5 Juli 2015 tepat diperingati sebagai 56 tahun Dekrit Presiden Sukarno. Suatu peristiwa yang maha penting dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang kerap dilupakan oleh segenap anak bangsa ini. Peristiwa yang memaknakan kembalinya UUD 1945 sebagai konstitusi NKRI, telah memutus mata rantai Konstitusi sebelumnya, yakni UUDS 1950 yang merupakan kelanjutan dari UUD RIS. Saat ini kedudukan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kerap luput dari pengamatan pakar sejarah dan pakar hukum Indonesia serta relevansinya dengan kehidupan saat ini dalam upaya mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Bung Karno dalam Sidang Majelis PBB di New York, 30 Sepetember 1960 |
Sebelumnya, penulis ingin memaparkan alasan mengapa pada saat itu Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit berdasar teori hukum darurat negara (staatsnoodrecht). Artinya, klasifikasi negara dalam keadaan darurat yang menjadi syarat keluarnya dekrit, ditetapkan menurut pendapat subyektif Presiden pribadi selaku kepala negara, tanpa berdasar ketentuan hukum per-undangan. Sehingga keputusan pribadi Presiden itu dianggap perlu dalam menyelamatkan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sepintas, peristiwa tersebut menggambarkan ambisi Presiden untuk melanggengkan kekuasaan dan membentuk pemerintahan diktatur. Namun, bila kita melihat secara backward linkage (hubungan ke belakang) dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan, apa yang dilakukan Bung Karno sejatinya menyambung mata rantai sejarah sejak 28 Oktober 1928 (lahirnya bangsa Indonesia), 17 Agustus 1945 (Proklamasi kemerdekaan Bangsa Indonesia), 18 Agustus 1945 (berdirinya NKRI), dan 13 Desember 1957 (Deklarasi Djuanda).
Pasalnya, sejak 27 Desember 1949, berdasarkan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda diputuskan suatu keputusan mahal bagi perjuangan bangsa Indonesia agar kedaulatannya diakui oleh Belanda dan dunia internasional asalkan Indonesia mengganti Konstitusinya menjadi UUD RIS dan merubah bentuk negaranya dari negara kesatuan ke negara federal. Keputusan yang akhirnya diterima oleh petinggi Republik ini dengan catatan kunci yang terselubung, yakni ‘just strategy’ untuk mendapat pengakuan internasional.
Keputusan itu sebenarnya mengkhianati Proklamasi 17 Agustus 1945 dan berdirinya NKRI pada 18 Agustus 1945 berdasar pada UUD 1945. Namun, belum sampai setahun konstitusi itu bergulir, UUD RIS ditolak oleh segenap bangsa Indonesia yang lebih menginginkan kembali kepada negara kesatuan. Akan tetapi konsensus yang disepakati akhirnya harus membentuk UUD baru dengan disahkannya UUD Sementara tahun 1950 pada 16 Agustus 1950.
Suatu bom waktu yang berhasil dilancarkan oleh Belanda untuk memecah konstelasi Indonesia sebagai negara kebangsaan karena UUDS 50 masih membawa sifat-sifat UUD RIS yang berkarakteristik federal, liberal, dan kapitalistik secara ekonominya. Lebih dahsyatnya lagi dalam Mukadimah UUDS 50 tertera bahwa 17 Agustus 1945 disebut sebagai Proklamasi Kemerdekaan Republik (Negara) Indonesia, yang dampaknya sampai dengan hari ini kita rasakan bahwa peringatan 17 Agustus sebagai HUT RI.
Jelas dalam pernyataan itu sangat bertentangan dengan sejarah, karena tertulis dalam teks Proklamasi yang menyatakan merdeka saat itu ialah Bangsa bukan Republik (negara). Sementara Negara Indonesia baru berdiri 18 Agustus 1945 setelah UUD 45 disahkan menjadi Konstitusi oleh PPKI. Artinya tatanan NKRI berdasarkan peristiwa itu ialah bangsa yang membentuk negara bukan sebaliknya. Sedangkan ketika tatanannya yang berubah pada saat negara seakan-akan terbentuk pada 17 Agustus 1945 dan kemerdekaan bangsanya atau dengan istilah penyerahan kedaulatan terjadi pada 27 Desember 1949. Hal itu terlihat nyata dalam sisi penghancuran konstruksinya oleh negara-negara penjajah yang tidak menginginkan NKRI ini besar, tumbuh, dan berkembang.
Berdirinya NKRI setelah memanasnya pertempuaran Perang Dunia II telah membuka mata dunia internasional mengenai landasannya berupa Pancasila yang tertera dalam Pembukaan UUD 45 (Preambule). Apalagi negara baru ini memiliki visi untuk melenyapkan penjajahan di atas dunia yang merupakan misi kemanusiaan dan terlibat penuh dalam ketertiban dunia yang memang kondisi dunia saat itu hingga saat ini masih terbilang kacau serta penuh kesemrawutan.
Alhasil, konsensus itu sedikit banyaknya coba dilenyapkan oleh negara-negara penjajah terutama Belanda yang memiliki hubungan langsung dalam sejarah Nusantara. Upaya tersebut terbilang berhasil pasca KMB yang mengesahkan UUD RIS dan kemudian dilanjutkan dengan UUDS 50.
To Build The World Anew
Konspirasi mereka pun sempat berantakan setelah PM Djuanda Kartawidjaja mengeluarkan suatu Deklarasi tanggal 13 Desember 1957 yang menyambung mata rantai Nusantara kepada NKRI, di mana laut bukan lagi pemisah melainkan pemersatu. Deklarasi itu pun semakin menguat setelah dikeluarkannya Dekrit Presdien 5 Juli 1959 yang mengembalikan UUD 45 menjadi konstitusi NKRI. Dengan Dekrit tersebut, tatanan bangsa dulu baru membentuk negara kembali berjalan beserta landasannya Pancasila dan Pembukaan UUD 45.
Tidak lama kemudian, Bung Karno dalam Politik Luar Negeri Bebas Aktif-nya mencanangkan Indonesia menjadi ‘Mercusuar Dunia’, yang berarti Indonesia memiliki konsepsi yang menerangi dunia (Pancasila dan UUD 45-red). Setahun setelah Dekrit, tepatnya pada 30 September 1960, pidato Bung Karno di Majelis PBB di New York yang berjudul ‘To Build The World Anew” (Membangun Dunia Kembali) menawarkan konsepsi tersebut pada dunia internasional. Tentunya negara-negara berhalauan Neokolim (Neo Kolonialisme dan Imperialisme) yang turut memiliki konsep bertajuk ‘To Build the New World’ (Membangun Dunia Baru) menjadi kebakaran jenggot.
Sepintas, tema tersebut hampir sama tetapi memiliki arti yang berbeda. ‘To Build The World Anew’ yang didengungkan Bung Karno memiliki makna bahwa Pancasila sebagai nilai universal manusia memiliki kedudukan dan hidup di berbagai belahan bumi harus dikembangkan kembali. Jika setiap bangsa yang sejatinya memiliki nilai Pancasila dalam filosofi hidupnya terbangun kembali, maka perdamaian dunia yang tertera dalam Preambule akan terwujud.
Sementara konsep ‘To Build The New World’ yang didengungkan oleh negara-negara Neokolim mengandung nilai yang sarat akan peperangan dan penguasaan terhadap aset-aset perekonomian dunia (kapitalistik). Bahkan konsep itu yang merajalela sampai dengan hari ini. Pertarungan 2 konsep besar ini yang sebenarnya terjadi pada era 1960-an dan berlanjut sampai dengan dekade 1990-an.
Dekrit Presiden dan Negara Maritim
Seperti yang telah diurai di atas, Dekrit Presiden yang ditinjau secara Outward Looking dengan prinsip Politik Luar Negeri Bebas Aktif ternyata mengandung konsep yang menantang dunia. Istilah ‘Mercusuar Dunia’ yang menjadi tolok ukur berjalannya konsep tersebut mengandung pula istilah ‘Negara Maritim’ yang digdaya sesuai yang dicetuskan oleh PM Djuanda pada 13 Desember 1957.
Deklarasi tersebut pun diteruskan dengan keluarnya UU No 4 Prp tahun 1960 tentang Perairan Indonesia yang secara sah menggugurkan Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie 1939. Undang-undang itu pun menjadi turunan dari UUD 45 di antaranya pasal 1 ayat 1, pasal 18, dan pasal 33, yang keseluruhannya mengandung makna kedaulatan Indonesia atas teritorialnya termasuk lautan.
Perjalanan itu pun berlanjut secara konsep pertahanan yang merujuk pada pasal 10 dan pasal 30 UUD 45, di mana pembangunan pertahanan matra laut dan matra udara menjadi prioritas pembangunan semesta untuk tegaknya kedaulatan NKRI saat itu. Hal tersebut ditambah pula dengan konflik Indonesia-Belanda akibat masalah Irian Barat. Dengan kelihaian diplomasi serta kemampuan SDM-nya membuat kekuatan ALRI (saat ini TNI AL) menjadi kekuatan yang diperhitungkan di Asia bahkan dunia.
Sekelumit perjalanan peristiwa tersebut, ternyata Dekrit Presiden yang mengandung makna kembali ke UUD 45 menjadi energi yang baik untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim yang disegani.
Di era Orde Baru, meskipun gelombang pencapaian menuju negara maritim relatif menurun namun tercatat beberapa prestasi di bidang maritim seperti diterimanya Konsepsi Djuanda yang berisi Archipelagic State dalam UNCLOS tahun 1982. Artinya keberadaan UUD 45 dan GBHN masih menjadi bahan bakar yang mujarab dalam pencapaian Indoensia sebagai negara maritim dan dalam berkancah di dunia internasional.
Dua Sisi Poros Maritim
Visi Presiden Joko Widodo dalam mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia mengandung dua sisi yang saling berlawanan. Pertama, konteks poros maritim dalam arti yang sebenarnya untuk meneruskan perjuangan PM Djuanda dan Bung Karno dalam mewujudkan negara maritim sesuai Pancasila dan UUD 45.
Sehingga pengertian poros maritim ekuivalen dengan ‘Mercusuar Dunia’, yaitu konsep yang menantang dunia atau yang melawan arus dunia saat ini. Sebagaimana pernah disebutkan oleh Ketua Forum Kajian Pertahanan dan Maritim (FKPM) Robert Mangindaan dalam seminar bertajuk ‘Membangun Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia’ di Gedung Lemhanas. Dalam pemaparannya, Robert mengisyaratkan bahwa konsep poros maritim dunia yang didengungkan oleh Presiden Jokowi adalah konsep yang sungguh berani dan menantang dunia.
Artinya konsep itu harus didukung oleh landasan dan keberanian yang kuat seperti halnya Bung Karno pasca Dekrit Presiden. Tidak lain yang menjadi landasannya ialah Pancasila dan UUD 45. Sehingga akan tersusun kembali GBHN sebagai pola pembangunan yang menjadi landasan pemerintahan baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif selama lima tahun. Dengan mekanisme seperti itu, kepemimpinan yang bernuansa gotong royong dari seorang Presiden akan terjaga marwah dan kewibawaannya.
Sisi Kedua, merujuk pada konstelasi ketatanegaraan Indonesia pasca Reformasi 1998, di mana perubahan UUD 45 yang seakan-akan menjadi UUD baru (2002) mengisyaratkan bangsa ini kembali kepada masa UUD RIS dan UUDS 50. Tentunya visi Presiden ini tidak dapat berjalan mulus ketika hanya menjadi janji dari Presiden terpilih. Bahkan tidak semua Kementerian dan Pemerintahan Daerah apalagi DPR mampu menkonversi konsep ini sebagaimana mestinya.
Selain dilandasi dengan beragam kepentingan (Partai), kewibawaan Presiden beserta jajarannya pun dipertaruhkan dalam berjalannya konsep ini. Sehingga perumusan berdasarkan teori Adam Smith, ‘Tak ada uang, poros maritim tak berjalan’ pun menjadi teori yang absolut dipakai oleh pemerintahan saat ini. Modal (financial) besar dalam membangun beragam infrasrtuktur yang berkaitan dengan kemaritiman seakan menjadi faktor yang menentukan berjalannya poros maritim dunia.
Alhasil, angin segar akhirnya diterima oleh pemerintah setelah beberapa lawatannya ke luar negeri mendapat hembusan janji investasi, salah satunya dari Tiongkok yang saat ini memiliki konsep Jalur Sutra Maritim (Maritime Silkroad). Untuk merealisasikan program itu, Tiongkok melalui Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) siap menggelontorkan dana ke negara-negara yang akan dilalui JSM, salah satunya Indonesia.
Biaya sebesar 50 Milyar USD pun siap dikucurkan oleh Tiongkok untuk membangun Tol Laut di Indonesia. Yang perlu diingat, pengucuran biaya itu ialah tetap dalam konteks utang negara dengan mekanisme bunga berbunga. Dikhawatirkan dalam kondisi seperti ini, 100% kucuran dana itu tidak terserap seluruhnya ke pembangunan infarstruktur maritim melainkan hanya ke kantong-kantong politik menjelang perhelatan Pilpres 2019. Sungguh ironis jika anak cucu bangsa Indonesia harus menanggung beban utang itu beserta bunganya.
Alih-alih konsep Trisakti (Berdaulat dalam bidang politik, Berdikari dalam ekonomi, dan Berkepribadian kebudayaan), kenyataannya justru berlawanan semuanya. Akhirnya, ambiguitas poros maritim justru menjadi boomerang buat NKRI yang tengah diambang kehancurannya.
Penulis menyampaikan segenap keyakinannya agar bangsa Indonesia mampu mewujudkan poros maritim dunia yang semestinya, tentu dengan kembali kepada Pancasila dan UUD 45. Sehingga bukan hanya kejayaan maritim masa Bung Karno yang akan diulang oleh Pemerintahan Jokowi melainkan kejayaan Sriwijaya dan Majapahit yang memang telah menjadi sumbu kekuatan maritim di kawasan bahkan dunia. (JMOL)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar