Kamis, 31 Januari 2013

The Last Flight: N-250 (by WH)


Kisah perjalanan hidup seseorang yang terlibat langsung dalam sebuah industri strategis di negara ini, merupakan informasi yang mahal sekaligus memberikan perspektif tersendiri, yang susah kita dapatkan dari tulisan-tulisan berita formal. Hal ini karena si penulis bagian langsung dari peristiwa,  sehingga informasinya lebih berwarna. Istilahnya “roh” tulisannya, bisa kita dapatkan dengan terang.

pesawat N250 IPTN
Pesawat N250 IPTN (all foto : jkgr)
 
Berikut cuplikan kisah dari rekan kita WH, yang aktif  dalam berbagi informasi dan berdiskusi:

Perjalanan N-250 dan N-2130

Hampir 20-an tahun yang lalu, saya terlibat dalam desain N-250 dan N-2130 (sekelas Boeing 737). Just sharing dan agak menyimpang sedikit.  Dalam setiap rancang bangun pesawat, yang paling rumit dan mahal adalah desain sayap. Benda ini harus tipis tetapi harus mampu menghasilkan gaya angkat yang dibutuhkan. Kuat tapi ringan untuk menahan seluruh berat pesawat dan di dalamnya harus cukup volume untuk fuel dan sistem terutama flight control — hal hal kontradiktif yg selalu bikin pertengkaran antar Departemen. Desain sayap N-2130 sudah sampai iterasi pertama pengujian 2 dimensi di terowongan angin transonik di Perancis.



terbang perdana pesawat N250 IPTN
Namun pada akhirnya semua tiba-tiba berhenti, karena negara ini salah urus hingga akhirnya digoyang ala Arab Spring tahun lalu. Dan hmmmm …. ada engineer lebih senior se departemen dengan saya, kini di industri pesawat Malaysia.

Pilot  Pertama Menerbangkan N250

Anda membawa saya mengingat ke masa lalu, dan berikut ini beberapa memory yang masih membekas. Betul sekali, Pak Erwin, chief pilot sarjana alumni Stutgart Jerman, yang pertama kali menerbangkan N-250. He is a hero.

Dan, saya juga waktu itu baru sadar, ternyata 1-2 hari sebelum N-250 terbang perdana untuk  first flight, N250 harus belajar terbang. Betul, harus belajar terbang seperti anak burung yang mau terbang. Dengan landasan Husein Sastranegara yang tidak cukup panjang itu, Pak Erwin harus bisa “menerbangkan” N250 setinggi beberapa meter, lalu segera mendaratkan kembali, mengerem dan kemudian menghentikan laju pesawat.


Capt Sumarwoto, Prof Dr BJ Habbie, Capt Erwin Danuwinata (alm)
Capt Sumarwoto, Prof Dr BJ Habbie, Capt Erwin Danuwinata (alm)

Pada saat N250 lepas dari landasan, hanya dalam waktu beberapa detik, beliau harus dengan cekatan menguji (menggerakkan) semua flight control (aileron, rudder, elevator) lalu segera mendarat kembali. Tujuan tes ini untuk mendapatkan data valid apakah semua parameter telah sesuai desain. Misalnya, besarnya gaya-gaya aero yang tercipta dalam kondisi aktual, apakah sudah sesuai dengan desain dan simulator, dan lain-lain. Kalau iya, berarti selama ini latihan dengan simulator sudah cocok dengan kondisi N250 sebenarnya, yang pada dasarnya belum pernah terbang sama sekali.

Esoknya, N250 benar-benar terbang ke angkasa!. Saya sempat tertegun, benda seberat 24,000 kg ini kok bisa stabil mengapung di udara ya?

Dropping  Kargo Pilot Erwin

Beliau bersama pilot … hmm lupa nih namanya, WNI keturunan, sarjana alumni Belanda, menerbangkan CN-235 yang kemudian jatuh saat dropping kargo 3 ton. Pak Habibie heran, kok bisa ada dua pilot dalam satu pesawat. Rupanya tujuan Pak Erwin sekalian melatih pilot baru untuk mampu melakukan droping kargo dengan parasut dari CN235.

Kalau droping nya dari titik yg cukup tinggi (> 1 km), tidak terlalu masalah bagi pilot, resikonya kargo bisa terbang jauh terbawa angin dan jatuh ke tangan musuh (kalau lagi perang). Lah ini droping dari ketinggian cuma 200 – 300 meter, jatuhnya harus presisi, sementara beratnya kargonya 3 ton pula.

Pada saat kargo meluncur ke belakang ditarik parasut, titik berat pesawat (c.g., center of gravity),  ikut pindah ke belakang hingga 100%. Normalnya sekitar 25-30%. Dalam hal ini pilot harus cekatan dan punya nyali tinggi. Pada titik ini pesawat akan mendongak dan pilot harus segera menstabilkan posisi pesawat.

Setelah kargo lepas, center of gravity akan segera balik lagi ke semula dengan cepat, dan pilot harus segera membalas gerakan pesawat yang akan menukik. Sebetulnya Pak Erwin sudah lama mengembangkan teknik droping dari ketinggian rendah.

Kejadiannya, tali parasut putus, sementara kargo sudah meluncur ke belakang (droping kargo seberat 3 ton dari CN235,  baru pertama dilakukan rangkaian test pada saat itu).

Hari itu, hari terakhir yang melelahkan setelah 30 hari terus menerus melakukan dropping test), sementara kargo sudah meluncur ke belakang. Tali yang putus terpental balik ke arah kargo, dan sialnya ring 20 inchi pada tali, tergilas kargo dan terjepit tow plate di lantai belakang pesawat.

Kargo kemudian terhenti pada posisi center of gravity pesawat 100%, karena tertahan tali yang ring nya terjepit antara kargo dgn tow plate di bawahnya. Alhasil pesawat langsung mendongak vertikal. Dari rekaman black box, terdengar Pak Erwin keras teriak ke belakang “release … release ….release”. Kru yang di belakang, ada juga 1 bule dari vendor, pada panik sambil menendang kargo agar segera jatuh. Saat itu juga dengan cekatan Pak Erwin mendorong throttle mesin pesawat full ke depan, 100%, dan menambah sudut bilah baling-baling ke maksimum untuk meningkatkan thrust (daya dorong) dari baling-baling. Pesawat menderu keras sekali. Dia kemudian mengusahakan pesawat manuver dan menukik ke samping. Tujuannya untuk menaikkan speed pesawat yang pada saat itu hampir zero. Pesawat segera menukik ke samping dan speed bertambah.

Dengan bertambahnya speed, gaya-gaya aerodinamik muncul lagi, dan Pak Erwin bisa mengendalikan sistem kendali pesawat (aileron, ruddder, elevator). Sepertinya sehabis menukik ke samping dia akan segera mengangkat hidung pesawat karena posisi pesawat sudah sangat dekat dengan daratan. Dia akan mendaratkan pesawat dengan pantat pesawat dan kargo yang duluan mengenai daratan, tergesek di bagian belakang . Peluang antara hidup dan pass away (mati) mungkin dalam benaknya bisa fifty-fifty.

Rupanya Allah berkehendak lain.  Karena jaraknya sudah terlalu dekat dengan daratan, pada saat menuver ke samping, ujung sayap menyenggol daratan menyebabkan pesawat terbanting dan meledak.

Kru rescue setelah kejadian berkisah kepada saya, dia langsung memacu kendaraan pemadam ke arah pesawat yang jatuh, dan dengan gergaji mesin, dia langsung memotong-motong frame kokpit untuk menyelamatkan Pak Erwin dulu.

Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Pak Erwin tidak jadi menyantap sayur brokoli Bandung, setelah pulang dropping test.  Sayur itu ia pesan ke istrinya beberapa hari sebelumnya. He is a hero.

(Pilot Erwin Danuwinata tewas dalam uji dropping pesawat CN-235 versi militer setelah  mengalami kecelakaan dan jatuh di Lapangan Udara Gorda, Serang, Jawa Barat, pada 22 Mei 1997- Red)


Tugas Pesawat Soko Galeb di N-250

Mengenai pesawat Soko Galeb, saya tidak tahu kalau kemudian ada rencana untuk mengembangkan bersama pesawat ini. (Satrio: Perusahaan Pak Habiebie sudah teken kontrak  kerja mengembangkan dan produksi bersama dengan perusahaan Rusia membuat pesawat soko galeb (pesawat latih tempur) dengan TOT murni ?- Red).


Alm Capt Erwin Danuwinata (kiri) dengan Pesawat Soko Galeb
Alm Capt Erwin Danuwinata (kiri) dengan Pesawat Soko Galeb

Yang saya ketahui waktu itu adalah, pesawat tempur ringan ini, buatan Serbia/Yugoslavia, dibeli PT DI,  setelah disipilkan (dipreteli sistem persenjataannya), untuk mendukung flight test, dan ternyata memang sangat useful. Setiap kali N250 terbang, pasti ditemani Soko Galeb yang diawaki dua orang, pilot dan flight engineer di belakangnya. Kamera video yang dioperasikan flight engineer untuk mengamati seluruh bagian luar N250 (atas, bawah, samping, belakang) langsung ditransmit dan ditayangkan real time ke dalam ruang kendali di menara kontrol. Selain video, banyak sekali data dari sensor di dalam pesawat yang ditransmit ke menara kontrol dan ditampilkan online. Kita-kita yang terdiri belasan orang masing-masing mengamati parameter yang sesuai bidangnya.

Kasus menarik adalah pada saat muncul vibrasi dalam kondisi tertentu, kamera video Soko Galeb bisa dengan nyata menunjukkan lokasi vibrasi, berupa tali-tali pendek yang kita tempel di area yang dicurigai yang kemudian terlihat bergerak tidak beraturan — tanda ada turbulensi lokal yang memukul-mukul body sehingga terasa getarannya.

Dalam kasus kecelakaan CN235 di atas, kamera video dari kru Soko Galeb yang tanpa hentinya mengambil gambar dari awal sampai akhir, yang kemudian digabungkan dengan data black box, betul-betul sangat berguna untuk analisa.

N-250 dan Prof. Said D. Djenie

Di balik ini semua, kita perlu salut kepada Prof. Said D. Djenie (almarhum), asli wong Padang penyabet gelar PhD Aeronautika dari MIT Amerika Serikat. Sebagai bawahan langsung Pak Habibie, Pak Said merangkap sebagai dosen ITB dan kepala divisi Flight Test. Beliaulah yang menyiapkan segala tes yang diperlukan untuk N250: dari sejak lahir keluar hanggar perakitan, flight test hingga bisa lulus sertifikasi untuk bisa dijual. Sayangnya jauh sebelum dapat sertifikat laik terbang (masih perlu 2000-an jam terbang lagi), negara ini keburu collapse terimbas krisis monitor yang diikuti berbagai unjukrasa  “Indonesia Spring”.

Kiri ke kanan :
Capt Sumarwoto, Prof. Said D.Jenie (Alm), Prof Dr BJ Habbie, Capt Erwin Danuwinata (alm)


Nasib N-2130
Kini, 15 tahun kemudian, industri strategis bangsa ini mau bangkit kembali, mohon kita bahu membahu agar tidak dicaci maki kayak dulu lagi. “Bikin pesawat CN235 untuk ditukar beras ketan Thailand”, betul betul hujatan yang terlalu simplified, menyederhanakan masalah. Mau buat N2130, protesnya nggak karuan dari mana-mana. Kini, 15 tahun kemudian, yang panen pesawat sekelas N-2130 adalah Boeing dengan 737 nya dan Airbus. Inilah yang diinginkan penyandang dana tukang protes waktu itu. Tukang protes inilah yang sebetulnya dog of imperialism, bukan Pak Habibie. (WH).


N-2130 IPTN
N-2130 IPTN

WH yang ikut mewarnai negeri ini:

N250 PROTOTYPE-1 FLIGHT FLUTTER TESTING DEVELOPMENT

N25O Prototype-1 Aircraft is a turboprop commuter short haul aircraft for 50 passengers, high wing and T-tail (See Figure 1), The aircraft is powered by Allison turboprop engine with six bladed Dowty-Rotol propellers that are mounted on the inboard Wing structurer The retractable tri­cycle Messier Bugatti that is mounted in the ñlselage supports the aircraft. The flight controì system is a fly-by­wire design…

Link:  http://www.icas.org/ICAS_ARCHIVE_CD1998-2010/ICAS1998/PAPERS/453.PDF


Sumber : JKGR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar