Sejumlah koran hari ini memuat berita hangat kunjungan Wamenhan Sjafrie Sjamsoeddin ke fasilitas Avibras di Brasil, terkait kesempatan pembelian 36 unit sista Astros II senilai 405 juta dollar. Sistem senjata roket yang mampu menjangkau jarak hingga 96 ini menurut rencana akan jadi dua batalyon kekuatan yang bernaung di bawah TNI AD. Berita ini tentu menggembirakan, tapi di Asia ternyata bukan Indonesia yang pertama menggunakannya. Negara pertama yang telah lebih dulu mengoperasikannya adalah Malaysia.
MLRS Astros II (foto : forte.jor.br) |
Merujuk Commando, Malaysia secara provokatif telah lebih dulu membeli Astros II dan menempatkannya di posisi yang bisa menjangkau Singapura. Kekuatan setara tiga baterai yang bernaung di bawah Army Field Command HQ ini operasional penuh sejak Januari 2006. Sista ini, seperti dikatakan petinggi militer Malaysia, akan dipergunakan sebagai respon pertama yang akan diturunkan seandainya Malaysia mendapatkan serangan dari musuh.
Tahun depan direncanakan roket ini sudah memperkuat sistem pertahanan Indonesia. Pembelian roket Astros dari Brasil, melengkapi kerja sama pertahanan Indonesia dengan Brasil setelh sebelumnya TNI AU memperoleh 16 unit pesawat EMB-314 Super Tucano. Total kontrak dengan Brasil untuk kedua sista ini mencapai 700 juta dolar AS atas sekitar Rp 6,7 triliun. Sejauh ini, selain Malaysia dan Indonesia, negara yang telah dicatat menggunakan sista Astros adalah Bahrain, Irak, Arab Saudi dan Qatar.
Roket sebagai alternatif alutsista artileri mengemuka sejak PD II. Di tangan Tentara Merah, kekuatan roket Katyusha mampu menyapu area (area saturation) dengan penghancuran lebih luas dan lebih cepat dibanding meriam howitzer, biarpun kalah dalam akurasi. Berpindah ke medan pertempuran modern, doktrin mengutub menjadi dua, antara AS yang mengandalkan Muntiple-Launch Rocket System (MLRS) canggih namun mahal, atau ikut doktrin Timur yang mengandalkan BM-21 Grad dan turunannya yang murah namun ketinggalan zaman.
Menyadari ada celah kosong di antara kedua seteru, pabrikan Avibras coba menawarkan sistem roket artileri yang terjangkau seperti Grad, namun akurat dan memiliki proteksi kru yang memadai seperti MLRS. Proyek yang dimulai dengan modal pribadi perusahaan dengan kode Astros II T-O Brucutu pada 1981 memilih sasis truk sebagai kendaraan pengusung sistem roket. Selain karena pertimbangan biaya, kemampuan lintas medan berat dan kemampuan diangkut pesawat sekelas C-130 Hercules menjadi pertimbangan utama.
Astros II unggul dalam hal roket yang dibawanya. Avibras sudah mendesain sistem roket Astros secara modular, sehingga mudah dikonfigurasi di lapangan sesuai kebutuhan. Roket-roket yang ada dimuat dalam kontainer roket yang pada gilirannya tinggal dimuat ke dalam kotak peluncur di atas sasis Astros II. Ada empat roket yang dipersiapkan Avibras, yang semua motor roketnya ditenagai oleh double-base propellant.
Kaliber terkecilnya 127mm SS-30, yang terpasang sebanyak 32 tabung per kotak peluncur. Roket berhulu-ledak HE (High Explosive) dengan panjang 3,9m dan berbobot 68 kg sebuahnya ini mampu menjangkau sasaran sejauh 30 km. Roket kedua, SS-40, memiliki kapasitas maksimal 16 roket dalam satu tabung peluncur. Selongsong roketnya memiliki empat sirip (fins) dengan panjang 4,2 m dan berbobot 152 kg sebuahnya. Jarak jangkaunya antara 15-35 km. Soal hulu ledak, SS-40 cukup fleksibel. Jika mau HE ada, bila memilih amunisi cluster/ bomblet (tandan) DP (Dual Purpose) antimaterial dan personel juga tersedia.
Khusus amunisi bomblet, dimensinya 39x13cm, dengan sumbu impak mekanis. Tiap bomblet dilengkapi pita-parasut yang berfungsi menahan dan menstabilkan arah jatuh. Kategori ketiga, SS-60 yang merupakan pengembangan dari SS-40. Punya sosok lebih besar sepanjang 5,6 m dan berbobot 595 kg, konsekuensinya SS-60 bisa menampung 65 bomblet. Jangkauannya antara 20-60 km dengan waktu tempuh 117 detik untuk mencapai jarak maksimal 60 km. Jadi di luar jangkauan artileri meriam 105-120 mm.
Roket terakhir, SS-80, lahir belakangan pada 1995, dengan sosok tak jauh beda dengan SS-60. Daya jangkaunya yang mencapai 90 km dimungkinkan berkat propelan baru. Selain itu, SS-80 bisa dimuati senjata kimia mematikan, walaupun belum pernah dipergunakan dalam pertempuran aktual.
Roket-roket produk Avibras Brasil |
Astros sudah battle proven. Perang Teluk II tahun 1991 menjadi saksi bagaimana Irak dan Arab Saudi saling mengadu Astros II yang mereka miliki, dengan Irak mempergunakan varian lokal dari SS-60 yang disebut Sajeel-60. Saking terkenalnya, AS sampai mempergunakan gambar Astros II yang dihajar F-15E Strike Eagle dalam pamflet propaganda yang meminta tentara Irak untuk menyerah tanpa perlawanan
Sumber : Angkasa
Setuju kalau Roket dipakai sebagai sistim senjata.
BalasHapusEffisien, kompak, minim pemeliharaan dan perawatan serta mempunyai daya hancur tinggi serta mudah dimobilisasi.
Namun, agar di waspadai perihal motor rocket-nya (Propelant), cepat atau lambat umur motor roket akan kadaluarsa ( mati ). Ingat, TNI saya kira sudah punya banyak pengalaman tentang senjata roket yang pernah dimiliki.
Kapan kita mempunyai kemampuan untuk membuat motor rocket (Propelan) sendiri? Kita kaya sumber daya mineral untuk bahan baku roket, teknology yang dikuasai oleh SDM kita, testbench punya jadi .....???
Jangan sampai apabila propelant roket mati, kita bingung yang akhirnya ditawari program refurbish motor roket oleh pihak sumber dari luar, dimana mereka selalu memberikan solusi "Beli nich barang baru saya. Untuk yang anda miliki itu, maaf saya sekarang sudah tidak memproduksi lagi, kalau anda paksa boleh, tapi harganya lain. Gimana??? "
Kita hrs cepat menguasai SS-80 maupun C-705, utk roket kita(R-Han 122) yg dikembangkan dan teknologi yg dikuasai akan memberikan kreasi baru yg lebih agresif.
BalasHapusPersenjataan TNI harus ikut perkembangan Teknologi karena putra putri terbaik bangsa pasti mampu dan jauh lebih hebat dari negara luar, apabila diberi kesempatan......Obrigado
BalasHapus