Menurut sejarah pertempuran udara, senjata udara ke udara jarak pendek berupa kanon dan rudal jarak pendek merupakan suatu perlengkapan standar pesawat tempur. Namun perkembangan teknologi rudal udara ke udara serta sistem radar udara canggih telah menggeser senjata utama pesawat ke rudal dengan jangkauan lebih jauh. Jadi, pertanyaan masihkah senjata udara ke udara jarak pendek kita butuhkan? Jawabannya memerlukan analisis mendalam tentang sejarah duel udara, prinsip perang udara modern, kemajuan teknologi rudal jarak jauh modern, serta prediksi yang akurat tentang bagaimana situasi pertempuran udara masa depan.
Meskipun perkembangan teknologi makin memungkinkan penembakan senjata jarak jauh diluar jarak pandang (Beyond Visual Range) serta teknologi siluman (stealth) antiradar, namun masa depan akan didominasi konflik intensitas rendah yang secara politis akan dibatasi aturan bertempur (Rules Of Engagement) yang cukup ketat. Pembatasan ini akan mengurangi keunggulan dari teknologi siluman dan rudal BVR. Sehingga akan memaksa penerbang bertempur dalam jarak dekat, di mana lawan terpaksa dibidik secara visual dan mengakibatkan senjata udara jarak pendek lebih praktis digunakan.
Dalam buku Fighter Combat Tactics and Maneuvering karya Robert L Shaw, disebutkan bahwa kemampuan air combat dibutuhkan untuk bisa mengendalikan angkasa (control of the skies) yang memungkinkan misi serangan udara strategis dan taktis, close air support, suplai udara, pengintaian udara dan misi lainnya yang sangat vital untuk keberhasilan operasi militer apapun. Hal ini sudah terbukti selama abad lalu dan kiranya akan tetap demikian di abad ke 21 ini.
Dalam PD I pesawat tempur mengandalkan senapan mesin dan kanon untuk menembak jatuh lawan. Kelincahan pesawat dan kemampuan taktik penerbang dipadukan dengan keandalan senjata menentukan keberhasilan air combat khususnya dogfight. PD II tetap mengandalkan kanon pesawat meskipun pesawat tempur dapat terbang lebih cepat dan lebih tinggi. Penerbang tetap harus memaksimalkan keunggulannya untuk bermanuver pada posisi terbaik dan menembakkan kanon dalam jarak dekat.
Perang Korea mulai mengenal pesawat tempur jet seperti F-86 Sabre dan MiG-15 yang mampu mencapai kecepatan 600 knot dan ketinggian 35 ribu kaki. Namun senjata andalan yang digunakan untuk duel udara masih mengandalkan kanon kaliber 12,7mm sesuai dengan kemampuan identifikasi pesawat lawan yang masih secara visual. Setelah era perang ini diakhir 1950-an senjata peluru kendali (rudal) mulai dikembangkan untuk mengakomodasi kebutuhan menembak lawan pada jarak lebih jauh dari jangkauan tembakan kanon, atau bahkan pada jarak diluar jarak pandang (BVR) di mana pembidikan menggunakan radar pesawat.
Kecanggihan rudal jarak dekat dan jarak sedang serta kemampuan terbang supersonik saat itu dianggap sudah meniadakan keharusan melakukan dogfight “kuno” jarak dekat, membuat para perancang pesawat mendesain pesawat tempur jenis F-4 Phantom tanpa dilengkapi kanon. Hal yang sangat fatal karena terbukti dalam Perang Vietnam tahun 1960-an terbukti teknologi rudal udara ke udara masih belum bisa diandalkan. Sekitar 50% tembakan rudal dipastikan gagal mengenai sasaran karena masalah detecting, tracking, dan fuzing. Identifikasi pesawat lawan secara positif tetap harus menggunakan mata penerbang (visual) karena akurasi identifikasi oleh pengendali radar masih kurang baik.
Keharusan untuk secara positif mengenali pesawat sasaran sebagai pesawat lawan (agar tidak salah tembak) mengakibatkan seringkali penerbang masuk ke situasi jarak pesawatnya dan pesawat lawan cukup dekat sehingga rudal tidak efektif lagi digunakan. Penerbang F-4 mampu bermanuver ke posisi menguntungkan untuk menembak. Namun yang sering terjadi adalah mereka terpaksa harus meninggalkan duel udara dan segera kembali ke daerah aman karena pesawatnya tidak memiliki kanon seperti pesawat tempur lawan, MiG-21. Situasi ini memaksa semua pesawat F-4 akhirnya dilengkapi gunpod di bawah perut pesawat sebagai substitusi dari rudal jarak dekat AIM-9 Sidewinder dan rudal jarak sedang AIM-7 Sparrow yang menjadi senjata standarnya.
Pelajaran berharga tentang betapa berharganya kanon akibat keterbatasan dari rudal canggih ini, membuat desain pesawat generasi ketiga dan keempat yang dirancang era 1970-an seperti F-15 Eagle dan F-16 Fighting Falcon tetap dilengkapi kanon multibarel sebagai jaminan agar pesawat bisa survive dalam sebuah dogfight.Hal ini terbukti dalam perang Yom Kippur tahun 1973 antara Arab-Israel. Sekitar 70% kemenangan dalam air combat hasil dari penggunaan kanon. Dalam perang ini Israel masih mengandalkan pesawat F-4 Phantom dan Mirage IIIC yang juga rentan terhadap tembakan kanon dan rudal antipesawat milik negara Arab.
Kemajuan teknologi menentukan lain, terbukti hasil pertempuran mulai berubah pada konflik berikutnya saat Israel sudah dilengkapi pesawat generasi keempat yaitu F-15 dan F-16. Serangkaian duel udara melawan pesawat AU Suriah di atas Lembah Bekaa tahun 1982 menghasilkan fakta bahwa 93% kills dihasilkan oleh rudal udara ke udara. Meskipun demikian kebanyakan masih ditembakkan pada jarak pandang mata namun pada jarak jauh di atas jarak tembak kanon.
Pada Perang Teluk 1991, saat pasukan Koalisi mengadakan kampanye militer mengusir Irak dari Kuwait, penggunaan pesawat mengalami revolusi besar-besaran. Air Power digunakan untuk menghancurkan kemampuan militer Irak untuk bertempur dengan pemboman presisi dan pengendalian ruang udara di atas Irak. Teknologi stealth, peralatan GPS dan bom presisi serta rudal jelajah digunakan secara luas. Hal ini terbukti sukses untuk meminimalkan penggunaan pasukan darat untuk meraih tujuan operasi mengusir Irak dari Kuwait. Duel udara jarak dekat tidak terjadi dan untuk pertama kalinya rudal jarak sedang atau BVR digunakan sepenuhnya dalam kampanye militer yang terkenal dengan nama operasi Badai Gurun (Desert Storm). Untuk pertama kalinya sejak manusia mengenal perang udara tak ada satupun senjata kanon digunakan dalam air combat.
Desain pesawat generasi ke lima yang dirancang akhir 80’an menghasilkan pesawat super sejenis F-22, baik kemampuan super maneuverability (kelincahan), supersonik jarak jauh, siluman (stealth), radar super (radar phased array), komunikasi super, dan senjata super. Namun pesawat tetap dilengkapi kanon karena tidak ada jaminan semua keunggulan ini akan berhasil menghindarkan pesawat dari keharusan untuk duel udara jarak pendek.
Semua penerbang pesawat F-22 dan F-35 serta pesawat generasi ke lima lainnya saat ini tetap harus berlatih menggunakan senjata jarak pendek dalam simulasi pertempuran udara jarak pendek atau dogfight. Pada akhirnya prinsip pertempuran udara moder, aturan bertempur (rules of engagement) dan jenis missi tetap mengarahkan bahwa kanon dan rudal jarak pendek teta[ menjadi bagian tak terpisahkan dari senjata pesawat tempur abad ke-21. (Agung “Sharky” Sasongkojati)
Sumber : Angkasa
Strategi Militer Indonesia - Menyuguhkan informasi terbaru seputar pertahanan dan keamanan Indonesia
Cari Artikel di Blog Ini
Kamis, 10 Januari 2013
Masih Perlukan Kanon Dan Rudal Jarak Pendek
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Berita Populer
-
by:yayan@indocuisine / Kuala Lumpur, 13 May 2014 Mengintai Jendela Tetangga: LAGA RAFALE TNI AU vs RAFALE TUDM Sejatinya, hari ini adalah...
-
Kapal berteknologi tercanggih TNI AL saat ini, KRI Klewang-625, terbakar di dermaga Pangkalan TNI AL Banyuwangi, Jawa Timur. Hingga berita i...
-
Masih ingat dengan drone combatan yang tengah dirancang Indonesia? Ya siapalagi kalo bukan Drone Medium Altitude Long Endurance Black Eagle....
-
Sistem pertahanan Indonesia diciptakan agar menjamin tegaknya NKRI, dengan konsep Strategi Pertahanan Berlapis. SISTEM Pertahanan Indonesi...
-
Perusahaan tekstil dan garmen, PT Sri Rejeki Isman (Sritex) di Sukoharjo, Jawa Tengah sudah tersohor di seluruh dunia karena kualitas kain d...
-
Pengakuan soal ketangguhan Tentara Nasional Indonesia di hadapan militer dunia lainnya seakan tak habis-habis. Setelah kisah Kopaska AL ata...
-
Kementerian Pertahanan saat ini menunggu kedatangan perangkat alat sadap yang dibeli dari pabrikan peralatan mata-mata kondang asal Inggris,...
-
Menurunnya visi kemaritiman bangsa Indonesia setelah era Presiden Sukarno disebabkan karena masih melekatnya visi kontinental yang terpatri ...
-
PT Pindad (Persero) telah mampu memproduksi produk militer kelas dunia. Mengadopsi teknologi dan ilmu dari Eropa dan NATO (North Atlantic T...
-
Rencana Amerika Serikat (AS) menggeser 60 persen kekuatan militernya ke kawasan Asia Pasifik hingga tahun 2020 mendatang, membawa implikasi ...
Keren banget blognya....Isinya juga bagus banget...saya minta izin untuk mengambil beberapa artikel disini untuk bahan bacaan saya dan juga untuk saya share di blog. terimakasih
BalasHapusSilahkan Mas disalin dan dishare kembali... terimakasih telah bekunjung ke blog ini.... salam...
HapusKe depan, kanon dan rudal jarak pendek menjadi satu jenis senjata jarak pendek untuk pesawat, mungkin dengan menggunakan kanon berteknologi gelombang magnetik maupun juga impuls laser...
BalasHapus