Skema kerjasama Indonesia-Cina tersebut jika kita lihat secara sepintas, memang cukup menjanjikan dan saling menguntungkan kedua negara. Apalagi melihat kenyataan bahwa Jalur Sutra maritim itu dipastikan bersinggungan dengan konsep tol laut. Rutenya meliputi Eropa, masuk Laut Merah di Afrika, lalu ke Samudra Hindia, terus menuju India, Bangladesh, Burma, kemudian masuk ke Indonesia melalui Selat Malaka. Juga menyusur lewat selatan yang masuk Selat Lombok, Selat Sunda, Selat Wetar, Selat Sunda, lalu terus ke utara, lantas masuk ke Laut Cina Selatan.
Menurut rencana induk pembangunan Tol Laut, Jokowi berencana akan mengembangkan dua pelabuhan sebagai hub internasional, yakni Pelabuhan Kuala Tanjung, Sumatera Utara, di Selat Melaka; dan Pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara. Nantinya, barang dari dan ke Asia Timur masuk melalui Bitung, sementara dari dan ke Eropa melalui Kuala Tanjung. Perkiraan sementara, dibutuhkan dana US$ 5-6 miliar untuk merealisasi tol laut. Beberapa kalangan ring satu pemerintahan Jokowi nampaknya cukup optimis bahwa Indonesia sanggup membangun sekitar kurang lebih 20 pelabuhan sebagai hub feeder.
Namun benarkah skenario itu akan selancar dan semulus yang dibayangkan Jokowi? Sebagaimana serangkaian kajian yang dilakukan tim riset Global Future Institute, keputusan untuk mengikutsertakan Bitung, Sulawesi Utara, ternyata keputusan untuk membangun hub interasional Bitung sebagai pintu ke Asia Timur bukanlah opsi yang cukup menguntungkan bagi Indonesia. Pertama, potensi Bitung untuk jadi sasaran geopolitik Cina untuk menguasai Bitung sebagai wilayah yang mempunyai akses pelabuhan dan bandara yang cukup strategis. Kedua, pada perkembangannya nanti akan terhambat mengingat semakin menajamnya konflik antara Amerika Serikat dan Cina di kawasan Asia Tenggara, sehingga berakibat memburuknya hubungan antara Filipina (sebagai sekutu tradisional Amerika Serikat) dan Cina. Terbukti dengan timbulknya konflik perbatasan antara Filipina dan Cina terkait klaim wilayah Laut Cina Selatan. Sehingga Cina telah mengucilkan Filipina dengan menghindari negara kepaluan itu dalam rute Jalur Sutra.
Alhasil, meskipun dalam rencana strategisnya, kerjasama maritime Indonesia-Cina di atas kertas ternyata cukup menjanjikan, namun pada kenyataannya lebih banyak menguntungkan Cina daripada Indonesia.
Karena itu, kalaupun pemerintahan Presiden Jokowi memang serius untuk membangun keseimbangan baru menghadapi dominasi pengaruh Amerika dan sekutu-sekutu baratnya di Asia Tenggara, sudah saatnya Indonesia mencari format baru kerjasama strategis bidang maritime dengan negara lain.
Kemungkinan Rusia sebagai mitra strategis sebagai alternatif dari Cina, kiranya sudah selayaknya jadi bahan pertimbangan. Apalagi Presiden Vladimir Putin sendiri sudah mengisyaratkan akan membuka pintu kerjasama dengan negara-negara mitra di ASEAN, termasuk Indonesia. Pada Konferensi Tingkat Tinggi Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) di Beijing November 2014 lalu, Putin mengatakan ngin memanfaatkan potensi kerja sama Rusia dengan Asia Tenggara untuk menguntungkan kedua pihak. Berkata Putin: “Rusia, sebagai bagian dari kawasan Asia Pasifik, harus menggunakan keunggulan mereka yang kompetitif menjadi pusat perkembangan ekonomi, teknologi, dan investasi yang tumbuh dengan cepat.”
Adapun keunggulan yang ditawarkan Putin ketika itu adalah wilayah Siberia dan Far East (Timur Jauh) Rusia. Dalam kajian Global Future Institute menjelang KTT G20 20 pada 2013 lalu, Rusia mempunyai program unggulan terkait proyek pembangunan infrastruktur yang dipandang oleh negara beruang merah tersebut cukup strategis dari sudut pandang kepentingan dan prioritas nasionalnya.
Melalui Program of Development of Siberia and Far East, Rusia mengaitkan pembangunan infrastruktur dan upaya membangun pengaruh geopolitik di kawasan Asia Pasifik. Karena Siberia merupakan pintu masuk ke kawasan Asia Pasifik. Selain kenyataan bahwa wilayah Primorsky Krai dan kota Vladivostok saat ini dipandang sebagai pusat pertumbuhan ekonomi wilayah Timur Jauh Rusia. Wilayah ini juga berbatasan langsung dengan kawasan pertumbuhan ekonomi Asia Timur dan dekat dengan pusat-pusat perkembangan ekonomi di negara-negara kawasan Asia Pasifik yang notabene juga tergabung dalam forum ekonomi APEC.
Jika Indonesia bisa diikutsertakan dalam Program of Development of Siberia and Far East, maka beberapa kerjasama pembangunan infrastruktur yang dicanangkan sebagai prioritas oleh pemerintahan Jokowi, bisa dikembangkan dalam kerjamasa Indonesia-Rusia dalam bidang rel kereta api, melalui skema Transit Jalur Kereta Api Siberia. Maupun berbagai kerjasama infrastruktur baru yang kiranya jauh lebih bermanfaat bagi Indonesia. Termasuk dalam kerangka kerjasama maritime sesuai konsepsi Poros Maritim Jokowi. Sehingga bisa dikembangkan secara lebih strategis tidak saja sebagai bagian dari pembangunan ekonomi, melainkan juga dengan memanfaatkan nilai strategis beberapa wilayah Indonesia secara geopolitik.
Maka masuk akal jika Pemerintahan Presiden Jokowi mulai mempertimbangkan kerjasama strategis dengan Rusia atas dasar pertimbangan tersebut. Jika kita petakan secara lebih rinci, Rusia setidaknya punya keunggulan di beberapa bidang antara lain:
- Militer
- Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
- Sumberdaya Manusia
- Sejarah dan Peradaban
- Sumberdaya Mineral
- Kepemimpinan, terutama di era Vladimir Putin.
Beberapa kajian tim Global Future Institute beberapa waktu lalu sudah merekomendasikan pemerintahan SBY-Budiono agar lebih jeli dalam memanfaatkan peran strategis negara-negara seperti Cina dan Rusia yang ingin meninggalkan pola konservatisme yang diperagakan oleh negara-negara maju yang tergabung dalam G-7. Khususnya Rusia, Indonesia harus memanfaatkan kemitraan strategis dengan Rusia, khususnya dalam meningkatkan kapasitas dan kapabilitas dalam bidang Ilmu Pengetahuan Teknologi, khususnya di bidang perangkat keras bidang Industri strategis, termasuk bidang militer, ruang angkasa, transportasi, pertambangan dan pertanian. Bahkan juga kerjasama peningkatan sumberdaya manusia, khususnya riset dan pendidikan.
Agus Setiawan, Research Associate Global Future Institute, dalam diskusi terbatas yang diadakan oleh Global Future Institute, mengusulkan agar Indonesia dan Rusia menjalin kerjasama dengan Rusia dalam teknologi Refinery. Baik Refinery minyak maupun refinery CPO. Sehingga pada perkembangannya Indonesia-Rusia akan semakin kuat daya tawarnya di kawasan Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara.
Bagi Indonesia sendiri, dengan kerjasama teknologi refinery dengna Rusia, akan memiliki technologi refinery sendiri, sehingga Indonesia bisa kembali menjadi negara eksportir minyak lagi seperti dulu. Persoalan krusia Indonesia saat ini mengapa Indonesia saat ini amat bergantung pada impor minyak dari 16 negara, karena teknologi refinery yang dimiliki Indonesia bukan untuk minyak Indonesia. Sehingga minyak Indonesia dibuat di Singapura dan di beberapa negara lain. Beda halnya dengan Venezuela, yang mana teknologi refinery yang diciptakan memang dimaksudkan untuk minyak mereka. (GFI)
gak nyambung gambar vladmir putin isinya isis lawan jepang
BalasHapuskerjasama indonesia dgn rusia akan memperkuat pertahanan kita..
BalasHapusAda yg nyampah Min di blok aja tuh
BalasHapusIya nih om Arif ada spamer
Hapus