Strategi Militer Indonesia - Menyuguhkan informasi terbaru seputar pertahanan dan keamanan Indonesia
Selasa, 06 Agustus 2013
Moeldoko Ingin Wujudkan Prajurit Profesional yang Kuasai Teknologi
Jenderal Moeldoko terbilang mulus melenggang menjadi calon panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI). Bahkan ada yang mengatakan bursa calon panglima TNI sebenarnya telah usai begitu diumumkan siapa pengganti Jenderal Pramono Edhie Wibowo untuk menjabat Kepala Staf TNI AD (Kasad).
Begitu Moeldoko direstui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Kasad pada 22 Mei lalu, sang jenderal langsung berada di urutan teratas calon pengganti Panglimaa TNI saat ini, Laksamana Agus Suhartono. Benar saja, Presiden Yudhoyono hanya mengirimkan nama tunggal ke DPR untuk segera dilakukan uji kelayakan dan kepatutan.
Di kalangan DPR, Moeldoko juga sudah terkenal bersih. Tentara bergelar doktor ini juga bisa menjaga jarak dengan persoalan politik. Alasan kedua itu dinilai sebagai jaminan Moeldoko bisa bersikap netral menjelang Pemilu 2014 mendatang.
Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso, dalam perjalanan menuju Yogyakarta pada Senin (29/7) lalu, kebetulan berada dalam satu pesawat dengan Moeldoko. Pada pembicaraan yang terjadi, Priyo juga kagum dengan pemikiran Moeldoko tentang format TNI ke depannya.
"Mengenai alat utama sistem senjata (alutsista) yang sudah makin tertinggal, out of date untuk ukuran sebuah negara besar seperti Indonesia. Alat perang kita sudah ketinggalan sekian langkah, bahkan dengan negara-negara kecil seperti Singapura, Malaysia. Padahal dalam geopolitik, posisi Indonesia sentral ke depan," papar dia.
Tentara Profesional
Moeldoko, dikatakan Priyo, memiliki mimpi tentang membangun sebuah tentara profesional. Ke depan, jumlah tentara perlu dirampingkan jumlahnya, dan di saat sama melakukan modernisasi alutsista. Sebab, apabila terus dilakukan penambahan jumlah pasukan, semakin tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
"Karena yang dibutuhkan dengan alat-alat elektro tinggi, jauh lebih penting cyber war daripada perang konvensional. Moeldoko punya ide yang sejalan dengan kita," ujar politisi Partai Golkar itu.
Karena itu, sambung Priyo, pada pembahasan RUU Komponen Cadangan cenderung tidak dibahas. "Karena kami ingin pastikan bahwa konsep tentara utuh ke depan, tidak lagi andalkan jumlah banyak, tapi kita rampingkan. Yang pensiun sekian, yang masuk hanya separo dari sekian yang keluar itu," Priyo menambahkan.
Walaupun hampir pasti menjabat Panglima TNI, Moeldoko justru belum mau berbicara banyak mengenai rencana dia ke depan. "Saya hanya ingin berfokus dulu mengurusi TNI AD karena saya masih menjabat Kasad," kata dia.
Selain itu, tantangan yang harus dihadapi ke depan adalah bagaimana Moeldoko mereformasi internal TNI. Pengamat militer dari Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperrsi), Rizal Darma Putra, mewanti-wanti agar Moeldoko langsung memulai masa kepemimpinannya dengan mencatat potensi ancaman nasional, baik dari dalam maupun luar negeri.
"Untuk ancaman dari luar, calon Panglima TNI harus berani menyebutkan ancaman apa saja yang mengarah ke Indonesia," kata Rizal saat dihubungi Koran Jakarta, baru-baru ini. Ancaman yang datang dari luar antara lain ancaman dari negara lain, ancaman dari organisasi kejahatan internasional, terorisme, dan persoalan perbatasan.
Selain itu, calon panglima harus bisa memetakan ancaman yang timbul dari dalam, seperti ancaman yang timbul akibat gerakan separatis, kejahatan terorganisasi, bahkan terorisme. "Setelah memetakan ancaman-ancaman itu, barulah seorang panglima merencanakan membangun postur yang ideal," kata dia.
Mengenai alat utama sistem senjata (alutsista), Rizal berharap panglima TNI yang baru menyesuaikan kebutuhan dalam konteks menghadapi ancaman-ancaman yang ada. Panglima pengganti Agus Suhartono yang akan pensiun Agustus ini hendaknya juga menata ulang hubungan antarangkatan, terutama terkait kebijakan komando teritorial. "Saat ini, komando teritorial masih Angkatan Darat sentris. Apakah sudah waktunya mengintegrasikan semua matra?" kata dia.
Apalagi, ancaman sengketa perairan semakin nyata. Kapal-kapal asing juga semakin menjadi ancaman kedaulatan negara. Potensi ancaman di Laut China Selatan juga menunjukkan adanya kenaikan. "Harus jelas angkatan mana yang akan menjadi tumpuan," ujar Rizal.
Dia juga menyinggung peningkatan kesejahteraan prajurit, termasuk mempererat kerja sama militer dengan tentara dari negara lain. "Kerja sama militer amat penting jika sewaktu-waktu Indonesia mengalami ketegangan dengan negara lain," kata dia.
Peningkatan Disiplin
Wakil Ketua Komisi I, Tubagus Hasanuddin, mengatakan jika Moeldoko menjadi panglima TNI, peningkatan disiplin harus diperhatikan. "Perlu lagi adanya pemantapan profesionalisme prajurit. Jangan sampai terjadi lagi banyak penyimpangan, seperti kasus Cebongan baru-baru ini," kata dia.
Politisi PDI-P ini juga berharap Moeldoko melanjutkan program pembangunan kekuatan pokok minimal (MEF) dan tetap menjaga netralitas, apalagi menjelang pemilihan umum tahun depan.
Anggota Komisi I DPR, Helmy Fauzi, mengatakan Komisi I DPR akan menguji komitmennya menuntaskan reformasi di tubuh TNI. Komisi I juga akan meminta komitmen calon panglima itu terkait pemenuhan kekuatan pokok minimal pada 2019 nanti serta penjagaan perbatasan dan pengamanan serta netralitas dalam Pemilu 2014.
Sejumlah angenda reformasi internal TNI yang masih harus diselesaikan antara lain revisi UU Peradilan Militer, ancaman nontradisional, transparansi, dan efisiensi anggaran pertahanan. "Kekuatan teritorial di perkotaan mestinya digeser ke pengamanan perbatasan serta pulau terluar," kata dia.
Moeldoko juga dipastikan akan dicecar persoalan masih banyaknya praktik off budget dalam operasi dan kebutuhan personel. "Panglima TNI yang baru harus bisa menghapus semua pembiayaan off budget demi menjaga profesionalitas militer," ujar dia.
Helmy juga meminta Moeldoko menjaga netralitas hingga selesai Pemilu 2014. "Karena 2014 sudah sebentar lagi, maka komitmen menjaga netralitas menjadi penting," ujar dia. (KJ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar