Masih ingat ujaran Rangga Warsita perihal eling ‘lan waspada dalam cuplikan bait Zaman Edan? Apabila ditelusuri, dikaji, lalu dikomtemplasikan secara out of the box, siapa menyangka bahwa untaian bait pujangga Kasunanan Surakarta (1802 – 1873) itu merupakan ajaran geopolitik tingkat tinggi. Entah dulu ditujukan kepada rakyat kala itu, atau barangkali dipersembahkan untuk anak cucu di masa depan melalui kiasan (sastra) secara filosofi, maka tergantung the man behind the gun dalam sistem apapun.
Walau prakteknya kini, oleh beberapa kalangan, ujaran eling lan waspada lebih diartikan (dan cenderung dilarikan) ke ranah spiritual. Kenapa ia tidak dijadikan titik pijak kajian terhadap hal-hal yang lebih besar, kompleks dan strategis? Kembali pada urgensi the man behind the gun di atas, siapa mampu menangkap hal tersirat daripada yang tersurat, siapa bisa menguak sesuatu terdalam dari yang dianggap paling dalam. Begitulah hakiki ajaran.
Mari simak penggal ajarannya yang dikenal dengan sebutan “Zaman Edan”. Konon istilah ini kali pertama diperkenalkan dalam SERAT KALATIDA yang terdiri atas 12 bait tembang sinom. Salah satu bait yang paling terkenal adalah:
amenangi zaman édan,
éwuhaya ing pambudi,
mélu ngédan nora tahan,
yén tan mélu anglakoni,
boya keduman mélik,
kaliren wekasanipun,
ndilalah kersa Allah,
begja-begjaning kang lali,
luwih begja kang éling klawan waspada.
Adapun terjemahannya adalah:
menyaksikan zaman gila,
serba susah dalam bertindak,
ikut gila tidak akan tahan,
tapi kalau tidak mengikuti (gila),
tidak akan mendapat bagian,
kelaparan pada akhirnya,
namun telah menjadi kehendak Allah,
sebahagia-bahagianya orang yang lalai,
akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.
Ajaran Rangga Warsita di muka tadi, saya sebut ‘Geopolitik Zaman Edan’ sesuai judul tulisan ini, atau boleh juga dinamai ‘Geopolitik Eling lan Waspada’ selaku sari ajaran. Silahkan pilih mana.
Ya. Eling itu bahasa Jawa, artinya ingat. Ingat kepada siapa? Secara horizontal, siapa lagi? Kalau tidak ingat akan jati diri baik selaku pribadi, keluarga terutama jati diri sebagai bangsa, selain paling utama ---secara vertikal--- ialah mengingat Tuhannya (Wirid/Dzikir). Inilah salah satu substansi ajaran beliau.
Kemudian abstraksi horizontal misalnya, bahwa selama ini kita dikenal sebagai bangsa yang ramah, sopan, pasrah, rukun, toleran, dst yang pada gilirannya menjadi ciri dalam percaturan dunia sekaligus (mungkin) sebagai merek bangsa selaku bagian integral warga dunia. Tidak boleh dielak, brand atas kerukunan serta keramahan bangsa ini pernah mengglobal. Maka ibarat koin emas, brand tersebut laku keras dimana saja. Indonesia disukai banyak bangsa-bangsa lain di dunia. Bahkan Ban Kie Moon, selaku Sekjen Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) kemarin pun menyatakan secara resmi pada forum United Nation Alliance of Civilization (UNAOC) ke-6 yang diselenggarakan di Bali Nusa Dua Convention Centre, Bali, Jumat (29/8/2014), “Indonesia merespentasikan kehidupan yang harmonis di tengah perbedaan, hal itu merupakan cerminan dari semboyan Indonesia, yakni Bhinneka Tunggal Ika atau Unity in Diversity yang kita angkat sebagai tema UNAOC 2014,” kata Ban. “Lewat semboyan Bhinneka Tunggal Ika, saya berharap akan muncul saling pengertian antarbangsa di dunia, menghindari terjadinya konflik dan korban jiwa dari warga sipil, serta mendorong kemajuan yang baik bagi peradaban dunia,” lanjut Ban.
Akan tetapi, dari tinjauan internal sendiri, justru terasa bahwa warga kini telah berubah “galak”. Ada apakah gerangan? Muncul benih intoleransi, saling curiga bahkan kerapkali terlihat beringas, terutama manakala menyikapi warna-warni perbedaan yang dulu justru dimaknai sebagai ‘taman sari’ Indonesia. Unity in Diversity. Riskannya kini, rakyat mudah ditunggangi oleh anasir-anasir asing yang sepertinya tidak menginginkan kondisi gayeng dan guyub tersebut. Betapa sedih, ketika rakyat hanyut diadu-domba, maka perhatiannya teralih cuma di hilir persoalan, tidak lagi mampu --- apalagi peduli terhadap hal-hal penting, strategis, yang merupakan hulu permasalahan bangsa. Mereka gampang diperalat untuk memberangus dan menindas sesama atas nama perbedaan suku, ras, sosial budaya (dan bahkan agama). Pada gilirannya, semakin lama kian terasa bahwa republik ini --- ibarat kapal di tengah samudera---- sedang oleng dihantam badai (konflik) internal. Inilah sekilas tinjauan keadaan zaman dari perspektif ELING-nya sang pujangga.
Selanjutnya, makna waspada pada “geopolitik”-nya Rangga Warsita adalah kecermatan dan sikap (budi) kehati-hatian terhadap lingkungan yang senantiasa bergerak dan berubah. Apa boleh buat. Gerak memang keniscayaan, perubahan adalah kepastian, dan keduanya tak bisa dilawan. Dengan kata lain, siapapun ‘kita’ tidak akan dapat menghindar dari perubahan (dan kemajuan) peradaban. Tersirat pesan sang pujangga, mutlak kita harus memiliki kewaspadaan atas segala sesuatu yang datang-pergi silih berganti, terutama kewaspadaan pada nilai-nilai yang masuk, khususnya lagi terhadap nilai dan ideologi apapun yang tidak selaras dengan kepribadian bangsa. Intinya, bangsa ini tidak boleh lupa akan jati diri, oleh karena status orang lupa itu hukumnya seperti sosok yang gundah hatinya, bingung pikirannya. Lalu dalam bersikap dan bertindak, orang bingung pun cenderung menuruti (ego) sendiri. Sak karepe dewe. Merasa hebat, ingin benar sendiri, maunya menang sendiri, padahal hakiki bingung ialah tidak paham akan jati (diri)-nya sendiri.
Dari fenomena sekilas di atas, sang pujangga telah mengingatkan jauh-jauh hari melalui bait-bait sastranya, “ ...sebahagia-bahagianya orang yang lalai, akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.” Pertanyaannya adalah, bagaimana menjadi bangsa bahagia (dan makmur), sedang kita sendiri gagal mengingat, niscaya cenderung (lupa) terseret arus dan (bingung) terombang-ambing ombak (globalisasi) lingkungan yang selalu berubah. Mana kewaspadaan sebagai diri dan bangsa?
Milan Kundera berkata, “Perjuangan melawan kekuasaan (zalim) adalah perjuangan ingatan melawan lupa.” Inilah urgensi sejarah sebagai alat bangsa guna melawan lupa. Bangsa yang tidak mempelajari sejarah, akan mengalami amnesia, dan niscaya terjengkang pada lubang (kekeliruan) yang sama hanya berbeda bentuk dan model belaka. Jas Merah, kata Bung Karno (BK), “Jangan sekali-kali melupakan sejarah!”
Berbasis data serta pengalaman empirik, salah satu pola kolonialisme ialah ‘menghancurkan dulu sejarah negeri yang dijajah’ --- maka pantaslah apabila tata cara seperti itu dijadikan metode baku dalam kolonialisme. Juri Lina, penulis Swedia menyatakan pada buku Architects of Deception- the Concealed History of Freemasonry (2004), “Bahwa ada tiga cara untuk melemahkan dan menjajah suatu negeri, antara lain: (1) kaburkan sejarahnya, (2) hancurkan bukti-bukti sejarahnya agar tidak bisa dibuktikan kebenarannya, (3) putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya, katakan bahwa leluhurnya itu bodoh dan primitif.” Dan tak kurang, pointers diskusi terbatas di Global Future Institute (GFI), Jakarta, pimpinan Hendrajit (17/1/2013) cenderung menebalkan asumsi Lina tadi. GFI mensinyalir, ada hal-hal berulang dalam kolonisasi di muka bumi yaitu ‘pengaburan atau pembengkokan sejarah leluhur di negara koloni (terjajah)’. Itulah agenda besarnya.
Menurut GFI, langkah-langkah pengaburan histori bangsa terjajah melalui beberapa tahapan antara lain: pertama, penghancuran bangunan fisik agar generasi baru tidak dapat mengenali (bukti-bukti) kejayaan nenek moyangnya, otomatis selain tak bisa menarik hikmah dan mengutip nilai-nilai emas histori sebagai teladan sebab tidak dapat dibuktikan secara ilmiah; kedua, diputus hubungan histori dengan leluhur melalui penciptaan stigma dan opini bahwa leluhurnya bodoh, primitif, tidak beradab, penyembah berhala, dan lain-lain; ketiga, dibuat sejarah baru versi penjajah.
Inti kedua asumsi tadi sepintas identik, hanya GFI menambahkan poin: ‘dibuat sejarah baru versi penjajah’ --- hal inilah yang tidak terlintas di benak Lina. Entah kenapa, atau mungkin negaranya tidak pernah dijajah? Bisa jadi. Memang ada beberapa negara yang tidak pernah dijajah seperti Arab Saudi, Islandia, SWEDIA, Nepal, Denmark, Norwegia, Thailand. dan Turki.
Dalam konteks (geopolitik) global, Indonesia dianggap mengalami amnesia. “LUPA AKAN JATI DIRI.” Betapa negeri agraris beriklim tropis dengan dua musim dan curah hujannya tinggi, kenapa mesti mengimpor berbagai komoditi yang sebenarnya berlimpah ruah di Bumi Pertiwi? Celakanya lagi, komoditi yang diimpor justru berasal dari berbagai negara empat musim. Sungguh ironi. Bukankah peluang untuk cocok tanam dan berproduksi lebih besar di negeri dua musim seperti takdir Ibu Pertiwi daripada di negeri-negeri empat musim? Indonesia itu anak kandung matahari dimana sinar mentari tidak pernah bosan menyinari buminya. Tetapi agaknya, para elit politik dan segenap pengambil kebijakan di negeri ini enjoy saja menjalani ironi geopolitik semacam ini. Kenapa? Adakah mereka benar-benar tidak memahami (takdir) geopolitik negerinya sendiri, atau pura-pura tidak paham karena faktor fee dari berbagai impor komoditi bila dibanding dengan melemahnya martabat, tergerusnya nilai kedaulatan dan nasib anak cucu kelak?
Hidup memang pilihan. Maka pertanyaannya, “Pilih menjadi komprador atau nasionalis?” Silahkan memilih mana. Adalah hak setiap warga negara, kendati tidak sedikit yang enjoy sebagai pengkhianat, namun banyak pula yang rela gelisah menyaksikan carut marut bangsa ini akibat laku komprador. Mereka tetap memilih gelisah sebagai kaum nasionalis daripada komprador. Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak ‘kembang sore’ dan ‘bunga –bunga sedap malam’. Dan saya memiliki keyakinan, bahwa kejayaan Indonesia sudah di depan mata. Bagi segenap anak negeri, nasionalisme adalah pilihan utama, sedangkan komprador sebenarnya cuma pelarian atas jiwa-jiwa kompromis dan (mungkin) KEGUGUPAN MENGHADAPI HARI TUA serta akibat hedonisme yang membadai sebagaimana penggalan syair (geopolitik) Rangga Warsita:
“... menyaksikan zaman gila,
serba susah dalam bertindak,
ikut gila tidak akan tahan,
tapi kalau tidak mengikuti (gila),
tidak akan mendapat bagian..”
Dan agaknya, keadaan inikah yang tengah menerjang Ibu Pertiwi?
Sekarang kita membahas penitrasi nilai dan ideologi asing di Indonesia dari perspektif ‘geopolitik eling lan waspada’-nya sang pujangga. Tak boleh dipungkiri, di satu pihak, meski secara de jure, ideologi bangsa ini adalah Pancasila namun dalam implementasi sudah jarang disebut (apalagi diamalkan?). Di pihak lain, liberalisme sebagai nilai bahkan ideologi asing telah “diterima masyarakat” kita hampir tanpa kritik tanpa selidik. Inilah yang kini terjadi.
Rangga Warsita |
Menurut Dina Y Sulaeman, salah satu research associate GFI dalam artikelnya bertajuk “Tentang Liberalisme Ekonomi (2): Membongkar Kerapuhan Asumsi Liberalisme”. Bahwa benang merah liberalisme yang telah merambah di segala sektor dapat dilacak muaranya. Misalnya, ketika liberalisme digunakan dalam ilmu agama, muncul teori bahwa manusia memiliki kebebasan untuk merevisi agama. Argumennya, toh agama dilahirkan untuk kebahagiaan manusia. Ketika aturan agama sudah tidak sejalan lagi dengan standar kebahagiaan zaman kini, manusia sah-sah saja melakukan revisi. Ketika liberalisme menjadi asumsi bagi politik, lahirlah teori demokrasi; semua warga berhak memilih sendiri pemimpinnya dan menentukan sendiri aturan hukum bagi diri mereka sendiri. Ketika liberalisme menjadi asumsi bagi ekonomi, maka lahirnya teori pasar bebas: biarkan semua orang beraktivitas dalam pasar, jangan ada intervensi pemerintah. Argumennya, manusia adalah makhluk rasional, dia akan mampu melakukan pilihan-pilihan rasional dalam bertransaksi sehingga mampu meraih keuntungan maksimal bagi dirinya. Ketika semua manusia rasional, pasar (proses jual-beli) akan berjalan dengan sendirinya dengan teratur. Jangan ada intervensi pemerintah untuk mengurusi pasar. Biarkan saja pasar beroperasi sendiri.
Sebagaimana isyarat di muka, geliat ekonomi pasar bebas niscaya membuat siapapun tidak dapat menghindar arus modal asing masuk di internal negeri, yang gilirannya akan cenderung ikut pula menguasai aset-aset negara. Inilah keniscayaan peradaban. Kita tidak perlu xenophobia, tetapi juga jangan terbawa oleh arus besar, karena hal tersebut ---jika terseret arus--- membuat lupa akan jati diri. Kita tak boleh lupa dengan pakem nusantara dan konstitusi negara. Jika lalai, maka ibarat orang tersesat, meski sudah tahu bahwa rute yang dijalani keliru tetapi terus (ndableg) menyusuri jalur jalan dengan tata cara menduga-duga. Tentu kian jauh tersesat. Lazimnya jika tersesat, siapapun mestinya kembali dulu ke titik awal.
Sudah mengerti bahwa cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak itu harus dikuasi negara, ini malah dijual ke asing; apakah ‘mereka’ tidak paham bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara serta dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, kok masih juga dan hendak dilego atas nama globlalisasi, IPO, privatisasi, dan akuisisi?
Semakin lama negeri ini kian terjerumus di lubang imperialisme modern berkedok soft loan, atau structural adjustment programme (SAP) dan lain-lain. Oleh sebab faktor lupa, bangsa ini menjadi lengah dan tidak mampu melihat modus kolonialisme baru via gerak investasi asing, liberalisme, pasar bebas, dan seterusnya. Maka inilah ujud jalan yang menyesatkan namun terus juga dilalui oleh elit-elit bangsa dengan berbagai alasan, pembenaran teori, dll. Seharusnya kita kembali ke titik awal (UUD 1945) agar tidak tersesat kian dalam.
Telah beberapa pemilihan umum digelar, tidak juga datang patriot sejati memimpin negeri ini. Sebaliknya, sejak dekade 2000-an melalui model pemilu langsung, atau pemilihan kepada daerah (pilkada) berpintu one man one vote dalam skema ‘otonomi daerah’ malah merekomendasi dan melegitimasi penjahat jadi pejabat publik, mengubah syetan duduk sebagai tuan-tuan bahkan seringkali menjadi ‘tuhan’. Banyak Petruk dadi Ratu di antero negeri. Apa boleh buat. Tak boleh gebyah uyah menilai memang, karena tidak semuanya begitu. Ada sedikit sosok patriot lahir dari model pemilihan semacam ini. Namun secara umum, bangunan asumsi dalam sistem politik kita kini, bahwa dengan bermodal pencitraan, rakyat cenderung tertipu. Keliru memilih, lalu menyesali atas pilihan sendiri.
Di tengah gelombang amnesia bangsa ini, pilihan-pilihan publik selalu dilandasi sensasi dan tampilan citra sosok yang berbasis modus tebar sembako, money politic, pengheroan di media mainstream, banyaknya banner, riuhnya tancap baliho, dll maka “Jadilah!”, bimsalabim! Bukankah citra itu realitas semu belaka; bukankah sensasi itu belum bekerja dan tidak membuat sejahtera? Ia tak nyata. Keduanya, baik sensasi maupun pencitraan itu semacam aroma masakan, baru tercium baunya belum rasanya! Atau juga seperti sihir, mimpi di siang bolong.
Maka inti asumsi GFI menyikapi dinamika politik serta kondisi ini, bahwa model politik semacam ini yang berkuasa adalah pemilik modal, para donatur di balik layar. Pertanyaannya, “Kenapa semua terjadi di Bumi Pertiwi?” Jawabannya sederhana, “Kita abai terhadap ajaran ‘eling dan waspada’-nya Rangga Warsita.” Ajarannya malah dilarikan ke ranah spiritual dalam konteks mikrokosmos. Jagad cilik, jagad gede!
Kita mundur sejenak untuk mengulas sekilas nasehat Milan Kundera tentang perjuangan melawan lupa. Ya, hakiki Konferensi Asia-Afrika di Bandung (1955) misalnya, inti ruhnya juga “geopolitik eling dan waspada”. Tak bisa tidak. Eling atau selalu ingat ---ini ujud perjuangan melawan lupa--- supaya bangsa-bangsa di Dunia Ketiga khususnya, agar senantiasa menggelorakan SEMANGAT ANTI-IMPERIALISME. Bangkit dan melawan segala bentuk penjajahan di muka bumi. Itu pesan tersirat yang harus diingat. Dan juga mutlak WASPADA terhadap lingkungan yang senantiasa berubah. Artinya, berbekal pakem eling dan waspada inilah sebuah bangsa akan mampu mempeta (mapping) apapun baik pergerakan pola, perubahan bentuk maupun modus-modus penjajahan model baru nantinya.
Agaknya, cuplikan pidato pada konferensi di Bandung masih sangat relevan guna memotret fenomena yang sekarang berlangsung di beberapa negara Asia-Afrika, terutama ‘topan badai’ yang menerpa Indonesia, “Kolonialisme juga memiliki penampilan yang modern, dalam bentuk kontrol ekonomi, kontrol intelektual, dan juga kontrol fisik yang dilakukan sekelompok kecil orang asing dalam sebuah bangsa.” (BK, 1955).
Apabila ingin mengkaji statement BK di atas, awal pertanyaan selidiknya adalah, “Apakah ekonomi kita dalam kendali asing; benarkah sebagian tokoh dan kaum intelektual Indonesia dalam kontrol pihak luar?” Lalu, apa saja bentuk kontrol fisik oleh segelintir orang asing kepada bangsa kita? Ini dulu yang harus dijawab dan mutlak di-breakdown sebelum membahas hal-hal yang lebih dalam. Namun sementara abaikan dulu, kita akan bahas pada artikel lain, mari lanjutkan tulisan sederhana ini.
Dan ternyata, banyak dari kita lupa pada semangat itu. Semangat anti-imperialisme. Akibatnya semakin lama justru kian terjajah. Tanpa sadar, kekayaan alam (SDA) dijual habis-habisan, lalu ditawar-tawarkan kepada bangsa luar atas nama investasi, menarik modal asing, IPO dan lain-lain. Jadi teringat ujaran BK terkait antisipasi kolonialisme jenis baru di era modern kelak, “Biarlah kekayaan alam kita tersimpan sampai nanti putra-putra bangsa ini mampu mengolahnya sendiri”.
Menyikapi hal tersebut, ada empat unsur retorika yang tak mampu dibendung, “Apakah kebijakan (obral SDA dan aset negara) tersebut, semata-mata demi kemakmuran rakyat, atau hanya sekedar pencitraan, atau karena politik balas budi, atau jangan-jangan untuk meraih fee yang tak seberapa bila dibanding nasib generasi penerus nantinya?” Entahlah. Dan tampaknya, para elit dan segenap pengambil kebijakan di republik ini lupa atas tampilnya kembali neo-imperialisme sesuai isyarat BK di atas.
Ya, geopolitik memang dapat dipandang sebagai (ilmu) teori, wawasan, konsepsi, dan lain-lain, akan tetapi bila geopolitik diabstraksikan sebagai KEADAAN TERTENTU, maka sesungguhnya Indonesia kini telah masuk ke dalam kubangan “Zaman Edan” sebagaimana ujaran Rangga Warsita, sang pujangga. (GFI)
Penulis : M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar