Asosiasi Maskapai Penerbangan Nasional (Inaca) mengeluh soal pungutan tambahan untuk penerbangan sipil di bandara militer. Penarikan pungutan tambahan itu salah satunya terjadi di Bandara Halim Perdanakusuma (Halim).
Selama ini pengelolaan Bandara Halim khusus untuk penerbangan komersil dikelola oleh PT Angkasa Pura II (AP II), tetapi status kepemilikannya dikuasai oleh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI-AU). Beberapa maskapai berjadwal yang saat ini menumpang di lapangan udara militer (civil enclave) itu antara lain Citilink, Transnusa, dan Susi Air.
“Sekarang ini kalau kita terbang di Halim kita harus bayar duit. Sudah kita bayar ke Angkasa Pura (APII), kita bayar lagi ke Lanud Halim,” tutur Sekretaris Jenderal Inaca Tengku Burhanuddin dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (22/10).
Tengku menuturkan pemilik maskapai harus menandatangani persetujuan (agreement) dengan pengelola Pangkalan Udara (Lanud) Halim terkait pembayaran pungutan tersebut. Kendati demikian, Tengku mempertanyakan dasar hukum penarikan dan aliran uang tersebut.
“Dasar hukumnya (pungutan tambahan) kita tidak tahu bagaimana, terus uangnya kepada siapa masuknya kita tidak tahu juga,” ujarnya.
Untuk itu, dia meminta pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memperjelas ketentuan pungutan tambahan tersebut dengan menggelar pembahasan lintas kementerian dan lembaga.
Tengku mengungkapkan, saat ini sudah ada maskapai yang bernaung di Inaca tidak diperbolehkan beroperasi di Bandara Halim karena tidak bersedia menandatangani persetujuan itu.
“Ini sudah ada kawan-kawan di sana tidak dikasih izin terbang, ya, karena tadi tidak mau sign agreement,” ujarnya.
Dia menilai seharusnya pemilik maskapai hanya membayar kepada operator bandara. Apabila ada biaya tambahan, selayaknya itu dibicarakan antara operator dengan pemilik bandara.
“Kita sudah bilang ke Angkasa Pura, kan (bandara Halim) itu dibawah Angkasa Pura. Kita sudah bayar, jadi biarlah mereka (AP II ) yang berurusan,” ujarnya.
Di tempat yang sama, Ketua Penerbangan Berjadwal Inaca Bayu Sutanto memaparkan pungutan tambahan di Halim sudah berjalan kurang lebih setahun. Besaran pungutan tambahan itu sebesar Rp 200 ribu untuk setiap kali lepas landas (take-off) ataupun mendarat (landing) di Halim.
Selain itu, lanjutnya, bagi maskapai penerbangan berjadwal juga harus menyediakan kursi grastis sebanyak 20 kursi per bulan. Tidak hanya itu saja, kata Bayu, maskapai juga harus memberikan komisi penjualan tiket yang besarnya tidak disebutkan.
“Saat ini (pungutan tambahan) itu baru di Halim, tapi sudah ada beberapa wacana dari beberapa bandara enclave sipil,” kata Bayu.
Sementara itu, Direktur Angkutan Udara Kemenhub Muzaffar Ismail mengaku baru mengetahui adanya praktik tersebut setelah mendengar laporan dari Inaca.
“Kalau dari airline tidak ngomong dari mana kami tahu,” kata Muzaffar.
Selanjutnya, Muzaffar berjanji akan menindaklanjuti laporan tersebut dengan mempertemukan operator bandara, maskapai dan pengelola pangkalan udara terkait.
TNI AU Nilai Wajar Ada Pungutan Tambahan di Bandara Militer
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) membenarkan adanya pungutan tambahan bagi maskapai penerbangan sipil yang beroperasi di bandara militer Halim Perdanakusuma. Namun, TNI AU menegaskan pungutan tambahan tersebut bukan pungutan liar karena sudah disepakati bersama dengan maskapai.
Kepala Dinas Penerangan TNI-AU Marsekal Pertama Dwi Badarmanto menilai pungutan tambahan tersebut wajar ditarik mengingat kegiatan penerbangan komersial dilakukan maskapai di atas fasilitas yang diutamakan untuk kepentingan militer. Hal itu sesuai dengan kesepakatan tertulis antara maskapai dengan Induk Koperasi TNI Angkatan Udara (Inkopau) selaku otoritas Lanud Halim Perdanakusuma pada Februari 2015 lalu.
"Di mana-mana untuk take-off, landing juga bayar," ujar Dwi Darmanto kepada CNN Indonesia, Jumat (23/10).
Dwi menilai besaran pungutan Rp200 ribu untuk setiap kali lepas landas (take-off) atau mendarat (landing) tidak seberapa untuk ukuran bisnis maskapai penerbangan berjadwal. Pungutan itu pun dikelola oleh Inkopau untuk kegiatan penertiban.
"Tapi ini bukan pungutan liar, itu kesepakatan. Misalnya, setiap take-off bayar Rp100 ribu hingga Rp200 ribu, itu kan tidak seberapa. Tapi sampai bulan ini, sudah delapan atau hampir sembilan bulan, ada beberapa maskapai yang tidak melaksanakan kesepakatan itu," katanya.
Kendati demikian, sepengetahuan Dwi, TNI-AU tidak meminta jatah 20 kursi gratis dari setiap maskapai seperti yang dikemukakan Inaca.
"Tapi nanti saya lihat lagi isinya (kesepakatan) dan crosscheck ke lapangan," kata Dwi.
Tanpa menyebutkan nama, Dwi mengungkapkan ada maskapai yang tidak melaksanakan isi kesepakatan tersebut. Tak ayal, maskapai itu tidak bisa menyelenggarakan penerbangan sipil di Halim.
"Kemarin memang ada beberapa maskapai yang dilarang take-off, dan kami suruh datang ke otoritas Lanud. Ini masalah komunikasi saja dengan teman-teman di lapangan. Kami sebenarnya terbuka untuk berkomunikasi, datang saja tidak akan dipungut bayaran," tuturnya.
Sebelumnya, Asosiasi Maskapai Penerbangan Nasional (Inaca) mengeluh soal pungutan tambahan untuk penerbangan sipil di bandara militer. Penarikan pungutan tambahan itu salah satunya terjadi di Bandara Halim Perdanakusuma (Halim).
Inaca mengungkapkan, setiap maskapai diharuskan membayar sebesar Rp200 ribu untuk setiap kali take-off ataupun landing di Bandara Halim Perdanakusuma.
Selain itu, setiap maskapai juga diminta menyediakan 20 kursi grastis setiap bulan dan menyetor komisi penjualan tiket yang besarnya tidak disebutkan.
Bandara Halim Perdanakusuma merupakan bandara yang melayani penerbangan sipil dan menumpang pada lapangan udara militer (civil enclave). Saat ini, bandara itu dikelola oleh PT Angkasa Pura II (AP II). Beberapa maskapai penerbangan berjadwal yang beroperasi di Halim diantaranya Citilink, Transnusa, dan Susi Air. (CNN Indonesia)
Strategi Militer Indonesia - Menyuguhkan informasi terbaru seputar pertahanan dan keamanan Indonesia
Cari Artikel di Blog Ini
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Berita Populer
-
by:yayan@indocuisine / Kuala Lumpur, 13 May 2014 Mengintai Jendela Tetangga: LAGA RAFALE TNI AU vs RAFALE TUDM Sejatinya, hari ini adalah...
-
Kapal berteknologi tercanggih TNI AL saat ini, KRI Klewang-625, terbakar di dermaga Pangkalan TNI AL Banyuwangi, Jawa Timur. Hingga berita i...
-
Masih ingat dengan drone combatan yang tengah dirancang Indonesia? Ya siapalagi kalo bukan Drone Medium Altitude Long Endurance Black Eagle....
-
PT Pindad (Persero) telah mampu memproduksi produk militer kelas dunia. Mengadopsi teknologi dan ilmu dari Eropa dan NATO (North Atlantic T...
-
Rencana Amerika Serikat (AS) menggeser 60 persen kekuatan militernya ke kawasan Asia Pasifik hingga tahun 2020 mendatang, membawa implikasi ...
-
Sistem pertahanan Indonesia diciptakan agar menjamin tegaknya NKRI, dengan konsep Strategi Pertahanan Berlapis. SISTEM Pertahanan Indonesi...
-
Pengakuan soal ketangguhan Tentara Nasional Indonesia di hadapan militer dunia lainnya seakan tak habis-habis. Setelah kisah Kopaska AL ata...
-
Mayor Agus Harimurti Yudhoyono Brigif Linud 17 Kostrad mendapatkan penghormatan, menjadi pasukan AD pertama yang menggunakan Ba...
-
Kementerian Pertahanan saat ini menunggu kedatangan perangkat alat sadap yang dibeli dari pabrikan peralatan mata-mata kondang asal Inggris,...
-
Menurunnya visi kemaritiman bangsa Indonesia setelah era Presiden Sukarno disebabkan karena masih melekatnya visi kontinental yang terpatri ...
biasa lah jatah preman... tentara2x kayak gini mending dikirim ke papua,suruh berantem sama pemberontak.
BalasHapusalah polantas dan tentara sm aja tukang palak, jgnkan di bandara di pasar,mall,parkiran dll, banyak itu polisi,tentara,PM yg minta jatah tiap bulan, kerjanya jg apa..?,dateng, minta, pergi.
BalasHapusPraktek2 aji mumpung. Sadarlah wahai pejabat, ingatlah bahwa anda semua itu dibiayai oleh rakyat. Ingatlah sumpahmu ketika engkau dilantik menjadi garda garda di republik ini. Mengapa engkau sekarang lupa ?. Praktek praktek PUNGLi ini seakan dilegalkan dg dalih kesepakatan. Semua kesepakatan itu akan gugur bila bertentangan dengan Undang Undang, dan UU tertinggi adalah UUD1945. Wahai pejabat, apakah keputusan "kesepakatan"mu itu sudah sesuai dengan UU dan azas kepatutan ?.
BalasHapusDi indonesia ini apa lah yang tidak bayar pungutan, mulai dari yang ilegal sampai sangat ilegal sekali :-) , so sbg warga negara yg baik ya udah kita harus ngikut saja dengan sikon ini plus sabar sebagaimana leluhur kita memberi contoh :-)
BalasHapusBagaimana mau menjadi tentara ya pro kl masih mikirin pungli....sorry kl bhs saya menyinggung tp sbg kelyarga ABRI seharusnya tidak pantas suatu angkatan melakukan pungli apapun alasannya. Apalagi penerbangan komersial adalah auatu sarana dan fasilitas pembangunan nasional
BalasHapus