Selasa, 04 November 2014

Ambil Alih Posisi Pelayaran Dunia, Indonesia Harus Gandeng Tiongkok dan India


Menjadi Poros Maritim Dunia berarti bisa mengambil alih poros pelayaran perdagangan dunia yang saat ini masih didominasi kepentingan ekonomi internasional negara-negara besar dunia direpresentasikan Singapura di kawasan Asia Tenggara. Hal tersebut merupakan bentuk kolonialisme zaman dahulu yang masih bertahan hingga sekarang.

Kapal Induk Vikramaditya milik Angkatan Laut India
Kapal Induk Vikramaditya milik Angkatan Laut India |
Foto: Snafu Solomon Blogspot

“Negara kaya ingin mempertahankan dominasinya melalui pelayaran internasional,” ujar Prof. Daniel M. Rosyid dalam perbincangannya bersama JMOL, Sabtu (25/10/2014).

Menurut Daniel, jika Indonesia mau mengambil alih posisi poros pelayaran dunia, tidak bisa sendirian, namun harus mengajak Tiongkok dan India sebagai partner membangun poros baru.


“India dan Tiongkok paling tidak bisa menjadi balance,” papar Daniel.

Mengapa harus Tiongkok dan India? Karena, Tiongkok dan India saat ini menjadi titik tumpu pertumbuhan dunia. Daniel menjelaskan, meski mereka bukan Negara Maritim, namun mereka sedang membangun kekuatan maritim.

“Kita punya posisi strategis. Sekarang, harus lewat Singapura. Tantangan kita menjadi Poros Maritim adalah mengalahkan Singapura,” ungkap Daniel.

Merebut posisi Singapura bagi Indonesia, menurut Daniel, bisa dilakukan dengan membangun pelabuhan berstandar internasional di Kuala Tanjung, Sumatera Utara. Dengan tingkat efisiensi yang tinggi dan perencanaan tata ruang hinterland yang kuat, bisa menjadi strategi pengurangan dominasi tersebut.

Lebih lanjut Daniel menjelaskan, persoalan dominasi Singapura bukan hanya persoalan posisi, namun juga persoalan koneksi. Koneksi jalur pelayaran perdagangan dunia saat ini dimonopoli oleh Singapura.

“Koneksi ini juga harus kita lawan,” tegasnya.

Daniel melihat, melawan dominasi Singapura dalam pelayaran internasional sejalan dengan strategi Bung Karno dan Gus Dur. Apabila platform kebijakan yang dilandaskan kepada doktrin Nawacita sebagaimana dicetuskan Bung Karno konsisten dijalankan, seharusnya bisa diarahkan untuk melawan dominasi tersebut.

“Kebijakan Jokowi, jika melihat Nawacita, seharusnya ke arah sana. Kita harus kembali ke strateginya Bung Karno dan Gus Dur. Hanya keduanya keburu jatuh. Kalau Pak Jokowi mengerti jalan pikirannya Bung Karno, seharusnya bisa itu dijalankan,” pungkas Daniel. (JMOL)

3 komentar:

  1. untuk keluar dari tekanan/lingkaran negara commonwealth RI harus berkoalisi dg india dan China, 3 negara dg penduduk terbesar dunia.....satukan hindia barat dan hindia timur dalam bingkai koalisi untuk menjaga keamanan samudera hindia... kebetulan keduanya memiliki bnyak kesamaan....

    BalasHapus
  2. sy setuju dgn pandangan itu krn 2 negara tersebut merupakan kekuatan ekonomi baru , baik sbg kekuatan militer nya dan angkatan laut nya,jika kt bersama menjaga kekuatan laut mungkin kt akan merupakan poros maritim dunia dibagian bumi selatan..dan akan disegani dan diperhitungkan dunia baik oleh super power dan negara2 dibawah persemakmuran......

    BalasHapus
  3. Kalo kita sdh bisa menggandeng India dan China, setidak-tidaknya kapal-kapal kedua negara itu dapat singgah di pelabuhan-pelabuhan di Indonesia, dan selanjutnya apabila pelayanan baik tentu lama-lama kapal-kapal negara lain juga akan mengikuti kedua negara tersebut.
    Oleh karena itu harus ada konsep dan rumusan yang jelas mulai dari bentuk kerjasama, penyediaan n pembangunan fasilitas, jaringan-jaringan dan lain sebagainya yang diperlukan untuk memberikan pelayanan terbaik tersebut. Dan pastinya, fasilitas pelayanan tersebut harus lebih baik dan juga lebih murah dari Singapura. Buang semua mafia-mafia yang selama ini banyak dijumpai di pelabuhan-pelabuhan.
    Semoga Sukses.

    BalasHapus