Usianya sudah 85 tahun, namun tubuhnya masih tegap. Di dada kiri seragam hijaunya, masih tersemat wing terjun dan brevet komando. Pria itu bernama Supardi. Seorang pensiunan letnan TNI yang kenyang dengan bau mesiu di medan tempur.
"Saya Letkol, bukan letnan kolonel tapi letnan kolot," canda Supardi saat berbincang dengan merdeka.com, di sela-sela kegiatan Bogor Membara: 1945! yang digelar Bogor Historical Community di Museum Perdjoangan Bogor, Kamis (25/12).
Letnan kolot dalam bahasa Sunda artinya letnan tapi tua. Sebutan untuk mereka yang pensiun dengan pangkat letnan.
Supardi dulu masuk generasi awal pasukan khusus TNI AD. Dulu namanya masih Korps Komando Angkatan Darat (KKAD). Kini pasukan inilah yang dikenal sebagai Kopassus.
KKAD dibentuk atas prakarsa Panglima Teritorium Siliwangi Kolonel Alex Kawilarang. Tahun 1953 pasukan TNI di Jawa Barat kesulitan menghadapi perlawanan gerilya Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Gerilyawan DI/TII sangat ahli bergerak di belantara hutan Jawa Barat. Pasukan reguler TNI kesulitan mengejar mereka. Karena itu Kawilarang menilai perlu ada pasukan khusus yang mampu bergerak dalam unit-unit kecil. Bisa menusuk jauh ke daerah pertahanan lawan dan bertempur dengan efektif terus menerus.
Latihan KKAD digelar di Batujajar dan Situ Lembang, Bandung Utara. begitu lulus komando, pasukan baru ini diterjunkan memburu DI/TII di Garut dan Tasikmalaya. Namanya pasukan khusus, penyergapan pun lain dengan pasukan reguler.
"Dulu pasukan bergerak pelan-pelan dalam hutan. Ranting atau daun yang diinjak dirapikan kembali, sehingga tak ada bekas pernah dilalui. Pengintaian pun dilakukan dari jarak dekat," kenang Supardi.
Dalam sebuah penyergapan, pasukan baret merah ini pernah bersembunyi dekat sekali dengan musuh. Hebatnya, kehadiran mereka sama sekali tak dirasakan patroli DI/TII.
"Jaraknya paling hanya lima meter. Saking dekatnya kita bisa rasakan sepatu-sepatu musuh itu seolah hampir menginjak kita yang tiarap. Kita tunggu seluruh patroli musuh melintas, baru disergap dari belakang," jelasnya.
Ada cerita unik dari misi penyergapan lain. Saat itu para anggota DI/TII sedang menggelar acara kenduri di markas yang terletak di tepi hutan. Mereka menyembelih kerbau dan membuat sate. Pasukan KKAD yang mengintai dari jarak dekat menunggu sampai sate matang. Setelah tercium aroma sate dan melihat musuh tak siap, mereka langsung merangsek maju.
"Langsung kita maju, kita todong. Angkat tangan semua! Mereka menyerah tanpa perlawanan. Kita makan satenya. Pasukan DI/TII yang ditahan melihat kita dengan pandangan kesal karena satenya dimakan. Kita balas pelototi, apa lihat-lihat, " kata Supardi.
Selain operasi militer, pendekatan teritorial pun dilakukan TNI. Mereka mengimbau agar sisa-sisa pasukan DI/TII yang masih bertahan segera menyerah. Kunci menghadapi gerilyawan adalah mengambil hati rakyat. (Merdeka)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar