Senin, 09 Mei 2016

Memahami Fikih Anti Terorisme


Oleh: Fajar Riza Ul Haq

Tiga hari sebelum otopsi jenazah Siyono dilakukan PP Muhammadiyah bersama Komnas HAM, penulis bertemu dan mendapat konfirmasi dari Ketua PW Muhammadiyah Jawa Tengah bahwa warga asal Klaten itu tidak dikenal di Muhammadiyah.

Lalu, kenapa Muhammadiyah membela seseorang yang diduga bagian dari jaringan terorisme?


Memahami Fikih Anti Terorisme


Langkah pembelaan yang sangat tak populis mengingat pemerintah sedang gencar memaksimalkan agenda pemberantasan terorisme setelah serangan teror di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Januari lalu.

Risikonya, tak sedikit kalangan salah memahami posisi dan kepentingan Muhammadiyah. Tidak terkecuali kepolisian. Nada sumbang pun tak terhindari.


”Selain untuk merawat nilai- nilai kemanusiaan, kami berkepentingan agar hukum ditegakkan. Muhammadiyah memandang kasus ini harus diungkap. Hukum harus ditegakkan. Muhammadiyah (sendiri) sudah lama memandang terorisme dan kekerasan atas nama agama merupakan sesuatu yang merusak kehidupan,” begitu jawab Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dalam satu wawancara dengan wartawan.

Tampaknya, perkembangan advokasi Muhammadiyah terhadap kasus ini mendorong Panitia Khusus (Pansus) RUU Anti Terorisme melakukan perubahan fokus pada rancangan yang diajukan pemerintah tersebut.

Kini, Pansus RUU Anti Terorisme lebih memandang urgen untuk memperkuat aspek perlindungan dan penegakan hak asasi manusia terduga teroris dan korban.

Penekanan aspek ini akan disertai pembatasan kewenangan aparat penegak hukum dalam menindak terorisme (Kompas, 21/4).

Pada sisi lain, peristiwa teror Thamrin dan kasus kematian Siyono semakin memperkuat relevansi proposal penyusunan Fikih Anti Terorisme yang digagas Maarif Institute sejak Desember silam.

Rangkaian diskusi kelompok terfokus pun sudah dilakukan pada akhir Februari dan Maret lalu dengan melibatkan ulama dan para pakar lintas disiplin yang menekuni kajian terorisme.

Puncaknya adalah perhelatan ”Halaqoh Penyusunan Buku Fikih Antiterorisme” pada 3-5 Mei 2016 di Semarang, hasil kolaborasi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah dan Maarif Institute.

Haedar Nashir dan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan hadir dalam pembukaan pertemuan selama tiga hari tersebut.

Proposal ini bertujuan merumuskan perspektif Islam Indonesia mengenai persoalan terorisme dan pelbagai isu turunannya dalam rangka memastikan terpenuhinya maqashid syariat (tujuan puncak syariah) dan hak asasi manusia dengan berangkat dari tantangan terorisme di Indonesia dan dinamika globalnya.

Arah kerjanya akan mencakup pembacaan ulang secara kritis definisi terorisme dalam perspektif Islam, menggali pandangan Al Quran dan hadis mengenai terorisme dengan menyegarkan kembali pandangan para ulama serta pengkajian kembali konsep-konsep kunci keagamaan yang selama ini disalahpahami dan disalahgunakan oleh kelompok-kelompok berideologi teror, seperti irhab (teror), takfir (sesat), qital (perang), unuf (kekerasan), bughat (pemberontak), baiat, hijrah, dan khilafah.

Fikih Anti Terorisme merupakan kesinambungan dan pengembangan dari diskursus Fikih Kebinekaan yang telah digulirkan pertengahan 2015.

Al Quran dan terorisme

Pada dasarnya, istilah ”terorisme” tidak ditemukan di dalam Al Quran, bahkan dalam kosakata bahasa Arab sekalipun. Isu terorisme merupakan produk zaman modern karena tidak ada sarjana Muslim klasik yang pernah mendefinisikan apa itu terorisme, ungkap Kutb Mustafa Sano.

Namun, para ahli tafsir dan hukum Islam modern berpendapat bahwa kata ”irhab” dalam Al Quran memiliki makna yang memperlihatkan banyak persamaan dengan konsepsi terorisme dalam kamus politik Barat.

Kitab suci ini menyebut kata irhab dalam 12 tempat, begitu menurut Abdullah bin Mahfud bin Bayah.

Mayoritas makna irhab dalam ayat-ayat itu merujuk pada pengertian yang identik dengan rasa ketakutan dan teror/ancaman.

Definisi hukum terorisme dalam pandangan resmi organisasi di dunia Islam baru dirumuskan pada 1998 oleh Konvensi Arab untuk Pemberantasan Terorisme.

Konvensi ini merumuskan terorisme adalah segala bentuk ancaman atau aksi kekerasan, apa pun motif dan tujuannya, yang muncul sebagai upaya untuk mencapai agenda kriminal individu atau kolektif.

Definisi berikutnya dikemukakan Islamic Research Academy pada 2001, yaitu tindakan mengancam keamanan dan menghancurkan kepentingan publik, martabat manusia, dan esensi kehidupan sehingga memicu tindakan agresi dan mengakibatkan kerusakan di muka bumi (Amin, 2014: 32).

El Sayid Amin percaya bahwa proyek mengkaji terorisme dalam perspektif Islam harus berangkat dari analisis teks-teks yang membedah konsep irhab (teror), quwwah (kekuatan), ’aduuw (musuh), khususnya dalam kandungan Surat Al Anfal: 60.

Penting sekali meluruskan makna kata-kata kunci itu sesuai konteks dan semangat awalnya guna mematikan justifikasi aksi terorisme atas nama perintah Al Quran, seperti klaim Al Qaedah, Boko Haram, dan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).

Berdasarkan penelusuran Amin, pemahaman ekstrem Sayyid Qutb terhadap sejumlah konsep kunci tersebut telah berkontribusi besar pada disalahpahaminya ayat-ayat jihad oleh kelompok-kelompok berideologi teror.

Ada penyimpangan. Akibatnya, mereka percaya telah diberi otoritas untuk membunuh dan melakukan kerusakan terhadap orang yang berkeyakinan berbeda.

Para penganut ”Teologi Maut” itu—istilah yang dipakai Buya Syafii—mengabaikan prinsip dasar Al Quran, yaitu mengambil nyawa manusia dengan cara-cara melanggar hukum dan tidak adil merupakan bentuk utama kerusakan seperti diingatkan firman Tuhan, Q.S. 17: 33: ”Dan, janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah, melainkan dengan suatu yang benar”. Dalam memahami ayat ini, ahli tafsir klasik Al-Razi berpandangan, tindakan merampas hak hidup seseorang tanpa ada sebab yang adil merupakan dosa terbesar setelah menyekutukan Tuhan.

Konsekuensi hukum dan moral

Pendapat keras penulis Tafsir Mafatih al-Ghaib ini mencerminkan tingginya pemuliaan Islam terhadap keberlangsungan kehidupan dan hak hidup manusia. Dalam bahasa Al Quran, satu nyawa manusia setara dengan alam semesta.

Adanya unsur kesengajaan menghilangkan nyawa, baik dilakukan negara maupun kelompok, dan melakukan kerusakan (fasad) merupakan dua ciri mendasar yang melekat pada tindakan yang disebut terorisme dalam kacamata Al Quran.

Dalam perspektif ini, ada beberapa konsekuensi hukum dan moral dalam proses penegakan hukum terhadap kasus terorisme.

Pertama, negara tidak mempunyai hak untuk menghilangkan nyawa warganya karena tuduhan terorisme sampai ada proses hukum yang adil dan transparan membuktikannya.

Kedua, negara berpotensi terjerumus menjadi pelaku teror itu sendiri jika bertindak di luar hukum dan merendahkan nilai-nilai kemanusiaan.

Ketiga, orang beriman yang nyata-nyata terlibat terorisme, apalagi secara sengaja menghilangkan nyawa manusia, telah melakukan kejahatan serius dan perbuatan dosa besar wajib dihukum secara setimpal dan adil sesuai hukum negara.

Lebih dari itu, dia telah menistakan dirinya karena melakukan perbuatan terkutuk, setingkat di bawah menyekutukan Tuhan.

Akhirnya, prakarsa penyusunan Fikih Anti Terorisme merupakan upaya dari masyarakat sipil mendialogkan dan memproduksi pemahaman kritis atas diskursus terorisme agar tetap dalam kori- dor menjunjung tinggi hak asasi, keadilan, dan memuliakan kemanusiaan.

Pancasila telah lama memerintah kita untuk mengimami keadilan dalam proses bernegara. Negara mesti hadir membentangkan payung kepastian dan keadilan hukum untuk siapa pun.

Merawat partisipasi masyarakat dan budaya dialog konstruktif dengan penyelenggara negara merupakan kunci untuk memastikan negara tetap bermakmum kepada Pancasila. (Kompas)

Fajar Riza Ul Haq
Direktur Eksekutif Maarif Institute & Sekretaris Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar