Senin, 09 Juli 2012

Raden Ajeng Kartini


Raden    Ajeng Kartini lahir pada 21 April tahun 1879 di kota Jepara, Jawa  Tengah. Ia anak salah seorang  bangsawan yang masih sangat taat pada adat istiadat. Setelah lulus dari  Sekolah  Dasar  ia  tidak diperbolehkan  melanjutkan  sekolah ke tingkat yang lebih tinggi  oleh orangtuanya.  Ia  dipingit sambil menunggu waktu untuk dinikahkan. Kartini kecil  sangat  sedih  dengan hal  tersebut,  ia ingin menentang tapi tak berani karena takut dianggap  anak  durhaka.  



Untuk menghilangkan kesedihannya, ia mengumpulkan buku-buku  pelajaran dan  buku  ilmu pengetahuan lainnya yang kemudian dibacanya di taman rumah denganditemani Simbok  (pembantunya). Akhirnya membaca menjadi  kegemarannya, tiada  hari  tanpa  membaca.  Semua buku, termasuk  surat  kabar dibacanya.  Kalau ada kesulitan dalam memahami buku-buku dan surat kabar yang dibacanya, ia selalu menanyakan kepada Bapaknya. Melalui buku inilah, Kartini tertarik  pada  kemajuan  berpikir  wanita  Eropa   (Belanda,  yang waktu itu masih menjajah Indonesia).  

Timbul  keinginannya untuk memajukan wanita Indonesia. Wanita tidak  hanya  didapur tetapi juga harus mempunyai ilmu. Ia memulai dengan  mengumpul kan teman-teman wanitanya untuk diajarkan tulis menulis dan ilmu pengetahuan lainnya. Ditengah kesibukannya ia tidak berhenti membaca dan juga menulis surat  dengan teman-temannya yang berada di negeri Belanda. Tak berapa lama ia menulis surat pada Mr.J.H Abendanon. Ia memohon diberikan beasiswa untuk belajar di negeriBelanda.

Beasiswa  yang  didapatkannya tidak  sempat dimanfaatkan Kartini karena ia dinikahkan oleh orangtuanya dengan Raden Adipati Joyodiningrat. Setelah menikah ia ikut suaminya ke  daerah Rembang.  Suaminya mengerti dan ikut mendukung Kartini untuk mendirikan sekolah    wanita.   Berkat kegigihannya Kartini  berhasil mendirikan  Sekolah Wanita di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun,  Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Ketenarannya tidak membuat Kartini menjadi sombong, ia tetap santun, menghormati keluarga dan siapa saja, tidak  membedakan antara yang miskin dan kaya.

Pada  tanggal   17 september 1904,  Kartini  meninggal dunia dalam usianya yang ke-25, setelah  ia  melahirkan  putra pertamanya.  Setelah  Kartini  wafat, Mr.J.H Abendanon  mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para  teman-temannya  di Eropa.  Buku  itu  diberi  judul “DOORDUISTERNIS  TOT LICHT” yang artinya “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Saat ini mudah-mudahan di Indonesia akan terlahir kembali Kartini-kartini lain yang mau berjuang demi kepentingan orang banyak. Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20,  wanita-wanita negeri  ini  belum  memperoleh kebebasan  dalam  berbagai  hal. Mereka belum diijinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria bahkan belum diijinkan menentukan jodoh/suami sendiri, dan lain sebagainya. Kartini yang merasa tidak bebas menentukan pilihan bahkan merasa tidak mempunyai pilihan sama sekali karena dilahirkan sebagai seorang wanita, juga selalu diperlakukan beda dengan saudara maupun teman-temannya yang pria, serta perasaan iri dengan kebebasan wanita-wanita Belanda, akhirnya menumbuhkan keinginan dan tekad di hatinya untuk mengubah kebiasan kurang baik itu.

Belakangan ini, penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai  hari besar agak diperdebatkan. Dengan berbagai argumentasi, masing-masing pihak memberikan pendapat masing-masing. Masyarakat yang tidak begitu menyetujui, ada yang hanya tidak  merayakan Hari Kartini namun merayakannya sekaligus dengan  Hari Ibu pada tanggal 22 Desember. Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya. Namun yang lebih ekstrim mengatakan, masih ada pahlawan wanita lain yang lebih hebat daripada RA Kartini. Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah. Dan berbagai alas an lainnya.

Sedangkan mereka yang pro malah mengatakan Kartini tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita Indonesia saja melainkan adalah tokoh nasional artinya, dengan ide dan gagasan pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara pikirnya sudah dalam skop nasional. Sekalipun Sumpah Pemuda  belum dicetuskan waktu itu, tapi pikiran-pikirannya tidak terbatas pada daerah kelahiranya atau tanah Jawa saja. Kartini sudah mencapai kedewasaan berpikir nasional sehingga nasionalismenya sudah seperti yang dicetuskan oleh Sumpah Pemuda 1928.

Terlepas dari pro kontra tersebut, dalam sejarah bangsa ini kita banyak mengenal nama-nama pahlawan wanita kita seperti Cut Nya’ Dhien, Cut Mutiah, Nyi. Ageng Serang, Dewi Sartika, Nyi Ahmad Dahlan, Ny. Walandouw Maramis, Christina Martha Tiahahu, dan lainnya.  Mereka berjuang di daerah, pada waktu, dan dengan cara yang berbeda. Ada yang berjuang di Aceh, Jawa, Maluku, Menado dan lainnya. Ada yang berjuang pada zaman penjajahan Belanda, pada zaman penjajahan Jepang, atau setelah kemerdekaan. Ada yang berjuang dengan mengangkat senjata, ada yang melalui pendidikan, ada yang melalui organisasi maupun cara lainnya. Mereka semua adalah pejuang-pejuang bangsa, pahlawan-pahlawan bangsa yang patut kita hormati dan teladani.  Raden Ajeng Kartini sendiri adalah pahlawan yang mengambil tempat tersendiri di hati kita dengan segala cita-cita, tekad, dan perbuatannya. Ide-ide besarnya telah mampu menggerakkan dan mengilhami perjuangan kaumnya dari kebodohan yang tidak disadari pada masa lalu. Dengan keberanian dan pengorbanan yang tulus, dia mampu menggugah kaumnya dari belenggu diskriminasi.

Bagi wanita sendiri, dengan upaya awalnya itu kini kaum wanita di negeri ini telah menikmati apa yang disebut persamaan hak tersebut. Perjuangan memang belum berakhir, di era globalisasi ini masih banyak dirasakan penindasan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar