Sabtu, 28 Desember 2013

Celah Menuju Kemandirian Industri Pertahanan


Kepala Staf TNI AD (Kasad), Jenderal Budiman, dalam berbagai kesempatan, berujar bahwa 90 persen persenjataan yang dipakai pasukan infanteri adalah buatan industri dalam negeri.

Celah Menuju Kemandirian Industri Pertahanan
Kepala Staf TNI AD (Kasad), Jenderal Budiman
 
Senjata-senjata yang dipeluk dan dipanggul para prajurit TNI ADA saat bertugas maupun defile mayoritas buatan PT Pindad. Senjata-senjata itu pula yang membawa nama harum Indonesia dalam berbagai kompetisi ketepatan menembak.

Kasad berharap kebanggaan itu menular pada alat utama sistem senjata (alutsista) di sektor lain, terutama untuk alutsista berat yang ditunggangi prajurit kavaleri dan artileri.

"Kita memang belum sanggup membangun alutsista kompleks seperti tank Leopard, tapi kita sedang dalam tahap menuju ke sana," kata Budiman optimistis.


Optimisme itu beralasan karena PT Pindad sudah mampu membangun panser Anoa yang sebagian besar produksi dalam negeri. Pindad sedikit-sedikit juga membangun kendaraan tempur berbagai tipe. Tentu saja itu merupakan cikal bakal membangun kendaraan lapis baja sekelas tank.

Apakah itu pernyataan gagah-gagahan dari seorang kepala staf? Kementerian Pertahanan (Kemhan) menyatakan bahwa pertahanan mutlak diperkuat. "Bangsa yang kuat adalah bangsa yang kuat pertahanannya," kata Menteri Pertahanan, Purnomo Yusgiantoro.

Sejak 2010, pemerintah sudah mulai merapatkan barisan untuk membangun kekuatan pertahanan yang tangguh. Apalagi negara-negara di Asia Tenggara sudah diperkuat dengan peralatan perang yang canggih.

Kemhan sudah membuat daftar utama ancaman yang mungkin terjadi terhadap negeri ini. Tentunya bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri dan Badan Intelijen Negara. Salah satu ancaman nyata yang sempat menyembul adalah penyadapan yang dilakukan Australia dan

Amerika Serikat terhadap sejumlah petinggi negara.
Purnomo berharap pembangunan kekuatan pertahanan diikuti dengan penguatan peraturan perundangan dan keputusan politik dari anggota parlemen. Pemerintahan mendatang juga harus kuat komitmennya membangun pertahanan. "Kalau presidennya tidak mengerti militer, bisa saja tidak berlanjut. Jadi, komitmennya harus kuat," kata dia.

Wakil Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin, yakin sepuluh tahun ke depan, tepatnya 2024, kekuatan pertahanan Indonesia sudah mandiri. Dia optimistis industri pertahanan dalam negeri, swasta, dan badan usaha milik negara (BUMN) sanggup memproduksi alutsista sendiri.

Kapal Selam

Cikal bakal itu sudah terlihat ketika perusahaan Korea Selatan, Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering (DSME), mau bekerja sama dengan PT PAL membuat tiga kapal selam. Indonesia diperkirakan bisa membuat kapal selam sendiri pada produksi ketiga kapal selam itu. "Sepuluh tahun mendatang kita berharap PT PAL sudah bisa membuat kapal selam sendiri," kata Sjafrie.

Masih dengan Korea Selatan, PT Dirgantara Indonesia juga dilibatkan membuat pesawat tempur generasi 4,5 yang rencananya diberi nama KFX.

Proyek ini, walaupun sempat tersendat, masih terus berjalan bekerja sama dengan Republic of Korea Air Force (Rokaf).
Sebagai perbandingan kecanggihan, pesawat ini memiliki radius serang lebih tinggi 50 persen dari pesawat F-16 yang menjadi andalan Amerika Serikat. Bahkan, KFX dilengkapi kemampuan antiradar atau stealth.

Melalui Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP), Indonesia berkomitmen membangun kemandirian industri dalam negeri. Sjafrie, yang merupakan sekretaris KKIP, menyatakan sekuat tenaga Indonesia harus bisa secepatnya membangun kekuatan pertahanan sendiri.

Jika belum bisa, diusahakan untuk melakukan alih teknologi. Dengan catatan kerja sama alih teknologi harus setara dan jangan sampai industri kita dirugikan. Saat ini, sejumlah alutsista yang dibeli dari luar negeri sudah berderet.

Salah satu yang membetot perhatian adalah kedatangan dua tank bobot berat Leopard 2A4 dan tank sedang Marder dari ratusan yang dipesan. Keduanya merupakan produksi dari Jerman. Dari pembelian yang tak lebih dari 280 juta dollar AS itu, Indonesia akan dibimbing untuk bisa memperbaiki kerusakan kecil maupun besar. "Diharapkan ke depan kita bisa membuat sendiri," kata Sjafrie.

Dari tahun ke tahun, anggaran untuk pengembangan alutsista semakin besar. Pada 2010 saja, anggaran untuk membangun kekuatan pokok pertahanan mencapai 42,3 triliun rupiah. Pada 2014 naik hampir dua kali lipat menjadi 83,4 triliun rupiah. Tentu saja menjadi amat strategis. Jika diikuti dengan pengawasan yang ketat, dijamin kekuatan pokok pertahanan kita akan segera terbentuk lima tahun mendatang.

Anggota Komisi I DPR, Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati, mengatakan kabar yang baik jika pertahanan Indonesia terus diperkuat. Apalagi perkuatan itu dilakukan di semua matra, baik darat, laut, maupun udara. Namun, dia mengingatkan agar sumber daya manusia pengawaknya juga harus diperhatikan. "Pelatihan-pelatihan terhadap pengawak melalui pendidikan formal dan nonformal harus mulai diperbanyak," kata Susaningtyas.

Kualitas Dijaga

Khusus alutsista produksi dalam negeri, dia berharap kualitasnya dijaga sesuai ketentuan internasional. "Jangan sampai begitu akan dipakai kondisinya ringkih," kata dia. Keberadaan KKIP, tambahnya, sangat membantu menuju ke arah kemandirian.

Untuk itu, dia menekankan perlu ada budaya korporasi (corporate culture) yang baik dari BUMN industri pertahanan Indonesia. "BUMN kita harus berimbang dengan industri pertahanan dari negara yang biasa membuat alutsista agar kualitasnya baik," katanya. (KJ)

1 komentar:

  1. Produk dalam negri kan biaya lebih ringan dan mutu harus terjamin

    BalasHapus