi amatir. Para amtenar dari pusat maupun daerah, laki-perempuan di atas umur 50 silih berganti unjuk kemampuan olah vokal. Mereka melantunkan lagu-lagu nostalgia, ya, selaras dengan usia mereka. Seorang ibu dengan bobot tubuh tak kurang dari 70 kilogram menembangkan "Rain and Tears" dari Demis Roussos.
Begitu lagu bernada sedih itu rampung, seorang bapak berambut putih menyambungnya dengan "Take My Hand for a While" gubahan Glen Campbell. Suara serak pak tua itu tampaknya menghibur pendengarnya yang berusia sebaya. Para ibu dan bapak yang melewati hidup lebih dari seabad itu ikut menggumamkan bait-bait melodramatis.
Barangkali karena tak merasa terbuai oleh lagu-lagu kenangan tempo dulu, segerombol wartawan hengkang dari ranah karaoke. Mereka menuruni anak tangga setinggi tiga meter menuju geladak tingkat satu di bagian haluan. Dari tempat ini, suara serak para penyanyi amatir ditelan angin laut. Yang terdengar hanya deru kapal yang dibuat PT PAL Indonesia pada 1995.
Kisah lucu Ambalat
Menyaksikan keindahan laut, teluk dan tebing pegunungan di Palu tak perlu berlama-lama. Bisa membosankan. Tak jauh dari kerumunan wartawan, seorang awak kapal, Letnan Dua (Laut) Elfan sedang berdiri tegak.
Seorang wartawan muda dari harian Kompas menyalaminya. Dia memulai dengan pertanyaan standar: "Mas, kapal perang ini pernah beroperasi ke mana saja?"
"Wah, ya sudah kemana-mana, Mas," jawab Letda Elfan, dengan logat arek Suroboyo.
"Pernah ke Ambalat?" seorang reporter MetroTV menyela.
"Pernah juga."
"Pernah berhadapan dengan kapal perang Malaysia?" sahut jurnalis media dalam jaringan atau online.
Letda Elfan yang masih bujangan itu tergelak sebelum memulai cerita tentang pengalamannya saat kapal perang RI berhadapan dengan kapal perang Malaysia. Inilah penuturan Letda Elfan yang diwarnai gelak tawa wartawan di sela-sela cerita tentang percekcokan Ambalat.
"Mereka memang kurang ajar, Mas," tutur Elfan menyebut awak kapal perang Malaysia yang pernah dijumpainya di perairan perbatasan RI-Malaysia. Awak kapal perang Malaysia itu suka melakukan provokasi dengan sengaja melintasi tapal batas.
"Yang mereka langgar nggak jauh sih. Paling-paling cuma sepuluh meter dari tapal batas. Mereka lalu teriak-teriak. Begitu kami datang untuk mengusir, mereka segera meluncur kembali ke dalam wilayah mereka."
Teriak-teriak gimana, Mas?" tanya wartawan.
"Ya macam-macam. Ada yang memaki pakai kata `jancuk, jancuk". Apa nggak kurang ajar itu? Eh, rupanya angkatan laut Malaysia itu ada orang dari Surabaya, dari Tegal, dari Solo," kata Elfan.
Kalau sudah teriak-teriak dengan kata-kata kotor gaya Suroboyoan itu, Elfan dan awak kapal lain segera mengambil botol, mur, baut bekas dan melemparkan benda-benda keras itu ke arah mereka. Tentu saja, lemparan itu tak sampai mengena kapal karena mereka meluncur dan menjauh dari kapal perang RI.
"Kenapa nggak sampean takut-takuti," sergah wartawan. "dengan mengarahkan moncong meriam ke kapal mereka?"
Elfan tertawa ngakak mendengar ucapan pertanyaan wartawan itu.
Lalu berkatalah Elfan: "Nggak boleh kita menggunakan intimidasi. Menggerakkan moncong meriam dikit aja, udah melanggar hukum internasional."
Jarak terdekat yang pernah dialami kapal perang RI berhadapan dengan kapal perang Malaysia, ujar Elfan, sekitar 30 meter. Jika tidak ada provokasi, awak kapal perang kedua negara itu bisa saling berkomunikasi.
Dari komunikasi ini Elfan mengenal beberapa awak kapal perang Malaysia yang berasal dari daerah-daerah di Indonesia. Mereka adalah generasi muda yang lahir di Malaysia dari orang tua mereka yang berasal dari Surabaya, Tegal, Solo dan daerah lain, tapi mereka sudah menjadi warga negara Malaysia.
Para wartawan senang mendapat informasi yang menghibur dari pemuda harapan bangsa itu. Setidaknya, penjelasan Elfan tentang situasi si Ambalat menambah perspektif wartawan ketika menulis kasus yang berkaitan dengan perkara tapal batas perairan Indonesia dan Malaysia.
Sebelum mengakhiri percakapan, seorang wartawan kantor berita nasional bertanya pada Elfan: "Apa benar, kata media massa, kapal perang Malaysia lebih canggih dari kapal perang kita?"
"Itu tidak benar, Mas. Di negara mana pun, kecanggihan kapal perang itu sangat dirahasiakan. Kalau mereka mengaku lebih canggih, ya bisa saja. Kita pun juga bisa mengaku seperti itu," tutur Elfan.
Perjalanan siang itu terasa tak membosankan dengan hadirnya Letnan Dua Elfan. Beberapa menit kemudian kapal perang yang diberi lisensi dari Galangan Kapal Luersen Jerman kembali berlabuh di dermaga Watusampu, Palu, Sulawesi Tengah setelah rencana berlabuh di Pantai Tanjung Karang Donggala dibatalkan.
Para wartawan dan penumpang lain meninggalkan kapal sementara awak kapal perang yang dipersenjatai rudal buatan China itu masih harus berbulan-bulan di atas kapal untuk menunaikan tugas negara, menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selamat bertugas Letnan Dua Elfan dan kolega.
Jalesveva Jayamahe!
Sumber : Antara
Mas ELFAN doa rakyat Indonesia Menyertai-tugas-mu. JALESVEVA JAYAMAHE> DI LAUT KITA JAYA. GUANYANG MUALINGSIA
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusho ho ho
BalasHapus