Kamis, 11 September 2014

Josaphat Sang Profesor Ahli Radar dan Drone yang Berjaya di Negri Sakura [Bagian 2]




Pengembangan Drone atau UAV Seri JX

Suatu saat saya memikirkan cara untuk menguji radar saya,yaitu memasangnya di badan pesawat. Kemudian saya coba diskusi dengan beberapa perusahaan pesawat dan mendapatkan jawaban yang hampir sama, yaitu memasang radar perlu mengubah atau memodifikasi badan pesawat. Modifikasi ini perlu dana sebesar 200 juta yen atau sekitar 20M rupiah. Bagi sebuah laboratorium yang baru memulai kariernya, nilai ini sangatlah besar sekali, kemudian saya balik pikiran daripada memberi dana sebesar itu ke orang lain, lebih baik membuat pesawat atau pesawat tanpa awak (drone/UAV) sendiri. Akhirnya saya pilih membuat pesawat tanpa awak sendiri. Hanya permasalahannya adalah frekuensi yang dipakai oleh synthetic aperture radar (SAR) yang saya buat saat itu adalah L band yaitu 1.27 GHz dengan panjang gelombang sekitar 24 cm. Sehingga memerlukan antenna yang cukup panjang, biasanya 10 lambda atau 2.4 m. 


Agar antenna tersebut dapat dimuat oleh drone, maka bersama anak saya yang masih berumur 4 tahun memikirkan bentuk yang memungkinkan. Agar SAR sensor tidak terlihat dari luar saat mengoperasikan, maka drone dipilih bentuk dimana antenna dipasang didalamnya. Agar gelombang electromagnet yang dipancarkan oleh radar dapat tembus dan terhantar dengan baik, maka bahan untuk badan pesawatpun dipilih campuran kayu balsa dan fiber plastic sehingga diperoleh dielectric constact sekitar 1.3 yang mendekati udara. Akhirnya saya pilih badan drone atau UAV sekitar 5-6 meter dan rentang saya 6 meter untuk menyangga seluruh beban sensor yang akan dibawa. UAV ini diberi nama Josaphat Laboratory Experimental Unmanned Aerial Vehicle (JX), dimana UAV pertama diberi nama JX-1.

Saat itu saya ingin mencoba untuk membantu perusahaan Indonesia untuk ikut mengembangkan UAV saya. Pada saat mengajar ke beberapa Universitas dan instansi penelitian di Indonesia, saya tawarkan pula ke beberapa perusahaan Indonesia. Maksud saya untuk menggerakkan perusahaan kecil dan menengah di Indonesia, khususnya di bidang UAV. Ada beberapa perusahaan yang menyanggupi, walau mereka belum punya pengalaman membuat UAV dengan rentang sayap 6m, kemudian saya pilih satu diantara mereka. Kemudian perlu dipikirkan perusahaan perantara atau pengimport di Jepang, kalau masalah ini tidak terlalu sulit, karena saya sering memasukkan perangkat sensitive untuk radar, UAV dan satelit, cukup berpengalaman. Saat itu saya minta pembuat UAV di Indonesia untuk dapat dilakukan taxing test dan uji terbang pula, sebelum dibawa ke Jepang. Walau akhirnya taxing test dan uji terbang tidak dilakukan oleh perusahaan Indonesia karena mereka belum berpengalaman dalam hal ini. Jujur saat itu saya sangat kecewa, karena bila di Jepang, apa yang kita katakan ke client, maka itu yang harus dilakukan.

anak saya saat memikirkan bentuk yang cocok untuk misi remote sensing

Pembuatan UAVpun terlambat beberapa bulan dan melampaui batas tahun fiscal yang membuat kami kelabakan. Setelah beberapa cara, akhirnya dapat terlewati proses administrasi. Akhirnya UAV dari Indonesia tiba pada tanggal 4 Februari 2011. Setelah kami bongkar bersama rekan-rekan dari Lembaga Antariksa Jepang (JAXA), ternyata produk Indonesia banyak ditemukan jaringan kabel sistem kontrol penerbangan yang tidak tertata rapi, dimana ada konektor yang female-female dll. Jaringan servo motorpun kurang memperhatikan segi keamanan, khususnya kalau diterbangkan di wilayah Jepang. Sistem control ban depan tidak ada dll. Akhirnya jaringan sistem control penerbangan dari Indonesia kami buang semua dan diganti berikut merapikan seluruh sistem didalamnya. Kita tambahkan fungsi flap di sayap utama, berikut memperkuat dan menambah jumlah servo motor di semua sayap, baik sayap utama maupun ekor.

Setelah kami perbaiki dan diskusikan dengan rekan-rekan JAXA dan pilotnya, serta kita simpulkan aman untuk uji mesin, taxing dan terbang,maka kami coba untuk test awal di Lapangan terbang untuk pesawat kecil, Otone Airfield di propinsi Ibaraki pada tanggal 1 November 2011. Bersama mahasiswa dan staff kami yang berjumlah 22 orang, kami bawa UAV ke Otone Airport. Setelah kita lakukan perakitan seluruh pesawat kami, siaplah uji mesin UAV kami. Saat itu kami tersadarkan bahwa baling-baling yang dikirim dari Indonesia bersama UAV kami adalah puller propeller, atau propeller untuk menarik badan pesawat. Sedangkan UAV kami perlu pusher propeller, karena mesin ada di belakang badan UAV. Langsung saya hubungi perusahaan Indonesia untuk menerangkan kondisi ini dan minta diusahakan secepatnya untuk mendapatkan propeller yang tepat. Suatu hal yang sangat sembrono bila terjadi hal demikian di Jepang dan biasanya berpengaruh pada kepercayaan dalam hubungan bisnis di Jepang. Setelah beberapa minggu, akhirnya pusher propeller tiba dan kami siapkan uji mesin dan taxing lagi di Fujikawa Airfield.



Uji terbang kedua pada tanggal 7 Juni 2012 diadakan dilapangan terbang Fujikawa Airfield, propinsi Shizuoka, 3 jam naik mobil dari Chiba. Uji terbang kali ini harus berhasil dan mengejar ketertinggalan waktu 6 bulan yang telah terbuang karena salah propeller. Manual menerbangkan pesawat tanpa awak dengan rentang saya 6 m tidak bisa kita temukan di dalam buku atau referensi lainnya, maka perlu kita buat manualnya tersendiri. Lewat beberapa diskusi,maka ditetapkan beberapa uji dasar, yaitu uji navigasi, uji mesin, uji control ban depan dan rem atau taxing, uji lari hingga kecepatan lebih dari 120 km/jam, uji take off, uji terbang rendah, uji terbang, uji/simulasi landing atau pendaratan dengan terbang rendah, uji pendaratan, uji rem dan taxing setelah pendaratan. Seluruh ujian kami rekam informasi lokasi, ketinggian dll menggunakan IMU, gyro dan GPS kami. Pada tanggal 7 Juni 2012, semua ujian sesuai manual yang kami buat dijalankan dengan baik. Berbagai factor cuaca termasuk kecepatan angin dll, juga kami pertimbangkan saat itu, dan uji terbang pertama JX-1 berhasil dengan baik.



Berdasarkan pengalaman dan maksud baik untuk Indonesia selama ini, tetapi jauh dari harapan, baik kepercayaan, waktu, pelayanan purna pengadaan, kelengkapan, keamanan dll, maka pengembangan JX-2 dan berikutnya dilakukan bersama JAXA dan beberapa perusahaan di Jepang yang lebih mengedepankan kepercayaan, pelayanan, keamanan dll.




Microsatellites Seri GAIA “TANAH AIR”

Sejak tahun 2007 saya membuat Komisi Pengembangan CP-SAR sensor untuk microsatellite. Hampir ratusan usulan saya buat ke pemerintah Jepang dan pemerintah lain, akhirnya pada tahun 2011 setelah mendapat dukungandari Chiba University, wartawan, pengusaha, organisasi dan senator di Parliament Jepang, maka pengembangan CP-SAR onboard Microsatellite didanai 360 juta Yen atau sekitar 36M rupiah oleh Kementerian Pendidikan dan Teknologi Jepang. Saya sangat berterimakasih sekali kepada sahabat-sahabat Jepang yang selama ini membantu untuk merealisasikan cita-cita saya sejak kecil, yaitu pengembangan radar berikut satelit yang saya beri nama GAIA atau “Tanah Air”. Saya beri nama“Tanah Air” karena selama ini hanya cemoohan pesimis dari banyak orang Indonesia, bahkan rekan-rekan LPND hingga saya meninggalkan Indonesia pada tahun 1998. Sejak saat itu dalam diri saya hanya terpikir untuk membuat sesuatu yang tidak bisa dibuat oleh pemerintah dan orang Indonesia, dan saya ingin kontribusikan diri untuk dunia. Radar, drone dan microsatellite ini adalah kristal dari usaha dan hidup saya selama ini untuk dunia, serta Indonesia, serta ingin tunjukkan bahwa orang Indonesia tidaklah serendah apa yang dipikirkan oleh kebanyakan orang Indonesia sendiri. Mudah-mudahan sesuai rencana atas bantuan pemerintah Jepang, tahun 2016-2017 nanti Tanah Air – I akan meluncur bersama satelit GCOM-C milik JAXA menggunakan roket H-II.

Bus sistem microsatellite yang digunakan oleh Tanah Air – I merupakan bus sistem dasar yang akan digunakan pula untuk microsatellite lainnya yang dikembangkan oleh Josaphat Laboratorium. Selama berkarya di Jepang hingga pensiun pada tahun 2035 nanti, mudah-mudahan 6 unit microsatellite akan saya luncurkan untuk berbagai misi ruang angkasa. Teknologi ruang angkasa ini juga akan diaplikasi untuk pengembangan Stratosphere Drone yang dikembangkan untuk Indonesia, Taiwan dan Jepang saat ini.

Pengembangan CP-SAR untuk microsatellite pertama adalah bersama LAPAN untuk microsatellite bernama LAPAN-A5. Pengembangan ini mudah-mudahan dapat menjadi kontribusi saya untuk Indonesia. Bersamaan pengembangan microsatellite ini, saat ini saya bantu pengembangan pengembangan SAR onboard microsatellite untuk ISAS JAXA, Ajou University & KARI-Korea, NSPO-NARLTaiwan, Fudan University-China dan MMU Malaysia. Mudah-mudahan sensor yang dikembangkan ini dapat menyatukan negara-negara di dunia, khususnya wilayah Asia.


Road Map Satelit Lapan

Untuk mendukung program microsatellite yang berpayload 50 hingga 100 kg, maka dibangun ground station (seri Josaphat Laboratory ground station – JG). Ground station pertama dibangun di fasilitas Josaphat Laboratorydalam CEReS Chiba University yang didukung oleh Kementerian Pendidikan dan Teknologi Jepang (Monbukagakusho MEXT) sebesar 70 juta yen atau 7M rupiah. Dukungan ini memperkuat kemampuan kami di bidang eksplorasi ruang angkasa nantinya. JG-1 ini rencana akan selesai December 2014 tepat hari Natal, sehingga dapat menjadi bingkisan tahun baru kami. Kerjasama dengan NSPO Taiwan menghasilkan jaringan ground station di dunia, sehingga kami dapat mengakses satelit kami near realtime, kurang dari 30 menit, sehingga data satelit kami dapat digunakan untuk memprediksi gempa dan cuaca lebih akurat nantinya.

Prof. Josaphat TetukoSri Sumantyo

http://www2.cr.chiba-u.jp/jmrsl/


JKGR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar