Jumat, 01 April 2016

Sisa Waktu 8 Hari, Pemerintah Filipina Belum berikan Lampu Hijau Untuk TNI


Enam hari sudah, 10 warga negara Indonesia (WNI) awak kapal tunda Brahma 12 berada dalam sekapan kelompok milisi Abu Sayyaf di daerah Filipina. Sejak mereka dinyatakan disandera pada Sabtu, 26 Maret 2016, Pemerintah Indonesia terus membangun komunikasi dengan otoritas Filipina, terkait upaya pembebasan.

Sisa Waktu 8 Hari, Pemerintah Filipina Belum berikan Lampu Hijau Untuk TNI

Setiap hari, komunikasi antara Menteri Luar Negeri (Menlu) RI, Retno LP Marsudi dengan Menlu Filipina semakin intensif. Upaya diplomasi pun diarahkan pada pemberian bantuan militer, sehingga Tentara Nasional Indonesia (TNI) bisa memasuki wilayah Filipina dengan membawa persenjataan lengkap. Sejauh ini, belum ada tanggapan resmi dari Pemerintah Filipina mengenai keterlibatan TNI untuk membebaskan Kapten Peter Tonsen Barahama dan sembilan orang anak buahnya.

"Kita bersabar, masih menunggu dan kita berkoordinasi dengan pemerintah Filipina meminta jaminan agar WNI yang ditawan segera bisa dibebaskan," ungkap Sekretaris Kabinet Pramono  Anung di Istana Negara, Jakarta, Kamis 31 Maret 2015.


Aparat keamanan Indonesia pun tengah dalam kondisi siaga tinggi melakukan penyerbuan ke lokasi di mana Abu Sayyaf menyandera 10 WNI. Namun, operasi militer tak bisa dilakukan, selama Pemerintah Filipina belum memberikan lampu hijau.

Di sisi lain, Abu Sayyaf terus mendesak agar pihak keluarga mau memberikan tebusan sebesar 50 juta peso, atau sekitar Rp14,2 miliar. Mereka juga memperbaharui batas waktu pemberian tebusan, dari awalnya pada 31 Maret 2016, menjadi 8 April 2016.

Menghadapi situasi yang semakin kritis ini, Presiden Joko Widodo tak berpangku tangan. Menurut Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Sutiyoso, Jokowi sudah menghubungi Presiden Benigno Aquino III, untuk membahas upaya pembebasan sandera.

"Itu yang lagi ada pembicaraan antara Presiden kita dan Presiden mereka (Filipina)," jelas Sutiyoso, usai menghadap Presiden Jokowi, di Istana Negara, Jakarta, Kamis 31 Maret 2016.

Di dalam negeri, Presiden pun mengkonsolidasikan jajarannya dan mengumpulkan semua pihak terkait masalah ini, yaitu Menlu Retno dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.

"Kita masih punya waktu 8 hari. Ini kita terus negosiasi," tegas Sutiyoso.

Menurut Sutiyoso, pemerintah juga tak bisa mengambil tindakan secara gegabah, karena penetrasi militer akan merusak hubungan diplomasi Indonesia-Filipina. Selain itu, merupakan hal yang wajar jika Filipina mau menyelesaikan masalah ini dengan kekuatan sendiri, karena Abu Sayyaf juga menjadi kepentingan nasional mereka.

"Karena ini adalah di negara orang lain tentu harus ada proses. Proses kerjasama dan izin dari pemerintah Filipina andai kata kita harus mengirim pasukan. Sekali lagi andai kata. Bukan berarti itu opsinya ya," jelas Sutiyoso.



Faksi Al Habsi Misaya


Bertahun-tahun angkatan bersenjata Filipina berupaya keras menghabisi kelompok militan Abu Sayyaf di kawasan Mindanao, Filipina Selatan. Tapi sampai kini, milisi yang lebih senang disebut Harakah Islamiyah itu tak juga tumpas.

Menurut pengamat terorisme, Ali Fauzi Manzi, yang merupakan adik kandung Ali Imron, pelaku peledakan bom Bali asal Lamongan, Jawa Timur, milisi Abu Sayyaf sudah terbiasa dengan perang. Sejak memisahkan diri dari Moro Islamic Liberation Front (MILF) sekitar ‘90an, mereka sudah menghadapi gempuran militer Filipina. "Mereka sudah biasa bertempur dan mereka enjoy. Perang dianggap hiburan," katanya dihubungi VIVA.co.id pada Rabu, 30 Maret 2016.

Dia pun menjelaskan, kelompok yang menyandera 10 WNI ini adalah faksi yang memisahkan diri, setelah Abu Sayyaf di bawah kepemimpinan Isnilon Totoni Hapilon, menyatakan sumpahnya mendukung Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Kelompok di bawah pimpinan Al Habsi Misaya ini dinilainya punya karakter yang lebih halus, dibandingkan dengan mereka yang sudah berbaiat ke ISIS.

"Persoalannya kelompok penyandera belum berbaiat dengan ISIS, sehingga operasi dilakukan sendiri, belum ada arahan dari ISIS dan Al Baghdadi (pemimpin ISIS)," kata Fauzi.

Ali pun meyakini, bahwa kelompok ini tidak memiliki kebiasaan menyiksa sandera. Tapi, bukan berarti ancaman mereka bisa dianggap remeh. "Mereka tidak akan menyiksa dan menyakiti. Tapi ending-nya, ketika permintaan mereka tidak dikabulkan, itulah saya khawatir," tuturnya.

Untuk itu, lobi dan pendekatan diplomasi pun menjadi solusi paling tepat saat ini, jika memprioritaskan keselamatan para sandera. "Harus ada lobi yang kuat untuk melibatkan beberapa pihak, dengan memanfaatkan tahanan-tahanan Abu Sayyaf yang ditahan pemerintah Filipina, untuk bernegosiasi dengan mereka. Jadi tidak harus perang," jelas Fauzi.

Pendekatan ini diperlukan, karena selama ini Abu Sayyaf juga mendapatkan dukungan dari masyarakat sekitar. Kelompok ini dianggap sebagai penyelamat bagi masyarakat miskin yang hidup di kawasan Filipina selatan.

"Mereka dianggap sebagai Robin Hood, ketika dapat uang dibagikan pada orang miskin di Basilan, Tawi, Jolo dan wilayah Filipina Selatan lainnya," tambah Fauzi.

Berdasarkan pengalamannya saat diajak bergabung dengan Abu Sayyaf saat dia masih aktif di kamp pelatihan militer MILF pada tahun 1994-1996 di Mindanao, Filipina, Fauzi menyarankan pasukan gabungan TNI nanti tidak gegabah dalam melakukan serangan. "Saya juga pernah bersentuhan dengan orang-orang Abu Sayyaf pada tahun 2002 sampai 2005," ujarnya.



Batasan Yurisdiksi Negara

Menurut Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, dalam upaya pembebasan sandera, pemerintah tidak boleh mengabulkan tuntutan dari pembajak dengan menyerahkan uang.

"Negara tidak boleh tunduk dan takluk kepada pembajak. Bila pemerintah mengabulkan tuntutan maka akan menjadi preseden buruk. Bukannya tidak mungkin di masa mendatang di jalur laut ini pembajakan akan marak," ujar Hikmahanti saat dihubungi VIVA.co.id, Kamis 31 Maret 2016.

Sejauh ini, dia menilai, tindakan Menlu dan Menteri Pertahanan untuk berkomunikasi dengan masing-masing mitranya di Filipina merupakan langkah diplomasi yang tepat.

"Otoritas Indonesia tidak seharusnya melakukan upaya penyelamatan dengan menggunakan aparatnya tanpa berkoordinasi dengan otoritas Filipina. Ini penting karena Indonesia harus menghormati kedaulatan Filipina," kata Hikmahanto.

Hikmahanto menilai ada kondisi yang berbeda, dengan saat TNI menggelar operasi pembebasan terhadap awak kapal MV Sinar Kudus di Somalia pada 2011. Saat itu, TNI bisa langsung beroperasi tanpa perlu menunggu izin dari otoritas di Somalia, walaupun kapal itu masuk dalam yurisdiksi Somalia.

"Di Somalia ketika itu tidak ada pemerintahan yang efektif, polisinya tidak ada, hukum tidak berjalan, dan belum lagi banyak negara yang kapalnya dirompak di wilayah itu," jelasnya.

Mengenai kasus pembajakan di negara asing, Hikmahanto mengungkapkan kasus saat ini lebih mirip dengan pembajakan pesawat Garuda Indonesia Penerbangan 206 di bandara Bandara Don Mueang, Bangkok, Thailand tahun 1981. Dalam pembajakan yang dikenal dengan Peristiwa Woyla ini, TNI bergerak sendiri melancarkan operasi militer untuk membebaskan WNI yang menjadi sandera di pesawat, dalam sebuah negara yang memiliki pemerintahan efektif.

Dalam kasus Woyla, mengingat pembajak, pesawat yang dibajak, dan sandera tidak terkait dengan Thailand, maka otoritas negara itu tidak berkeinginan melaksanakan kewenangannya. Untuk itu, otoritas Thailand memberi izin kepada Indonesia untuk melancarkan operasi pembebasan sandera.

"Dalam konteks saat ini, operasi pembebasan terhadap sandera mirip dengan peristiwa Woyla. Kemungkinan besar otoritas Filipina tidak akan menjalankan kewenangannya. Ini mengingat keterkaitan pembajakan dengan Filipina sangat kecil," ungkap Hikmahanto.

Jika nanti Filipina memang memberikan izinnya, Hikmahanto berharap Pemerintah Indonesia akan mengedepankan penyelesaian secara halus, demi keselamatan para sandera.

"Bila ini yang terjadi, maka otoritas Indonesia akan melakukan upaya pembebasan terlebih dahulu tanpa menggunakan kekerasan. Upaya ini dikenal sebagai perundingan dengan pembajak," tuturnya.

Dalam perundingan, posisi Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar bisa dijadikan sebagai langkah untuk mendekatkan diri dengan kelompok Abu Sayyaf, yang merupakan kelompok milisi Islam. Selain itu, Indonesia juga sudah beberapa kali membantu upaya damai antara masyarakat di Mindanao dengan Filipina.

"Upaya lain melalui perundingan adalah bila mencari pemimpin Abu Sayyaf atau orang yang punya pengaruh terhadap pemimpin Abu Sayyaf. Melalui cara ini diharapkan orang tersebut yang akan menegosiasikan agar pembajak membebaskan sandera," tambahnya lagi.

Namun, bila perundingan gagal, maka opsi tersisa adalah operasi pembebasan yang menggunakan kekerasan. Hikmahanto menggarisbawahi tiga hal yang perlu diperhatikan pemerintah saat melancarkan operasi.

"Pertama, sedapat mungkin dilakukan dengan memakan biaya minimal, termasuk korban jiwa. Kedua, tindakan tersebut dilakukan secara cepat. Terakhir, operasi tersebut tidak memunculkan tindakan pembalasan yang dilakukan oleh kelompok Abu Sayyaf terhadap kapal-kapal berbendera Indonesia yang berlayar," tuturnya.

Namun apapun tindakan yang diambil nanti, Hikmahanto meminta masyarakat Indonesia percaya bahwa pemerintah akan mengambil opsi terbaik untuk melindungi para sandera.  (VivaNews)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar