Senin, 12 Agustus 2013

Kisah Haru dan Bangga Mengenai Pesawat CN-235 Buatan Indonesia


Penulis : Chappy Hakim

Dalam kesempatan kunjungan resmi ke Korea Selatan sebagai kepala staf Angkatan Udara Republik Indonesia, salah satu acara formal adalah mengunjungi lokasi strategis Angkatan Udara Korea di luar Kota Seoul. Perjalanan ke tempat tersebut dilakukan menggunakan pesawat helikopter yang berbasis di salah satu pangkalan udara yang berdampingan dengan US Air Force Base, unit dari Angkatan Udara Amerika Serikat.  



Kisah Haru dan Bangga Mengenai Pesawat CN-235 Buatan Indonesia


Selesai acara resmi, rombongan kami saat itu tertunda lebih kurang satu jam dalam jadwal perjalanan kembali ke Seoul karena cuaca yang berubah buruk. Seorang kolonel menghadap saya menjelaskan bahwa perjalanan kembali ke Seoul tidak dapat dilaksanakan menggunakan helikopter atau pesawat rotary wing yang tadi. Disebutkan alasannya adalah pesawat tersebut tidak bisa terbang tinggi berhubung dengan perkembangan keadaan cuaca yang memburuk. Markas Besar di Seoul memerintahkan untuk mengirim sebuah pesawat fixed wing VIP menjemput saya dan rombongan.


Setelah pesawat siap, kami pun segera bergegas menuju tempat parkir pesawat. Agak sedikit kaget karena ternyata pesawat fixed wing VIP yang disiapkan tersebut ternyata dari jenis CN-235.  Selesai melaksanakan penghormatan berjajar sesuai dengan prosedur pemberangkatan VIP,sang Captain Pilot dengan tersenyum lebar mendekat ke saya dengan mengutarakan penuh bangga bahwa saya akan diantar kembali ke Seoul dengan pesawat fixed wing terbaik yang tersedia di Korea Selatan dan itu adalah pesawat terbang “asli” buatan negara anda!  Terharu dalam hati, saya tersenyum sejenak dan mulai meneliti interior CN-235 yang sama sekali belum pernah saya saksikan sebelumnya.  Tidak bisa saya sembunyikan kekaguman terhadap disain interior CN-235 VIP Angkatan Udara Korea Selatan ini.    Baru belakangan setelah itu, saya memperoleh informasi bahwa disain dan perlengkapan VIP interior CN-235 tersebut adalah produk dari pesanan khusus Pemerintah Korea Selatan kepada pihak PTDI. Terus terang, sangat mewah untuk ukuran Indonesia dan yang istimewa adalah sangat bersih,termasuk lantainya.   Yang lebih mengharukan saya adalah melihat bagaimana para awak pesawat bertugas di pesawat itu dengan penuh kebanggaan.    Kebanggaan dalam bertugas menerbangkan VIP dengan pesawat khusus  VIP buatan Bandung!



Di pertengahan masa jabatan saya lainnya, Panglima Tentara Udara Diraja Malaysia (TUDM) berkunjung tidak resmi ke Surabaya dengan transit semalam di Jakarta.   Saya datang menemuinya di salah satu hotel di Jakarta Pusat.   Ada rasa ingin tahu,apa gerangan yang menjadi acara penting Panglima ke Surabaya.   Ternyata,Panglima TUDM beserta satu set kru lainnya hendak berlatih simulator CN-235 di Surabaya.   Saya bertanya kepada Panglima, Jenderal Dato’ Suleiman,  jam berapa tiba dan menggunakan apa?   Surprise sekali saya memperoleh jawaban ternyata Panglima mengemudikan sendiri pesawat CN-235 TUDM VIP dengan menyertakan dua co-pilot yang akan berlatih simulator di Surabaya.   Jenderal Dato’ Suleiman menceritakan kepada saya betapa dia sangat menikmati terbang dengan CN-235.  Saya tidak punya rating/ kemampuan menerbangkan CN-235 karena sebagian besar perjalanan terbang saya adalah menerbangkan C-130 Hercules.   Secara kebetulan, Jenderal Dato’ Suleiman juga mempunyai rating pesawat Hercules.   Dengan demikian saya dapat mendiskusikannya agak lebih teknis apa yang dimaksudkan “nikmat” menerbangkan CN-235 dan membandingkannya dengan Hercules.

Diskusi berakhir dengan pernyataan Panglima TUDM yang sangat saya percaya jauh dari basa-basi bahwa secara teknis, menerbangkan CN-235 tidaklah kalah menyenangkan dari menerbangkan Hercules.   Dia menutup pembicaraan yang penuh persahabatan itu dengan hal yang sangat mengharukan  sekaligus membuat bangga saya bahwa seluruh warga TUDM sangat bersenang hati memiliki dan mengoperasikan pesawat CN-235 produksi dari bangsa serumpun!

Belakangan ini pada salah satu kesempatan, saya berjumpa Ex Penerbang Garuda yang telah lama terbang di Korean Air.   Dia khusus ingin menceritakan  tentang satu hal yang cukup “penting” untuk disampaikan lansung kepada saya.   Dia bercerita, bahwa dalam perjalanan panjang pengalamannya terbang sebagai Captain Pilot di Korea, beberapa kali pernah terbang dengan Co-Pilot Korea yang berasal tadinya dari  Pilot Angkatan Udara Korea Selatan.   Kebetulan, sang Pilot berkebangsaan Korea itu pernah menerbangkan pesawat Angkatan Udara Korea dari Jenis CN-235 versi VVIP.   Dia bercerita kepada sahabat saya betapa dia sangat bangga dan merasa senang memiliki cukup banyak jam terbang di pesawat CN-235 buatan Indonesia tersebut.   Bangga terhadap produk pesawat terbang Indonesia, satu Negara sesama bangsa Asia.   Yang “mengenaskan” adalah, betapa sahabat saya itu secara jujur mengakui dalam hati bahwa dirinya sendiri pun tidak atau belum mengetahui ada satu produk pesawat terbang Indonesia yang “secanggih” itu untuk menjadi bahan obrolan ringan di dalam kokpit sebuah pesawat “Jumbo-moderen” produk Negara maju yang tengah mereka terbangkan berdua.

Dari tiga uraian ilustrasi tadi, kiranya telah lebih dari cukup untuk mewakili refleksi dari beberapa negara lainnya di kawasan Asia Pasifik yang juga menggunakan pesawat buatan anak bangsa CN-235.   Sekedar untuk diketahui saja, CN-235 sudah sangat luas digunakan dibanyak negara di muka bumi ini.  Beberapa diantaranya adalah : Brunei, Kamboja, Chile, Colombia, Ekuador, Perancis, Jordania, Malaysia, Mexiko, Pakistan, Papua Nugini, Korea Selatan, Saudi Arabia, Thailand, Turki, Amerika Serikat dan lainnya.   CN-235, sebenarnya telah berhasi dengan baik tampil sebagai satu  “produk unggulan”  dari IPTN  (saya lebih suka menggunakan kata IPTN yang merefleksikan spirit kepahlawanan Nurtanio, dibanding PTDI, yang bisa saja keliru dan mengingatkan kita kepada gerombolan pemberontak dimasa lalu DI-TII).

Demikianlah seyogyanya, seperti banyak pabrik pesawat  terbang terkenal dan sukses di dunia yang memang hanya bisa maju melalui salah satu produk unggulannya terlebih dahulu, baru kemudian ber-kreasi pada produk-produk jenis pesawat lainnya.   Industri Strategis pasti memerlukan “Political Will” dari Pemerintah untuk dapat bergulir dengan “subsidi” yang tidak kecil dalam proses mengawali produk satu pesawat terbang yang diunggulkan untuk dapat masuk ke “pasar”.   CN-235, sudah dibuat dalam versi Sipil dan MIliter.   Diawal kelahirannya, satu skadron CN-235 masuk dalam jajaran Angkatan Udara, sementara diwaktu yang relatif bersamaan, sejumlah CN-235 di-operasikan oleh PT Merpati Nusantara Airllines, Maskapai Penerbangan Perintis dalam melayani penerbangan di pelosok terpencil Nusantara ini.   Penggunaan di lapangan dalam jumlah yang cukup banyak dan mencakup sektor perhubungan udara sipil serta bidang operasional Angkatan Udara dari satu Negara Kepulauan yang luas seperti Indonesia telah menjadikan CN-235 dilirik banyak Negara untuk dikembangkan.   Thailand menggunakan pertamakali untuk keperluan eksperimen hujan buatan, Malaysia dan Korea Selatan, konon bahkan menggunakan CN-235 sebagai pesawat VIP Kepala Negara.   Sementara beberapa perusahaan avionic (aviation electronic) terkemuka di Eropa mendorong pengembangan CN-235 sebagai Variant dari pesawat  “patroli-maritim” untuk Angkatan Udara.

Bila belakangan ini banyak pertanyaan tentang bagaimana nasib IPTN, maka jawabannya adalah “fenomena” CN-235 patut untuk menjadi pertimbangan serius dalam upaya untuk bisa bangkit kembali.   Sekali lagi Political Will Pemerintah, beriringan dengan subsidi, lebih mudah merangsang pengembangan satu produk unggulan untuk menembus pasar.   Produk yang banyak digunakan setelah berhasil masuk pasar akan lebih mudah berkembang lagi sebagai hasil dari proses penyempurnaan (research and development) dari kualitas satu jenis produksi.   Agak terhenti lajunya “snow-ball” dari jalur produksi pesawat CN-235, yang sebenarnya bisa berperan sebagai “produk-unggulan”  IPTN, pasti sangat disayangkan.  Sayang , bila para pengguna dari CN-235 yang sudah begitu luas di panggung Global akan berhadapan dengan kondisi  “layaknya seperti anak ayam yang kehilangan induknya”.



Sumber : CP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar