Senin, 21 September 2015

Menggagas Grand Strategy untuk Eksploitasi dan Upaya Pengamanan Kepentingan Nasional di Laut


Indonesia adalah negara kepulauan, sering pula disebut negara maritim yang terbesar di dunia. Indonesia terdiri dari ±17.508 pulau (besar dan kecil), tersebar di sekitar Garis Khatulistiwa, yang membentang dari ujung Barat (Sabang) sampai ke ujung Timur (Merauke), sepanjang sekitar 5000 kilometer, dan melintang dari ujung Utara (Pulau Miangas dan Pulau Marore) sampai ke ujung Selatan (Pulau Rote) sepanjang sekitar 2000 kilometer. Luas wilayah Indonesia mencapai sekitar 8 juta kilometer persegi, sedangkan wilayah perairan/lautnya adalah sekitar dua pertiga dari total wilayah Indonesia dan sisanya merupakan wilayah daratan.

Menggagas Grand Strategy untuk Eksploitasi dan Upaya Pengamanan Kepentingan Nasional di Laut

Jika ditinjau secara geografis, letak Indonesia sangat strategis, yaitu membatasi antara Benua Asia dan Benua Australia dan mengantarai Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Indonesia juga berhadapan langsung dengan beberapa negara tetangga, dimana menyebabkan alur laut kepulauan yang ada di Indonesia berada pada strategic point yang tersibuk di dunia dan tentu saja mengambil peran yang sangat potensial bagi kepentingan internasional. Namun, di dalam upaya eksploitasi/pemanfaatan dan pengembangan sumber daya laut, ataupun dalam mata rantai lalu lintas laut, tampaknya ada sejumlah permasalahan maritim yang perlu mendapat sorotan tajam dan perhatian lebih dari banyak pihak.


Begitu banyak masalah maritim dalam beberapa dekade terakhir, diikuti berbagai ancaman yang datang dari luar, seperti kependudukan atau pencaplokan pulau-pulau perbatasan. Adanya illegal fishing, sea piracy, armed robbery, infiltrasi, penyelundupan, serta ancaman terrorist, menambah kompleksitas permasaalahan maritim di Indonesia. Miris memang, negara dengan potensi maritim yang sungguh luar biasa, memiliki kedudukan geostrategi, geoekonomi, dan geopolitik yang sangat penting, namun mengandung kerawanan yang sangat tinggi pula.

Fondasi Utama Membangun Negara Maritim

Konsep Indonesia sebagai suatu negara kepulauan (archipelogic state) telah diakui oleh dunia setelah United Nations Covention on the Law of the Sea (UNCLOS) yang telah disahkan pada tanggal 10 Desember 1982, dan Pemerintah Indonesia pun telah meratifikasinya dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985. Ini merupakan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa bagi bangsa Indonesia, karena perairan yurisdiksi nasional Indonesia bertambah luas secara luar biasa, yaitu mencapai 5,8 juta kilometer persegi, yaitu merupakan 65 persen dari total wilayah Indonesia seluas 8 juta kilometer persegi.

Akan tetapi, bertolak pada realita yang terjadi pada saat sekarang ini, Indonesia nyatanya belum menjadi negara maritim. Hal ini terlihat dengan jelas dari berbagai fakta di lapangan, yang menunjukkan bahwa begitu banyak kepentingan nasional di laut yang masih belum terpetakan secara konkrit. Untuk membangun negara maritim, salah satu yang menjadi fondasi utamanya adalah adanya kesadaran maritim (maritime awareness) dari bangsa itu sendiri.

Apabila maritime awareness sudah melekat dan mengakar kuat pada budaya bangsa, akan mempengaruhi sistem politik, sistem perekonomian, dan sistem pengamanannya. Maka, hal ini akan terefleksi di dalam manajemen nasional, mulai dari tahap perencanaan, persiapan, pelaksanaan sampai pada tindakan pengawasan. Maritime awareness yang tumbuh dan berkembang subur pada segenap lapisan masyarakat, tentunya akan melahirkan common understanding mengenai arti laut bagi bangsa.

Pemahaman tersebut, sangat diperlukan untuk merancang peta kepentingan nasional di laut; sumber daya flora dan fauna yang melimpah, serta potensi kelautan strategis, sebagai life line domestik yang terpanjang di dunia. Hal ini menyebabkan kebutuhan armada laut nusantara sangatlah vital. Dan, tak kalah penting, terakhir adalah laut sebagai medium pertahanan nasional. Kemudian, dalam rangka membangun negara maritim yang kuat, serta operasionalisasi kegiatan eksploitasi sumber daya laut dan pengamanannya, perlu dituangkan dalam strategi nasional, dengan manajemen yang jelas, dan adanya dasar hukum yang kuat.

Rekonstruksi Manajemen Keamanan Maritim

Kita semua harus menyadari bahwa maritime awareness sangatlah penting, dan perlu dikembangkan melalui upaya yang intensif, terprogram (ada sasaran yang jelas, terukur), dan konsisten dalam pelaksanaannya. Sedemikian, hingga akhirnya menjadi bagian dari mindset masyarakat, terutama bagi para perencana pembangunan nasional, pemangku kepentingan, atupun birokrasi di pemerintahan.

Globalisasi yang hakikatnya bertujuan untuk percepatan liberalisasi perdagangan (Dorodjatun Koentjorojakti-2007), nyatanya masih akan bersandar pada transportasi lewat laut. Nah, justru di sanalah memendam sejumlah masalah dan pekerjaan rumah nasional yang perlu dituntaskan, yang dapat dipetakan dalam tiga lingkup besar, yaitu masalah keamanan (maritime security), masalah keselamatan navigasi (navigational safety), dan masalah lingkungan (marine environment protection).

Tentunya, setiap permasaalahan tersebut, harus ditangani dengan pemikiran yang berdimensi inward looking dan outward looking, sebagai implikasi Indonesia berada pada posisi silang dunia, serta wajib mengakomodasi kepentingan internasional. Actually, bagaimana arsitektur manajemen keamanan maritim Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tentunya perlu meninjau kondisi faktual di lapangan, dan fakta menunjukkan bahwa sebelumnya ada 12 departemen/instansi diberikan wewenang untuk beroperasi di laut, bekerja dengan strategi (ends-means-ways) masing-masing.

Hal ini berarti, bahwa manajemen pengelolaan kepentingan nasional di laut dinilai kurang baik, karena adanya tumpang tindih kebijakan, dan akhirnya malah membuat kondisi perekonomian nasional semakin melemah.

Terlepas dari itu semua, tampaknya ada i’tikad baik dari pemangku kepentingan. Sejumlah gebrakan mulai digalakkan, untuk mengembalikan kejayaan maritim yang sempat memudar, dan juga menyangkut tegaknya kedaulatan NKRI sebagai negara kepulauan, salah satunya melalui implementasi INPRES No.5/2005 (azas cabotage).

Kepentingan untuk segera menggalakkan industri perkapalan sudah merupakan kebutuhan yang sangat mendesak, dan membutuhkan atensi yang proporsional. Begitupun pula dukungan dari sektor lainnya, misalnya perbankan, pendidikan, perangkat hukum, dan sebagainya untuk mengiringi perkembangan kebutuhan industri perkapalan dan industri maritim nasional. Seandainya saja industri perkapalan bangkit dan menyerap sepuluh persen dari jumlah penduduk Indonesia, maka tidak pelak lagi industri perkapalan Indonesia adalah yang terbesar di dunia. Terakhir, untuk menjawab berbagai masalah terkait keamanan maritim, pemerintahan Joko Widodo mencoba merubah sistem kelembagaan multi agency–single task menjadi single agency-multi task.

Hal ini untuk penegakan hukum laut di Indonesia yang berpegang pada prinsip efisien dan seefektif mungkin. Bakorkamla, yang awalnya sebagai koordinator, direvitalisasi menjadi Bakamla (Badan  Keamanan Laut) dengan wewenang yang lebih luas, sampai pada tataran untuk menindak kejahatan di laut (sesuai Perpres No. 178 tahun 2014). Tak lain dan tak bukan, kebijakan tersebut untuk mendukung visi pemerintahan yang ingin menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. (Jurnal Maritim)

Jalesveva jayamahe!

Penulis: Nicko Prioni

Penggiat di Lembaga Kajian Maritim UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar