Strategi Militer Indonesia - Menyuguhkan informasi terbaru seputar pertahanan dan keamanan Indonesia
Senin, 28 Oktober 2013
Australia makin Gundah dengan Modernisasi Alutsista TNI AU
Oleh : Prayitno Ramelan, Air Vice Marshal (Ret)
Dasar pemikiran strategis dari Pimpinan TNI, khususnya TNI AU serta Kemenhan untuk memodernisasi daya pukul alutsista TNI AU membawa angin segar dalam bidang pertahanan Indonesia. Kebutuhan akan Angkatan Udara yang kuat dan disegani tersebut disetujui oleh Presiden SBY, dan kemudian mendapat apresiasi dan persetujuan DPR. Sebuah kesadaran dan kebersamaan yang cerdas dalam mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara. Upaya untuk mencapai kekuatan pokok minimum, MEF (Minimum Essential Force) pertahanan masih menjadi fokus kebijakan pembangunan kekuatan dan kemampuan TNI ke depan.
Setelah melalui jalan panjang, TNI AU mulai dibenahi oleh pimpinan nasional yang melihat betapa pentingnya peran angkatan udara disebuah negara. Sebagai contoh, Amerika Serikat memainkan USAF sebagai sarana pendikte dan mementahkan kekuatan militer Libya, dalam membantu pemberontakan di Libya terhadap Kolonel Khadafi. Demikian juga operasi clandestine CIA yang menggunakan pesawat tanpa awak untuk mengejar dan membunuh tokoh-tokoh Al-Qaeda dinyatakan sukses dengan kertugian sangat minim.
TNI AU mulai menggunakan keluarga Sukhoi-27 pada tahun 2003 setelah batalnya kontrak pembelian 12 unit Su-30MKI pada 1996. Kontrak tahun 2003 mencakup pembelian 2 unit Sukhoi-27SK dan 2 unit Sukhoi-30MK senilai 192 juta dolar AS tanpa paket senjata. Itulah awal kebangkitan kekuatan udara Indonesia dalam mengimbangi kekuatan udara negara tetangga.
Disamping itu Indonesia sudah menandatangani kerjasama dengan Korea Selatan, berpartisipasi membangun pesawat tempur generasi 4,5 KFX/IFX (Korean-Indonesian Fighter Xperimental), Boramae, yang dalam rencana awalnya TNI AU akan memiliki sebanyak 50 buah pada tahun 2020. Masa depan KFX/IFX Boramae menjadi tidak jelas setelah Pemerintah Korea Selatan menyatakan memotong anggaran proyek tersebut.
Dari sejarah Indonesia menyangkut kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara, konflik dan ancaman kedaulatan negara hanya terjadi karena gesekan dengan negara tetangga. AU Indonesia mulai lebih disegani setelah acara MAKS 2007 di Moskow, dimana Departemen Pertahanan mengumumkan kontrak untuk pembelian 3 unit Sukhoi-27SKM dan 3 unit Sukhoi-30MK2 senilai 350 juta dolar AS. Kini TNI AU sudah memiliki 10 Sukhoi dan akan lengkap menjadi satu skadron pada 2014. Disamping pada 2014 mendatang, TNI AU akan memiliki 34 F-16 setara Block 52 ( 24 F-16 C/D asal dari hibah dan 10 upgrade F-16 TNI AU sepaket dengan hibah F-16).
Kegundahan Australia
Dalam meninjau ancaman, intelijen udara mengukur dari sisi kekuatan, kemampuan dan kerawanan baik unsur penyerang maupun unsur pertahanan musuh ataupun calon musuh. Standar analisa intelijen udara di negara manapun menggunakan standar yang sama, 3K dan 1N(Niat). Sejak operasi Trikora pada 1961, Australia walaupun tidak secara langsung menempatkan Indonesia sebagai ancaman, mengatakan bahwa musuh akan datang dari Utara. Australia menggelar kekuatannya lebih fokus ke Utara, pengamatan wilayah dilakukan dengan over the horizon radar, yang mampu memonitor hingga pulau Jawa dan Kalimantan.
Sejak TNI AU mengikuti latihan bersama Pitch Black 2012, pemerintah Australia, khususnya RAAF merasakan kegundahan dan keterkejutan, dimana Su-30 TNI AU ternyata lebih unggul dibandingkan F-18F Super Hornet hampir disemua lini. Dari hasil latihan tersebut, Australia harus membuat pilihan, memilih rencana pengadaan 100 unit F-35 Lightning dari Amerika (joint strike fighter) atau tetap membeli dua skadron 24 F-18 Super Hornet.
The Business Spectator menyatakan, "Indonesia merencanakan akan membeli 180 pesawat tempur Sukhoi dari Rusia/India yaitu PAK-FA T-50 atau Su-35S. Jadi pertanyaannya lebih baik dipilih F-35 daripada Hornet. Apabila Indonesia kemudian dimasa depan ikut memperkuat Angkatan Udaranya dengan Su-35S atau T-50, maka AU Australia akan menjumpai masalah besar, demikian kesimpulannya.
Siaran pers resmi yang ditulis harian Rossiiskaya Gazeta mengatakan bahwa T-50 akan menggabungkan fungsi dari peran sebagai pesawat serbu dan fungsi sebagai jet tempur. Pesawat ini dilengkapi dengan avionik modern yang mengintegrasikan fungsi elektronik dan array radar. Perlengkapan baru tersebut akan memberikan kesempatan kepada penerbang untuk lebih berkonsentrasi dalam melakukan tugas pertempuran.
Para pengamat militer di Australia menyatakan bahwa dalam memegang slogan RAAF (first look, first shoot, first kill’), para pejabat pertahanan harus berjuang keras mencari jalan keluar dengan tidak mempertahankan Hornet yang dianggap sudah ketinggalan jaman. Sukhoi oleh Australia dinilai terlalu hebat.
Lebih jauh analis Bisnis Spectator menyatakan, "Sebagai contoh, JSF (Joint Srike Fighter) dapat beroperasi secara efektif hanya untuk ketinggian maksimal sekitar 40.000 kaki (walau masih bisa beroperasi lebih tinggi tetapi kalah di tingkat yang lebih tinggi). Sebaliknya, Sukhoi dapat beroperasi pada kapasitas penuh di tingkat yang jauh lebih tinggi dan dengan kelebihan dan keuntungan, mereka memiliki sistem dan senjata yang bisa meruntuhkan sebuah JSF Australia sebelum mereka memiliki kesempatan menerapkan slogannya." Ditegaskan oleh BS bahwa tidak ada pertempuran udara yang diperlukan. Pesawat Australia sudah runtuh sebelum bertempur, karena disergap jauh sebelum dia menyadarinya.
Jalan keluar yang disarankan adalah apabila Australia (RAAF) memiliki F-22 Raptor atau teknologi Raptor yang diterapkan pada pesawat tempur pilihan yang dipilih. Yang menjadi masalah, Amerika tidak mengijinkan F-22 dijual kepada negara lain selain untuk kepentingan pertahanan dalam negerinya.
Yang menarik, New Australia merekomendasikan Australia justru memilih Sukhoi seperti yang dilakukan India, mendapatkan lisensi dengan ijin membangun Sukhoi Australia, baik Sukhoi Flanker Su-35S atau pesawat Su-32 Fullback. Preferensi saat ini adalah Su-35S. Saat ini Sukhoi memberikan lisensi pembuatan pesawat tempur di India dan China. Australia bisa membeli utuh pesawat Sukhoi dan membangun avioniknya, dan persenjataan lokal. Kini banyak perusahaan di Rusia, Asia, Israel dan Eropa terlibat dalam pembuatan komponen Sukhoi. Sukhoi adalah 'open source', demikian menurut New Asia.
Dalam pemikiran strategis, Australia selain memandang Indonesia sebagai ancaman, juga menempatkan India sebagai ancaman. Selain itu perkembangan situasi Hankam di kawasan Laut Pasifik Selatan, menjadi perhatian Australia dengan kerjasamanya bersama Amerika. Pada pemerintahan Kevin Ruud Australia berposisi anti India, pada posisi ini menempatkan Australia terpaksa membeli F-35. Dalam pemerintahan Julian Gillard, Australia akan mendekati India dan menjadi sekutunya, berpeluang bisa mendapatkan peluang memiliki T-50. Australia menurut RBTH lebih baik memiliki Super Flankers yang murah (USD 66 juta/buah) dibandingkan harga F-35 (USD 238 juta).
Sukhoi dinilai jauh lebih unggul dibandingkan JSF. Su-35 memiliki jangkauan efektif sekitar 4.000 km dibandingkan dengan hanya 2.200 km untuk F-35. . Ini berarti JSF membutuhkan dukungan pesawat tanker untuk menutup ruang (wilayah Australia) yang lebarnya 4.000km. Selain itu, kecepatan Su-35 adalah Mach 2,4 (hampir dua setengah kali kecepatan suara), sedangkan F-35 terbatas pada Mach 1.6. Menurut Victor M. Chepkin, pertama wakil direktur umum NPO Saturn, mesin AL-41f baru akan memungkinkan jet Rusia untuk supercruise (terbang pada kecepatan supersonik untuk jarak jauh.) Dengan tidak harus beralih ke afterburner. Dengan demikian, pesawat dapat mengirit bahan bakarnya. Kesimpulannya baik F-35 maupun F-18 performance-nya berada dibawah Su-35.
Kini Australia menghadapi dilema kegundahan. RAAF terus mengikuti perkembangan modernisasi TNI AU. Dengan memiliki keluarga Flankers, maka Indonesia pada masa mendatang bukan tidak mungkin akan bisa memiliki pesawat tempur Su-35, dan bahkan pesawat tempur T-50 generasi kelima. T-50 PAK FA jet tempur (Prospective Airborne Complex of Frontline Aviation) kini sedang mengalami uji engine di Zhukovsky Airfield, Moscow. Menurut Viktor Bondarev, Commander in Chief Russian Air Force, tes T-50 akan memakan waktu sekitar 2-2,5 tahun, sehingga pada tahun 2015-2016, T-50 akan sudah dapat di kirim ke AU Rusia.
Berdasarkan beberapa fakta tersebut, nampaknya Australia kini berada dalam kondisi mengalami kegundahan seperti tahun 1961, dimana Tu-16 AURI mampu mencapai daratannya tanpa terdeteksi dan tidak dapat diantisipasi. Dengan memiliki gabungan alutsista tempur udara Timur dan Barat, Indonesia kini menjadi negara yang disegani negara-negara tetangganya.
Australia menjadi lebih gundah setelah mengetahui Indonesia tertarik untuk mendirikan sebuah pusat perawatan bersama untuk pesawat fixed dan rotary wing Rusia. Victor Komardin, wakil kepala Rosoboronexport, eksportir peralatan perang Rusia, telah mengumumkan hal tersebut di Air show LIMA 2013 di Malaysia.
Disimpulkan, dengan sudah mengawali kepemilikan keluarga Flankers (Su 27/30), Indonesia (TNI AU) menjadi negara yang sangat diperhitungkan oleh Australia dan pasti juga oleh tetangga lainnya. Alih teknologi ke pesawat yang lebih canggih hanyalah soal waktu yang tidak terlalu rumit dilakukan TNI AU apabila ada pengembangan kekuatan. Australia sangat khawatir Indonesia berpeluang memiliki Su-35 dan bukan tidak mungkin dengan ekonominya yang semakin baik, suatu saat Indonesia akan memiliki pesawat tempur T-50.
Memang sebaiknya intelijen udara berfikir jauh dan strategis, memperkirakan perkembangan situasi global dan regional dan memberikan masukan kepada pimpinan yang up to date. Yang terutama harus kita fahami adalah betapa pentingnya kemampuan TNI AU dengan daya "kepruknya." Itulah prinsip dasarnya agar kita diperhitungkan. Semoga bermanfaat. (Ramalanintelijen)
Indonesia butuh minimal 6 skuadron pesawat tempur canggih yg terdiri dari sukhoi su-30mk2, sukhoi su-35, t-50 pak fa, pesawat awacs, rudal s300 sehingga bisa bikin efek gentar yg kuat jangan sampai kejadian pesawat tempur kita dilock pesawat musuh di wilayah kedaulatan negara kita sendiri..
BalasHapuskita masih dikentutin sama australia, hercules saja minta sama mereka. analisis koplak!
BalasHapusBaca nama penulisnya ngga? Posisinya di bawah judul utama. Dia itu eks Marsekal Madya TNI-AU (Pangkat Letnan Jendral), jadi lo bilang petinggi TNI AU kita klo bikin analisis itu koplak? Asal tau, kita ngga minta hercules, tapi australia yg memberi (hibah).
HapusRamalan,,TNI ditakuti RAAF,,maksudnya,,jika TNI bisa memiliki beebrapa skuadron SU-35,,,maka habislah harapan RAAF,,jika dog fight terjadi. Kemudian,,jika transfer teknologi bisa dibangun dalam 5-10 tahun kedepan,,bukan mustahil,,Indonesia bisa mandiri alutsusta,,SUB MARINE, FREGAT, FIGHTER,,ROCKET , MISSILES, MBT, CANON, dlll.....produksi sebanyak2nya, tentu dengan pemimpin se berwibawa SOEKARNO,,,maka gentarlah Australia dan ASIA....hehehehehe...ngono looohh...
Hapusnayatanya semua adalah omong kosong..semuanya belum bermula dan hanya cerita rakyat saja.sedangkan pemerintah sendiri lain yg difikir...heran dengan bangsa ini, gaka ada apa-apa udah ribut,beda banget dengan yg kuat.singapore dan thailand,vietnam,dan australia......kok cuma indonesia yg paling berisik...jangan haraf untuk australia jadi gentar dengan modernisasi militer indonesia.lagian cuma beli f-16 rongsokan..pemimpin sendiri diam2,tapi rakyat yg tak tau apa2 berisik banget....
HapusMantaf,,,asal kebijakan Pertahanan dilanjutkan the next president....Seharusnya 30 tahun lalu kita sudah ditakuti bangsa asing,,,kalau jejak India dan China diikuti....
BalasHapustapi sayangnya sudara,pemimpin kita di zaman oerde baru.bukan ikut china dan india.malah melenceng pergi ke amerika...pulangnya bukan dapat oleh-oleh.tapi,malah di pretelin sama mas sam....DASAR PEMIMPIN KITA GILIRAN RAKYAT BERSUARA...PEMIMPIN KITA TUTUP TELINGA..NAH SEKARANG APA YG TERJADI.TAPI PEMERINTAH TETAP TUTUP MATA DAN TELINGA..suara rakyat yg merintih sulit untuk mereka terima....apakah mereka tidak tau ,bahwa uang untuk beli alutsista itu milik negara dan rakyat indonesia.bukan milik para pemimpin saja.
HapusBoleh beli Su-35 dan T-50, asalkan rudal S-300 nya harus tetap ada. Justru yang paling penting tuh urgency dari rudal S-300 sebagai pertahanan udara pasif yang excellent. Boleh di tempatkan di Aceh, Bengkulu, Tarakan, Lombok, Halmahera, Biak dan Kupang. Jadinya udara Indonesia benar-benar bersih dari penyusup.
BalasHapusIndonesia harus punya rudal hanud s-300 or s-400. Soal penempatan lokasi itu kurang tepat, tidak ada nilai strategis. Rudal pertahanan canggih begitu harus menjaga aset yg penting, jangan cuma tanah dan laut kosong saja.
HapusLebih cocok Jakarta (Pusat pemerintah/komando), Bandung (Pusat Industri Militer Indonesia), Surabaya (Pusat AL), Madiun (Bandara terpenting AU), Balikpapan (Minyak), Natuna/Aceh (Gas). Pokoknya aset2 vital NKRI.
Kalau celah2 rawan atau sepanjang perbatasan cukup radar saja. Sulit menjaga seluruh wilayah Indonesia yg, paling bagus belajar dr cara rusia menjaga perbatasannya. Cukup pasang radar dan skuadron interseptor di area rawan dan rudal s-300/400 pengamanan aset strategis spt Moscow dan silo2 nuklir.
Kalo mau bersih penyusup sulit, wong amerika canggih gitu tetep aja barang selundupan dan orang2 ilegal dr meksiko tembus barikade pertahanan perbatasan Homeland Security. Belom lg kapal selam yg sangat sangat sulit dideteksi. Sekuat apa pun jaring, pasti ada ikan yg bisa lolos.
GOSMAF,sekarang udah gak zaman perang dog fight,..kalau first look,first shoooootttt......jangan lihat pesawatnya aja..liat tuh radar dan persenjataan yg di usung sama pesawat tersebut.biarpun su-35 bm.kalau pakai rudal dan radar standar,sama aja dengan macan ompong...lgian australia dan singapore sekutu amerika...gak mungkinlah indonesia bisa menggentarkan mereka...jangan gede rasa pemerintah dan rakyat bangsa ini.beli dulu kalau mau cerita,ceritalah...kalau cuman mau beli,saya sendiri juga boleh bercita-cita.....OMONG KOSONG dan GILA. SEMUA.!!!!!!!
BalasHapusIni quote dari salah satu web berbahasa inggris perihal Sukhoi SU-35 vs F-35 untuk Australia dan Indonesia
BalasHapus++Quote++
Speed – Bullet train vs slowcoach
The Su-35 is a Mach 2.4 (nearly two and half times the speed of sound) aircraft while the F-35 is limited to Mach 1.6. According to Victor M. Chepkin, the first deputy general director of NPO Saturn, the new AL-41F engines will allow Russian jets to supercruise – fly at supersonic speed for long distances. By not having to switch their afterburners on, aircraft are able to save a lot of fuel. Translation – non-supercruising fighters such as the F-35 and F-18s will be at a huge disadvantage against the Sukhois.
Stealth – Holes in the cloak
So obsessed were the aircraft’s designers with stealth that they ignored or sacrificed fighter basics such as range, payload and speed. The thinking was stealth alone would be enough to keep the JSF ahead of the pack. However, even as the Americans were perfecting stealth tech, the Russians were developing new combat techniques against it. They are now experimenting with new radar that can pick out stealth planes.
Related:
Grand plans for Russian military aviation
Sukhois shift the balance of power in the Asia-Pacific
Fifth generation fighters provide air superiority
FGFA – Quantum leap for Indian aerospace
Colonel of Aviation Grigoriy “Grisha” Medved, a former Russian fighter pilot, says the worst part of the F-35 is a very hot engine – 160 Celsius hotter than standard combat jet engine exhaust. “It makes a very bright star in the sky and a long jet plume,” he says in a study for Air Power Australia.
Russia has adapted technology developed for detecting ICBM launches, to air combat fighters, says Medved. This technology enables Russian fighter pilots to see a standard fighter at about 50 km; by 2017 it will allow them to see stealth fighters at about 150 km. Because such radars are passive, the enemy will have no idea they are being watched.
In a dogfight, Medved notes an Su-35 can salvo a pair of missiles. The first, an active-radar-homing one, will force the F-35 pilot to take evasive action, exposing his beam-on radar cross section and exhausts to another (heat-seeking) shot.
Plus, with its large internal fuel load, the Su-35 can perform multiple attacks, launching missiles, turning hard to evade and then re-engaging. That is, play “cat and mouse” with the Aussies. The Sukhoi’s much better inventory of BVR (beyond visual range) missiles can then finish the job. As Medved says, “Run in for kill with R-73 or guns. No (F-35) can ever out-fly Sukhoi in knife fight.”
And, the colonel adds, with the PAK-FA coming, the F-35 “best stay home unless escorted by bigger brother.”
Whether bigger brother can accompany the F-35 is doubtful. “The cancellation of the F-22 will make Sukhoi aircraft the most capable production fighter planes available,” says New Australia. “It also marks a historic shift in air-power from the United States to Russia and the countries that use Russian defence technology.”
If you are in the Australian air force, you are on your own mate
++Unquote++
Jadi pada dasarnya F-35 masih kalah unggul dari SU-35 Russian made. :)