Yonhap News Agency dan Korean Herald
di tahun 2014 lalu melaporkan bahwa perdiksi biaya development cost dan
biaya produksi untuk 250 unit KF-X akan mencapai 20 Triliun Won
(US$19.7 milyar).
$19.7 milyar. Kontribusi Indonesia 20% membuahkan angka sekurang-kurangnya $4 milyar atau Rp 48 Trilliun. Bahkan
kemungkinan, sebagian besar dari $4 milyar itu harus terlebih dahulu
dibayar Indonesia, beberapa tahun sebelum KF-X pertama dapat lepas
landas.
Kabar terakhir, menurut Aviation week, parlemen Korsel belum menyetujui mulainya
“full-scale-development” untuk KF-X. Ini berarti proyek KF-X masih akan
tertunda sampai pemerintah baru Korsel terpilih di tahun 2016.
Sejauh ini KF-X tetap adalah pesawat kertas. Sudah saatnya kita menilik kembali faktor-faktor resiko proyek ini untuk Indonesia. Adalah hak rakyat untuk
mengetahui bagaimana uang $4 milyar ini akan dipakai, dan apakah
pesawat seperti ini dapat memenuhi cita-cita ”membuat pesawat sendiri.”
Masalah pertama, partnership Korsel-Indonesia dalam KF-X bukanlah partner yang seimbang
Pengalaman, pengetahuan, kemampuan, dan tehnology-expertise KAI (Korean Aerospace Industry)
dalam bidang pesawat tempur jauh lebih tinggi dibandingkan PT
Dirgantara Indonesia, yang sejauh ini lebih berkonsentrasi ke pesawat
angkut ringan, dan lisensi pembuatan helikopter.
Bukankah ini artinya Indonesia seperti “berguru” disana?
Kita memang harus belajar, tapi program
semacam KF-X bukanlah tempat yang ideal. Program semacam ini justru
menuntut partner yang bisa timbal-balik, dan dapat memberi masukan
technical. Dalam hal ini, kemampuan Indonesia dalam industri pesawat
tempur NOL besar. Tidak seperti Korea, Indonesia tidak pernah mendapat
tawaran ToT, dan merakit pesawat tempur sendiri di Bandung, sedangkan
semua pesawat tempur TNI-AU dewasa ini, relatif masih berbasis tehnology
tahun 1980-an, atau 1990-an. Ini artinya, Indonesia tidak akan punya
kemampuan untuk menawar sebagai partner dalam proyek.
Hasilnya, KF-X akan di-desain murni oleh Korea, menurut spesifikasi yang diinginkan Korea, dan akan mempunyai tujuan utama untuk memenuhi kebutuhan AU Korea. Indonesia tidak akan punya suara apa-apa untuk menentukan semua ini.
Indonesia hanya akan menjadi ”kerbau yang dicocok hidungnya”, yang dipaksa untuk terus menganggukan kepala, untuk semua hal yang di sudah ditentukan kemauan Korsel.
Masalah kedua, Korea Selatan membutuhkan Transfer-of-technology dari salah satu perusahaan yang sudah berpengalaman
Faktanya, walaupun Korea mungkin jauh
lebih maju daripada Indonesia, mereka belum mempunyai cukup expertise
untuk membuat pesawat tempur sendiri.
Transfer-of-technology dan
license-production untuk membuat F-16 C/D di awal tahun 2000-an, dan
pengalaman kerjasama membuat T-50 LIFT trainer tidaklah menjadikan Korea
sebagai negara yang dapat dibandingkan dengan negara-negara pembuat
pesawat tempur tradisional yang lain.
Berkaitan dengan masalah pertama tadi, karena KF-X adalah “100% made in Korea”; Korsel tidak merasa perlu untuk berdiskusi dengan Indonesia dalam hal memilih partner.
Sebaliknya, mereka sudah langsung mengundang Lockheed-Martin sebagai
partner tehnology utama dalam KF-X; sebagai salah satu offset (syarat)
dari transaksi pembelian 40 F-35A, yang senilai US$7 milyar.
Masalah ketiga, partnership dengan Lockheed-Martin, berarti 90% dari komponen KF-X akan di-source dari US.
Ini tentu saja tidak
menjadi masalah besar untuk Korea Selatan, yang dapat dianggap sebagai
salah satu negara “sekutu kesayangan” US, menyamai negara-negara lain
seperti Australia, Singapore, dan Jepang.
Akan tetapi, ini artinya SEMUA komponen vital yang dibutuhkan untuk KF-X, akan berada di bawah kontrol program FMS (Foreign Military Sales) USA. Pemerintah US akan mempunyai 100% kontrol
untuk menentukan kualitas perlengkapan yang boleh dipasangkan ke KF-X,
dan ini biasanya adalah mimpi buruk bagi semua pembuat senjata yang
memakai komponen buatan US.
Ada berita dari Korea, bahwa akhirnya
jumlah komponen Korea akan menggantikan kebanyakan komponen buatan US
dalam KF-X. Tapi komponen yang mana?
Korea bahkan belum mampu menulis “Software Source Code” sendiri
untuk pesawat FA-50 mereka (versi tempur dari T-50 Golden Eagle). Ini
adalah komponen terpenting (yang juga tidak kelihatan) dalam pesawat
tempur untuk menentukan perlengkapan apa yang bisa dipasangkan, mulai
dari radar, missile, aerial-network, air-combat programming mode, dan
counter-measure. Lockheed-Martin (yang juga partner pembuat T-50) adalah
penulis Source Code untuk FA-50.
Kalau menulis code untuk FA-50 yang jauh lebih sederhana saja Korea tidak bisa, bagaimana dengan KF-X yang jauh lebih rumit?
Faktanya, Korea belum mempunyai
kemampuan industri mandiri untuk membuat AESA radar, aerial network
modern, flight control software, dan semua komponen penting lain yang
vital. Setelah Lockheed-Martin mengunci “software source code” di KF-X,
Korea / Indonesia tidak akan mungkin mengganti semua komponen vital dari
buatan US, menjadi non-US.
Hal ini membawa kita ke masalah yang berikutnya.
Masalah keempat, campur tangan program FMS, berarti IF-X Indonesia hanya akan menjadi versi “downgrade” dari KF-X Korea.Sudah menjadi rahasia umum, kalau pemerintah US selalu campur tangan dalam mengatur level persenjataan yang dibeli negara-negara client-nya.
Mari menengok kembali salah satu deal terpenting US – Indonesia akhir-akhir ini: Pembelian F-16 Block-52ID.
Dan walaupun daftar ini kelihatannya sangat bagus, dan Indonesia mendapat bermacam-macam hadiah, ada beberapa hal yang hilang jika dibandingkan semua transaksi pembelian F-16 Block-50/52 lainnya.
Pertama, dokumen dari DCDA ini saja, bahkan sengaja tidak menyebutkan versi dari radar APG-68. Ini artinya, Indonesia mendapat versi paling basic dari APG-68, bukan tandingan dari APG-68v7 atau v9 yg memperlengkapi F-16 Block-50-52/52+/50+ Singapore, Korea Selatan, Pakistan, dan Maroko. Tentu saja, performa radar v7 dan v9 akan dapat men-lock BVR missile sekelas AMRAAM dari jarak yang lebih jauh dibandingkan APG-68v basic.
Komponen berikutnya yang hilang dari daftar DCDA dibanding dengan F-16 yang dibeli negara-negara diatas adalah Joint-Helmet-Mounted Cueing System (JHMCS). Helm pilot modern ini memungkinkan F-16 untuk membawa AIM-9X. Ini adalah missile generasi terakhir dari keluarga Sidewinder, yang dapat ditembakkan dengan sudut 90 derajat dari arah moncong pesawat. Ketidakberadaan JHMCS di F-16 Block-52ID, berarti jenis Sidewinder yang dapat dibawa hanya akan terbatas di tipe terakhir – AIM-9M.
Terakhir, tentu saja Link-16 data network yang seharusnya menjadi standar pesawat tempur modern juga abstain dalam daftar DCDA untuk F-16 Block-52ID.
Tentu saja, dengan semua perlengkapan yang jauh lebih modern, F-16 Block-52ID kemampuannya jauh diatas jika dibandingkan dengan F-16 Block-15OCU yang sudah kita miliki. Tetapi, jika F-16 Block-52ID dibandingkan dengan semua F-16 Block-50/52 yang lain, tentu saja Block-52ID akan kalah. Ini bukan karena Indonesia membeli bekas, tetapi karena kualitas perlengkapan Indonesia memang sudah beberapa tingkat dibawah standar F-16 Block-50/52 yang lain.
Kemungkinan besar, ini dikarenakan Indonesia berbatasan dengan Australia, yang termasuk ke dalam daftar Non-NATO ally untuk US. Policy yang “tidak terlihat” seperti ini kecil kemungkinannya bisa diubah. Sejarah persekutuan antara Australia – US yang erat ini berawal sejak tahun 1941. Tentu saja, US akan “memastikan” setiap senjata asal US yang dibeli Indonesia, akan dikontrol di level yang tidak membuat Australia menjadi “khawatir”.
Dalam konteks KF-X, Korea (yang masuk ke dalam daftar diatas) boleh jadi akan “di-ijinkan” untuk mengambil semua “top-spec equipment” dari US seperti Raytheon RACR (AESA) radar, Link-16 data network, Joint-Helmet-Mounted-Cueing-System (untuk menembakkan AIM-9x tipe baru), dan tentu saja AIM-120D AMRAAM jenis terbaru yang development-nya sekarang belum selesai.
Kesimpulan
Kalau mimpi Indonesia untuk ikut proyek semacam KF-X adalah untuk mencari “pesawat tempur buatan sendiri”, mohon maaf!
Ini hanya akan tetap menjadi mimpi belaka yang tidak akan pernah menjadi kenyataan!
Malah boleh dibilang, proyek ini hanyalah suatu penipuan besar untuk seluruh rakyat Indonesia.
Faktanya, KF-X / IF-X tidak akan berbeda
jauh dari F-16 yang import, karena semua aspect penting-nya akan
sepenuhnya dikontrol oleh pemerintah US. Kebijaksanaan mereka adalah
penentu utama untuk hasil akhir IF-X yang “boleh” diambil Indonesia.
Tentu saja, hal ini akan berbeda kalau
saja Korea memilih untuk bekerja-sama dengan EADS (Eropa). Hasil akhir
KF-X akan lebih menjanjikan dibandingkan sekarang. Tapi tentu saja,
Korea tidak akan pernah memikirkan kebutuhan Indonesia dalam hal ini.
Jadi mananya yang “pesawat buatan sendiri”?
Penulis berpendapat bahwa SAAB Gripen-E/F yang sudah ditawarkan melalui program 100% Transfer-of-Technology
mempunyai potensi untuk jauh lebih ”Indonesia” dibandingkan KF-X yang
”100% Made in Korea (USA)”, ataupun semua pilihan pesawat import
lainnya. Ini akan dibahas di artikel selanjutnya.
mana mungkin barat dan sekutu nya serta client nya yg di asean..mau memberikan tehnologi canggih untuk RI hrs dibawah standar ..sejarah tdk pernah mencatat itu..beda dgn blok timur era dulu kita pernah jaya dgn AU.....kita bisa membuat pespur sendiri kerja sama atw dgn cara lisensi seperti india bisa membuat sukhoi..dan tehnologi hrs dikuasai atw di rebut dan . pihak lain tidak senang kita bisa mengembangkan pespur sendiri...krn mereka berpikir kita tdk akan ketergantungan lg pd mereka.. smg petinggi militer kita tahu itu....
BalasHapusPenulis oleh Gripen Indonesia, terakhir penulis menulis cenderung utk mengalihkan dari IFX ke Gripen. Pertanyaanya apakah penulis sudah objektif atau belum?
BalasHapusyang penting bisa buat pesawat dulu,walau pun kelasnya sama dgn F 16 sekarang,kedepannya kan bisa di kembangkan
BalasHapusTNI itu pinter dan cerdik...tahu apa yg hrs dilakukan
BalasHapus