Usia pemerintahan Joko Widodo belum genap dua bulan. Darah kembali membasahi Bumi Cendrawasih Senin lalu setelah lima orang tewas dalam bentrokan dengan aparat keamanan di Kabupaten Paniai, Papua.
Jacob Rumbiak (kanan) |
Tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM) Jacob Rumbiak kini menjabat Menteri Luar Negeri Federasi Papua Barat menilai Jokowi menggunakan cara serupa pernah diterapkan pemerintahan Presiden Soeharto, yakni pendekatan militer. Rumbiak sudah lama menetap di Australia setelah mendapat suaka.
"Jokowi bukan saja membohongi Papua tapi juga menipu Sang Pencipta memberikan beliau suara rakyat," kata Rumbiak saat dihubungi merdeka.com melalui telepon selulernya kemarin sore. "Suara rakyat adalah suara kebenaran dan suara kebenaran adalah suara Allah."
Berikut penjelasan Jacob Rumbiak kepada Faisal Assegaf dari merdeka.com.
Apa tanggapan Anda soal penembakan terhadap warga sipil di Paniai Senin lalu?
Saya sangat kecewa dengan insiden itu karena sebenarnya aparat keamanan pagar dan pertahanan untuk bangsa ini. Hal-hal menyangkut perbedaan pendapat saya pikir bukan tempat bagi militer atau kepolisian menggunakan senjata.
Mereka ditembak kan anak-anak. Jadi pendekatan dipakai mestinya bukan pendekatan senjata atau menggunakan kekerasan. Dalam usia semacam ini sebenarnya melalui pendekatan pendidikan.
Tapi kepala staf angkatan darat bilang ada suara tembakan dari atas bukit oleh anggota OPM?
Inilah saya ingin ubah. Stigma OPM itu separatis dihapus dulu. Kecurigaan ini tidak boleh lagi menjadi alasan untuk melakukan penembakan begitu. Ini kan belum ada bukti kalau penembakan dari mereka itu ke rakyat.
Tapi informasi saya dapatkan, saya punya tim atau kita punya jaringan dengan saudara-saudara kami di daerah, sangat jelas kekerasan dipakai karena ada tekanan dari pihak militer. Sekarang namanya ABRI Masuk Desa kembali lagi. Mestinya yang masuk desa itu guru, mantri, atau unsur pembangunan. Bukan militer. Militer itu pertahanan bagi negara bukan pagar makan tanaman atau pagar makan rakyat.
Jadi pemerintah Jokowi ingin menerapkan darurat militer di Papua?
Ya, itu sudah jelas. Niat baik itu tidak ada, justru kembali dipakai seperti dulu, era Orde Baru, era Soeharto. Ini membangun Papua bukan membangun pasukan. Yang saya tahu akan ada penambahan pasukan di dua tempat: Manado dan Manokwari. Kemudian akan ada pembangunan markas marinir di Sorong.
Dulu ketika kita dijajah Belanda, kita merasa aman karena pendekatan dulu ada tiga macam: rohani, pendidikan, kemasyarakatan. Jadi tidak tampak pendekatan militernya.
Jadi Anda menilai Jokowi lebih mengedepankan pendekatan militer seperti Soeharto buat menyelesaikan konflik Papua?
Ini betul, justru pendekatan ini (militer) memang mempercepat perpisahan antara Papua dan Indonesia. Itu sudah jelas. Pak jokowi membaca orang Papua itu mungkin tidak punya senjata jadi ditahan. Itu konsep salah.
Pemahaman militer mempercepat perpisahan Indonesia dan Papua. Jakarta harus segera mengambil pendekatan lain sehingga kalau Papua terlepas dari Indonesia, Jakarta akan dilihat sebagai orang tua akan melepas anaknya sudah dewasa untuk berumah tangga. Indonesia tidak akan dilihat sebagai penjajah.
Mereka pikir dengan pendekatan militer membuat kami, rakyat Papua, akan menyerah. Oh, tidak bisa. Kami mampu melakukan perlawanan dan kami benar-benar mengenal medan di Papua.
Kalau memang pendekatan militer bakal mempercepat Papua merdeka, berapa tahun lagi itu akan terwujud?
Saya sendiri terlalu yakin Papua bakal merdeka. Saya tak bisa tetapkan waktunya. Saya lihat lebih cepat lebih baik. Kami sudah menghitung lebih cepat lebih baik.
Jadi Anda sebagai OPM merasa ditipu Jokowi saat kampanye pemilihan presiden menawarkan penyelesaian konflik Papua?
Kami merasa bukan saja ditipu tapi itikad baik kami dipandang sebelah mata. Mama-mama Papua tadinya melihat kehadiran Pak Jokowi sebagai orang nomor satu di Indonesia akan mengakhri penderitaan Papua, segera menghapus air mata, keringat, dan darah dari anak-anak papua.
Tapi ternyata cucuran darah dan air mata dari saudara-saudara kami terus mengalir. Ini seperti pembohongan untuk kami, juga penipuan terhadap Allah kami sembah, Allah telah menciptakan kami, Jokowi, dan Indonesia. Kami menangis di depan Allah, berharap Pak Jokowi terpilih. Kami berharap beliau mengakhiri seluruh penderitaan ini. Tapi kenyataan berbicara lain.
Jokowi bukan saja membohongi Papua tapi juga menipu Sang Pencipta memberikan beliau suara rakyat. Suara rakyat adalah suara kebenaran dan suara kebenaran adalah suara Allah. Kami tadinya terlalu yakin kalau Jokowi terpilih bisa menolong rakyat Papua menderita.
Lalu kenapa OPM kemarin begitu yakin Jokowi bisa menyelesaikan konflik Papua bila dia menjadi presiden?
Mungkin Bung Faisal ingat pernah wawancara saya. Saya katakan saya masih belum begitu yakin karena pengendali Jokowi adalah Megawati Soekarnoputeri. Jadi Jokowi akan patuh kepada Megawati. Jokowi tidak mungkin mengkhianati Megawati.
Megawati merupakan anak dari Soekarno merebut Papua Barat. Jadi Jokowi harus mempertahankan Papua sampai titik darah penghabisan. Jadi dia mesti melakukan apa saja agar Papua tidak lepas dari Indonesia.
Tapi kan ada Jusuf Kalla dikenal sebagai mediator konflik mendampingi Jokowi?
Jusuf Kalla juga tidak bisa menyelesaikan konflik Papua karena akar permasalahan beda. Persoalan Papua dengan Aceh, Poso, itu berbeda. Akar permasalahan Papua adalah sejarah dan intervensi global.
Keputusan Papua dimasukkan ke dalam Indonesia itu adalah keputusan global. Jusuf Kalla tidak mungkin menyelesaikan konflik Papua kecuali ada pemimpin berani dan jujur. Yang ada kan pemimpin Indonesia takut mengangkat akar permasalahan Papua. (Merdeka)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar