Kedaulatan udara Republik Indonesia masih lemah. Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (Kasau) Marsekal (Purn) Chappy Hakim disela peluncuran bukunya "Quo Vadis Kedaulatan Udara Indonesia" di Jakarta, Senin (17/12/2012) mengatakan, insiden penerbangan gelap lima jet tempur F-18 Hornet US Navy tanggal 2 Juli 2003 di sekitar Pulau Bawean menjadi pelajaran berharga.
Ilustrasi: Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim (kiri) dan Marsda TNI (Purn) Prayitno Ramelan (kanan) foto : kompas.com |
"Ketika itu pilot sipil salah satunya dari maskapai Bouraq mengaku ada pesawat jet terbang jungkir balik dan berguling-guling mengganggu keselamatan penerbangan. Yang dituduh tentu saja penerbang jet tempur TNI AU dari Pangkalan Madiun. Setelah dicek dengan mengirim sepasan F-16 Falcon ternyata ada 5 F-18 Hornet dengan senjata lengkap sedang mengawal kapal induk dari Armada VII AS yang berpangkalan di Pasifik," kata Chappy.
Indonesia harus memberi peringatan dan sebaliknya pihak AS merasa berhak melintas. Padahal, setiap hari ada 1.000 penerbangan sipil domestik dan puluhan penerbangan internasional di ruang udara Indonesia.
Meski mengalami pelajaran berharga tersebut, Chappy menyayangkan sampai kini kemampuan radar Indonesia belum maksimal. Bahkan, kemarin puluhan penerbangan ke Bandara Soekarno-Hatta dibatalkan karena listrik padam yang mengakibatkan radar tidak berfungsi. Selain itu, penerbangan gelap (intruder) juga masih terjadi berulangkali di ruang udara Indonesia.
SUmber : KOmpas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar