Indonesia, Tanah Airku Tanah Tumpah Darahku
Disanalah Aku Berdiri jadi Pandu Ibuku…
Petikan lirik lagu Indonesia Raya itu menyebutkan secara tersirat peranan wanita (ibu) bagi perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai cita-citanya. Dalam memperingati Hari Ibu 22 Desember 2014 saat ini, kita perlu melihat sosok wanita-wanita pejuang maritim pada masa lalu maupun kini yang meneruskan perjuangan lintas generasi di bidang kemaritiman.
KONGRES WANITA 22 DESEMBER 1928 – Cikal Bakal ditetapkannya Hari Ibu | Foto: Sejarah Indonesia |
Adapun sejarah penetapan 22 Desember sebagai Hari Ibu karena adanya kongres wanita yang berlangsung di Yogyakarta, tanggal 22-25 Desember 1928. Kongres wanita itu merupakan kelanjutan dari Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 yang berisi bertumpah darah yang satu, berbangsa yang satu, dan berbahasa yang satu. Beberapa pendapat menyebutkan, istilah ‘Ibu Pertiwi’ muncul dari kongres wanita itu yang menyimbolkan tanah air dan tanah tumpah darah pada saat manusia lahir ke dunia melalui Rahim seorang Ibu.
Istilah laut sebagai pemersatu juga sudah dijelaskan meskipun belum secara terperinci dari dua momen penting bangsa Indonesia itu. Untuk mengenang jasa-jasa wanita pejuang maritim yang juga sebagai pejuang tanah air, diantaranya Ratu Kalinyamat dan Laksamana Malahayati, akan dipaparkan secara singkat profilnya dalam tulisan ini. Bukan bermaksud mengecilkan pejuang wanita lainnya yang tidak dicantumkan dalam konteks maritim ini, tetapi dengan maksud mengangkat karakter perjuangannya yang sangat bermanfaat bagi kita yang hidup di masa sekarang dan kurangnya referensi tentang pejuang maritim wanita lainnya dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
Ratu Kalinyamat
Ratu Kalinyamat yang memiliki nama asli Retna Kencana menjadi tokoh penting dalam sejarah Indonesia sejak pertengahan abad ke-16, terutama di Pantai Utara Jawa Tengah dan Jawa Barat. Kepemimpinannya, dikenal di lingkungan keluarga Kerajaan Demak. Ia memegang peranan sentral dalam penyelesaian konflik perebutan kekuasaan di lingkungan keluarga Kesultanan Demak. Ratu Kalinyamat menjadi tumpuan bagi keluarga besar Kerajaan Demak. Setelah terbunuhnya suaminya, Pangeran Hadiri, ia dilantik menggantikan suaminya menjadi penguasa Jepara dengan gelar Candra Sengkala Trus Karya Tataning Bumi yang diperhitungkan sama dengan tanggal 12 Rabiul Awal atau bertepatan dengan 10 April 1549. Dari posisinya sebagai penguasa Jepara itu lah, Ratu Kalinyamat semakin populer.
Gambar: Ratu Kalinyamat |
Pemerintahan Ratu Kalinyamat lebih mengutamakan strategi pengembangan Jepara untuk memperkuat sektor perdagangan dan angkatan laut. Kedua bidang ini dapat berkembang dengan baik kalau dilaksanakan melalui kerja sama dengan beberapa kerajaan maritim lainnya seperti Johor, Aceh, Maluku, Banten, dan Cirebon. Ini berarti bahwa Ratu Kalinyamat harus menjalin hubungan diplomatik dan kerjasama dengan kerajaan lain agar kedudukan Jepara sebagai pusat kekuasaan politik dan pusat perdagangan bisa kokoh.
Penguasaan aktivitas ekonomi dan perdagangan, menempatkan Ratu Kalinyamat memiliki angkatan laut yang cukup kuat untuk mendukung aktivitas pelayaran dan perdagangan seberang laut. Di bawah Ratu Kalinyamat, Jepara mencapai puncak kejayaannya. Strategi pengembangan Ratu Kalinyamat diarahkan pada penguatan sektor perdagangan dan angkatan laut telah berhasil menempatkan Jepara sebagai pusat perdagangan laut, pusat industri galangan kapal, dan pelabuhan internasional. Jepara kemudian berkembang menjadi bandar perdagangan dan bandar transito yang dikunjungi para pedagang dari berbagai bangsa dan suku bangsa.
Kekayaan Ratu Kalinyamat merupakan faktor pendukung utama bagi kekuatan politiknya. Berkat potensi itu, ia melakukan serangan terhadap Malaka yang saat itu diduduki Portugis pada tahun 1551 dan 1574. Serangan itu sebagai bentuk dukungannya terhadap Kerajaan Johor dan Aceh, yang memintanya membantu mengusir Portugis dari Malaka. Permintaan kedua kerajaan itu memberikan gambaran bahwa secara politis Ratu Kalinyamat dikenal sebagai penguasa yang sangat kuat dan namanya cukup termasyhur.
Laksamana Malahayati
Heroisme perjuangan putra-putri Aceh dalam melawan penjajah, menyebabkan Aceh sebagai daerah di Indonesia yang terakhir dikuasai oleh penjajah. Kegigihan pejuang Aceh melawan penjajah tidak bisa dilepaskan dari kultur masyarakat Aceh yang sangat religius.
Aceh terletak di daerah yang sangat strategis, yaitu di selat Malaka. Semua kapal-kapal Eropa yang bertujuan memasuki wilayah Indonesia terutama pulau Jawa harus melalui selat Malaka. Jalur selat Malaka ini sangat ramai, sering juga disebut jalur sutera dua. Para pedagang dari benua Eropa, China, Asia sering menggunakan jalur sutera dua ini untuk membeli rempah-rempah di kepulauan nusantara. Pada saat itu komoditi rempah-rempah sangat berharga.
Laksamana Malahayati |
Malahayati, adalah salah seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh. Nama aslinya adalah Keumalahayati. Ayah Keumalahayati bernama Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya dari garis ayahnya adalah Laksamana Muhammad Said Syah putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar tahun 1530-1539 M. Adapun Sultan Salahuddin Syah adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530 M), yang merupakan pendiri Kerajaan Aceh Darussalam.
Malahayati kecil sering diajak berlayar oleh ayahnya. Hal ini menyebabkan Malahayati mencintai dunia bahari sejak dini. Dia kemudian bertekad untuk menjadi pelaut handal seperti ayahnya. Malahayati menempuh pendidikan di Akademi Militer Mahad Baitul Maqdis yang dimiliki kerajaan Aceh Darussalam saat itu.
Salah satu peristiwa yang akan selalu dikenang oleh sejarah adalah keberhasilannya mengusir armada-armada Belanda dibawah pimpinan De Houtman bersaudara, Cornelis dan Frederick de Houtman. Cornelis de Houtman adalah orang Belanda yang pertama kali datang ke Indonesia pada tahun 1596 dan berhasil menancapkan kuku imperialisme di Jawa.
Pada tahun 1599, De Houtman bersuadara melakukan kunjungan kedua ke Indonesia. Dalam kunjungan kedua ini de Houtman bersaudara bersandar di Aceh pada tanggal 21 Juni 1599. Mereka berniat untuk mengusai kerajaan Aceh karena letaknya yang sangat strategis sebagai gerbang kepulauan nusantara. Malahayati mengetahui niat busuk de Houtman bersaudara, dia bertekad akan bertempur habis-habisan mengusir penjajah terlaknat.
Malahayati mengerahkan seluruh pasukannya dan memegang komando tertinggi. Dalam pertempuran itu, Frederick de Houtman tertangkap kemudian dijadikan tawanan Kerajaan Aceh. Sedangkan Cornelis De Houtman berhasil dibunuh oleh Malahayati sendiri pada tanggal 11 September 1599. Pada awalnya Cornelis berniat menjebak Malahayati dalam suatu perjamuan makan malam untuk membicarakan gencatan senjata. Tetapi niat jahat tersebut tidak tercapai, Malahayati berhasil menyelamatkan diri bahkan berhasil membunuh Cornelis de Houtman dalam pertarungan duel satu lawan satu diatas geladak kapal. Atas jasanya memukul mundur armada Belanda, Malahayati dianugerahi gelar Laksamana oleh Kerajaan Aceh.
Nada Faza Soraya, Pejuang Wanita Maritim Masa Kini
Perjalanan Nada Faza Soraya dimulai pada 2001 di Batam, Kepri ketika terjadi konflik antara INSA dan ISAA. Berbagai gagasan yang muncul dan berkembang dirumuskan menjadi suatu konsep usulan pembenahan. Konsep tersebut kemudian disampaikan kepada Presiden Republik Indonesia dalam sepucuk surat tertanggal 14 September 2001 yang dikirimkan oleh Nada biasa akrab disapa selaku praktisi pelayaran dan fungsionaris Hubungan Masyarakat Lembaga Swadaya Masyarakat Bahari di Batam.
Dalam masa empat bulan berikutnya, berlangsung korespondensi di antara lembaga kepresidenan, Departemen Perhubungan, Departemen Kelautan Perikanan, dan Lembaga Swadaya Masyarakat Bahari, Batam. Pada bulan Mei 2002 berlangsunglah audiensi Lembaga Swadaya Masyarakat Bahari Batam dengan Menteri Kelautan dan Perikanan, sebagai tindak lanjut arahan Presiden Republik Indonesia.
Nada Faza Soraya | foto : inilah.com |
Seusai audeinsi, komunitas maritim Batam melakukan konsolidasi untuk penyatuan langkah dan gagasan, dalam berbagai diskusi, dan pertemuan informal di antara asosiasi kepelabuhanan Batam (APBMI, HNSI, INSA, ISAA, Gaveksi) dan Kadin Kota Batam. Salah satu hasil dari proses ini adalah kesepakatan untuk melaksanakan pertemuan berskala nasional, dalam bentuk Pra Semiloka, Diskusi Panel, dan Lokakarya. Kesepakatan ini direalisasikan dengan menyelenggarakan Pra Semiloka Maritim Indonesia, pada tanggal 17-19 Januari 2003 di Batam dengan Kadin Kota Batam dan asosiasi kepelabuhanan Batam sebagai pelaksana.
Di dalam forum tersebut, sekali lagi, terlontar keprihatinan tentang kelemahan pembinaan sumberdaya manusia di bidang maritim. Padahal penerapan gagasan untuk memecahkan masalah maritim Indonesia hanya dapat dilakukan jika didukung dengan mutu sumberdaya yang baik. Maka terlontarlah gagasan pendirian Universitas Maritim Indonesia (UMI) sebagai lembaga pembinaan sumberdaya manusia maritim.
Perjalanan panjang selama hampir 15 tahun membawanya menjadi seorang aktivis wanita dunia maritim. Keteguhannya membawa konsep Universitas Maritim Indonesia menjadi sebuah harapan besar agar lahirnya generasi penerus bangsa yang kaya akan nilai dan ilmu maritim. Selain itu fungsi dari universitas Maritim ini sebagai sebuah upaya agar Indonesia mampu bicara maritim dalam skala kompleks. Yakni bukan lagi memisahkan puzzle keilmuan maritim dari hukum, budaya, sejarah, sains, teknologi, perikanan, dan pelayaran melainkan sebuah satu kesatuan yang kompleks dan tidak bisa hanya dipandang dari satu sisi permasalahan.
Perjuangan panjang telah membawanya menjadi Presidium Sekertariat Bersama Bangsa Maritim Nusantara (Sekber BMN), sebagai wadah untuk menyatukan perspektif maritim secara utuh. Berkumpulnya berbagai elemen maritim nasional menjadi sebuah harapan untuk terwujudnya kekuatan maritim Indonesia. Sekber BMN yang baru saja di deklarasikan di atas KRI Banda Aceh menunjukkan bahwa dukungan elemen nasional cukup besar untuk membangkitkan kemaritiman Indonesia. Disamping itu, dirinya juga menjadi pembina Asosiasi Pemuda Maritim Indonesia (APMI).
Sumber : JMOL | Ahlan Zulfakhri ( Sekjen APMI) dan Adityo Nugroho
Tidak ada komentar:
Posting Komentar