Sebenarnya tanpa kita sadari kekuatan pertahanan kita selama setahun terakhir ini meningkat dengan tajam seiring dengan kedatangan berbagai alutsista untuk mengisi satuan tempur di segala matra. Belum lagi ledakan amunisi terbesar dan tergagah sepanjang sejarah dalam Latgab TNI awal Juni kemarin yang ditembakkan dari berbagai sumber daya alutsista darat, laut dan udara. Bisa dibayangkan betapa lumatnya KRI Karang Banteng yang menjadi korban 4 peluru kendali anti kapal Exocet dan C802 yang ditembakkan dari 4 KRI sekaligus. Memang Latgab kemarin adalah latgab terdahsyat yang pernah dilakukan TNI dan pertama kali mengintegrasikan sistem pertempuran 3 matra dengan konsep pre emptive strike.
KRI SIM menembakkan rudal Exocet dalam Latgab Juni 2014 |
35 Heli Penerbad berbagai jenis ikut menggemuruhkan Latgab 2014 |
Sepuluh tahun terakhir ini kemajuan ekonomi Indonesia mampu menghebatkan kualitas rakyatnya dan memunculkan kekuatan kelas menengah yang pasti paham bagaimana memahami konsep wibawa pertahanan. Sebagai negara kepulauan maka sudah sepantasnya fokus kekuatan pertahanan ada di kekuatan laut dan udara. Jika kita perbandingkan maka konsep itu sama dengan kekuatan kelas menengah yang menjadi pilar kekuatan ekonomi cerdas yang dimiliki bangsa ini. Kelas menengah adalah gambaran keberhasilan menjaga pertumbuhan ekonomi dan eksistensinya sedangkan wibawa pertahanan kemampuan menjaga pagar teritori khususnya laut dan udara.
Riak gelombang di Laut Cina Selatan (LCS) sudah menunjukkan iklim tidak sehat, gampang demam tinggi. Cina sudah mulai berani menggertak AS agar tidak bermain api di LCS padahal justru dia yang bermain api selama ini. Vietnam, Filipina bersuara keras terhadap Cina sementara Malaysia mengambil sikap lembut terhadap Cina. Kita tidak tahu mengapa dia tiba-tiba menjadi selembut salju menghadapi Cina bahkan mau membeli sejumlah aluisista dari negeri tirai bambu itu. LCS adalah medan konflik yang sudah di depan mata. AS dan Australia sudah memperbaharui model pakta pertahanannya dengan membolehkan akses militer AS dan alutsistanya yang lebih besar di Australia Utara, tidak sekedar Darwin.
Indonesia tentu harus menyikapi perubahan ini yang bisa saja menjadi liar dan tak terkendali sewaktu-waktu. Krisis Ukraina dan kejutan militan ISIS di Irak adalah semboyan bahwa konflik militer tidak bisa diprediksi meski dengan kacamata intelijen sekalipun. Bahasa jelasnya adalah membangun wibawa pertahanan dengan anggaran besar untuk sebuah negara besar berbentuk kepulauan. Maka keperluan yang harus disediakan adalah membangun armada kapal selam, penyediaan kapal perang permukaan setingkat fregat dan destroyer. Untuk kedaulatan udara diperlukan pesawat tempur dalam jumlah memadai dengan teknologi yang setara.
Wibawa pertahanan Indonesia akan diuji dengan dinamika kawasan yang makin demam tinggi. Meski AS dan Australia telah menyepakati penempatan sejumlah kapal perang dan pasukan marinir di utara Australia tetapi tetap saja akses terbuka dan paling lebar menuju panggung LCS melalui perairan Indonesia. Oleh sebab itu ketersediaan sejumlah kapal perang fregat dan destroyer serta kapal selam yang memadai tentu akan memberikan pesan untuk tidak lagi menganggap remeh negara ini. Memang sih sepanjang sejarahnya wibawa pertahanan negara ini selalu diremehkan oleh kekuatan asing. Tak usah malu-malu lah mengatakan itu. Maka agar tak malu-maluin terus perkuatlah persenjataan hulubalang republik. Pagar utama adalah laut dan udara
Jet tempur Sukhoi dengan rudal-rudal penghancurnya |
Wibawa pertahanan tidak hanya berteriak dan menggertak tetapi alat gertaknya juga harus jelas agar tidak disebut gertak sambal. Menjadi ironi misalnya ketika terjadi insiden teritori yang keluar hanya teriakan bukan menghadirkan sejumlah jet tempur atau kapal perang. Tidak juga mengurangi kewibawaan pertahanan manakala kita tetap membuka diri tapi juga jaga jarak dengan AS dan Australia dengan azas kehormatan teritori. Maksudnya karena teritori laut dan udara Indonesia adalah jalan masuk dari selatan menuju palagan LCS, akses itu bisa tetap dilewati dengan pengamatan dan pengawalan laut dan udara.
Masih belum terlambat menguatkan nilai-nilai kewibawaan pertahanan itu. MEF II (2015-2019) diharapkan menjadi realisasi menghadirkan sejumlah kapal perang dan kapal selam penyengat serta jet tempur penghancur. Kalau sejumlah alutsista penyengat dan penghancur ini sudah hadir maka dengan sendirinya muncul aura kewibawaan itu. Salah satu nilai ber NKRI itu adalah menghirup aura kewibawaan itu disamping senantiasa menata hubungan internasional dengan kecerdasan diplomasi berlandaskan harga diri. Kita yakin sejalan dengan tingkat kesejahteraan dan pertumbuhan PDB yang telah mencapai 10 besar dunia itu, Indonesia akan semakin diperhitungkan nilai-nilai kewibawaannya termasuk kewibawaan pertahanannya. (Jagvane | Analisisalutsista )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar