Senin, 25 Agustus 2014

Revolusi Mental Kelautan Indonesia Diawali dari Meja Makan


Sekalipun kaya akan hasil laut, bangsa Indonesia tidak dikenal sebagai pemakan ikan. Oleh karena itu, budaya maritim harus berujud revolusi laut yang diawali dari meja makan yakni ikan harus menjadi lauk utama bangsa Indonesia.

Laksyda TNI (P) Yosaphat Didik Heru Purnomo

Gemar makan ikan laut, selain mencerdaskan bangsa sebagaimana bangsa Jepang memiliki tradisi kuat mengkonsumsi ikan, akan mendorong terbenahinya tata kelola kelautan Indonesia yang tumpang tindih.

Demikian ditegaskan oleh Laksyda TNI (P) Yosaphat Didik Heru Purnomo, yang saat ini menjabat sebagai Ketua Institut Keamanan dan Keselamatan Maritim Indonesia (IK2MI) di Jakarta, Minggu (24/8/2014). Sebelum menjadi Ketua IK2MI, Didik Heru Purnomo menjabat sebagai Kalakhar Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla RI).
 


Didik menjelaskan bahwa, rata-rata konsumsi ikan orang Indonesia adalah 30 kg / tahun masih kalah dengan konsumsi ikan orang Malaysia yang mencapai 37 kg / tahun.

Jika dibandingkan, konsumsi ikan orang Indonesia hanya separoh dari konsumsi ikan orang Jepang yang mencapai lebih dari 60 kg/tahun.  Sehingga, dijelaskannya lebih lanjut, tinggal kalikan saja kebutuhan ikan Indonesia per tahun mencapai berapa.

“Kalau konsumsi ikan saja masih rendah, itu artinya tidak mengherankan jika penanganan illegal fishing tidak dianggap penting. Jika konsumsi ikan orang Indonesia menyamai orang Jepang, artinya dua kali lebih banyak kebutuhan ikan dari data sekarang, itu akan mendorong pemerintah Indonesia secara serius menangani lautnya agar kebutuhan konsumsi ikan orang Indonesia terpenuhi. Serius menangani tata kelola kelautan itu termasuk di dalamnya adalah mengurai keruwetan yang terjadi karena tumpang tindih peraturan dan tidak terkoordinasinya tata kelola laut karena ego sektoral,” tegas Didik Heru Purnomo, yang juga mantan Kasum TNI.

Menurut Didik Heru Purnomo, kerugian Indonesia terkait dengan illegal fishing mencapai Rp 30 triliun per tahun.

Jumlah triliunan ini adalah angka yang sangat besar dan dapat dialokasikan ke pendidikan, misalnya.

“Jepang untuk mencari ikan saja sampai ke kutub utara, dan segala jenis ikanpun diburu. Sementara Indonesia yang wilayah kelautannya lebih luas dari Jepang, belum menganggap penting tata kelola satu atap kelautan Indonesia. Semua departemen atau instansi merasa punya hak atas tata kelola laut Indonesia meski untuk bertanggung jawab atas kerugian tata kelola tersebut tidak ada yang menunjukkan batang hidungnya,” ujar Didik yang juga mantan Wakasal ini.

Oleh karena itu, menurut Didik, pemerintah mendatang dalam mewujudkan budaya maritim dengan cara mendorong dunia pendidikan, keluarga dan lembaga terkait memiliki program makan ikan laut. Membentuk suatu budaya itu tidak bisa instan tetapi harus dididik, diajari dan diedukasi.

“Ini hal yang sederhana tetapi akan mengubah cara pandang bangsa Indonesia terhadap lautnya. Jika makan ikan laut menjadi tradisi, kebutuhan makan ikan meningkat, illegal fishing diperangi, pembangunan instruktur kelautan dan kekuatan keamanan dan keselamatan laut ditingkatkan,” ujar mantan Wakasal ini.

Oleh karena itu, menurut Didik, pada ujungnya nanti Indonesia tidak membutuhkan banyak badan yang mengatur tata kelola kelautan. Yang dibutuhkan Indonesia, dijelaskan lebih lanjut, sebagaimana banyak negara telah melakukan adalah, memiliki satu badan dengan banyak fungsi (multi task single agency) agar tumpang tindih pengelolaan dapat dihindarkan.

“Kesemrawutan tata kelola kelautan Indonesia yang sekarang ada karena masing-masing instansi atau departemen bertindak berdasarkan peraturannya sendiri. Yang harus dipikirkan adalah kepentingan nasional, bangsa dan negara,” ujar Didik.

Didik Heru Purnomo saat masih aktif pada tahun 2011 meluncurkan buku “TAHUN 1511 – Limaratus Tahun Kemudian”, yang disusunnya  bersama 33 wartawan seluruh Indonesia.

Buku terbitan Gramedia ini mendapat kata sambutan dari Menkopolhukam Marsekal TNI (P) Djoko Suyanto, Menhan Purnomo Yusgiantoro, Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono.

Buku ini juga mendapat Kata Pengantar dari Franciscus Welirang (Pengusaha), Mantan Wakasad Letjen TNI (P) Kiki Syahnakri, Kepala BPMigas R. Priyono, KH Salahuddin Wahid (Ketua GIN) dan catatan sejarah dari AM Putut Prabantoro (Ketua Gerakan Ekayastra Unmada -Semangat Satu Bangsa).

Buku ini bercerita kematian dunia maritim nusantara pada tahun 1511, saat Portugis merebut Malaka dan Tumasik (Singapura), yang dulunya merupakan pulau terluar Kerajaan Sriwijaya (Majapahit dan Demak). Kematian dunia maritim nusantara itu diharapkan dapat bangkit kembali dengan tata kelola kelautan yang baru. (Tribun)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar