Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi akhirnya mengutus Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan, menemui pemerintah Provinsi Aceh, Selasa 2 April 2013. Ia diminta menyampaikan masukan dan koreksi dari pemerintah Republik Indonesia terkait Qanun (peraturan daerah Aceh) yang menetapkan bendera dan lambang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai bendera Aceh.
Pemerintah RI melalui Kementerian Dalam Negeri memberikan beberapa catatan atas pengesahan Qanun Nomor 3 Tahun 2013 tentang Lambang dan Bendera Aceh, Jumat 25 Maret 2013, oleh Gubernur dan DPR Aceh. Jakarta menganggap penggunaan bendera dan lambang GAM dalam bendera Aceh menyalahi Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah.
“Pasal 6 ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 menyatakan desain logo dan bendera daerah tidak boleh sama dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau gerakan separatis. Kebetulan lambang yang dipilih Aceh ini mirip lambang GAM,” kata Gamawan di kantor Presiden, Jakarta. Lambang GAM itu bergambar singa buraq, sedangkan benderanya bergambar bulan bintang dengan warna dasar merah menyala – persis bendera Aceh yang disahkan pekan lalu.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun menginstruksikan Pemda Aceh untuk mengoreksi bendera dan lambangnya sesuai peraturan berlaku. “Presiden beratensi besar terkait masalah ini. Beliau menginstruksikan Kemendagri untuk berkomunikasi dengan baik. Mudah-mudahan Pemda Aceh dapat menyesuaikan diri dengan hasil evaluasi dari Kemendagri,” ujar Gamawan.
Kemendagri meminta pemerintah Aceh merevisi 12 poin dalam Qanun tentang Lambang dan Bendera Aceh, antara lain tentang desain bendera, ukuran bendera, penggunaan dan penempatan bendera, serta sejumlah landasan pembuatan atau konsideran Qanun. “Pemerintah pusat memberikan waktu 15 hari bagi pemerintah dan DPR Aceh untuk mempelajari hasil klarifikasi Mendagri yang kemudian diikuti dengan perubahan Qanun Nomor 3 itu,” Dirjen Otda Kemendagri, Djohermansyah Djohan.
Minus persoalan bendera dan lambang dalam Qanun Nomor 3 Tahun 2013, Kemendagri menilai isi materi qanun itu sesungguhnya telah sesuai isi kesepakatan Helsinki. Oleh sebab itu Kemendagri menyesalkan kemunculan bendera dan lambang GAM dalam qanun itu. “Lambang itu bertentangan dengan semangat MoU (Memorandum of Understanding) Helsinki,” kata Djohermansyah.
Nota kesepahaman Helsinki adalah perjanjian damai antara pemerintah RI dengan GAM yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005. Perundingan damai ini merupakan inisiatif Wakil Presiden Jusuf Kalla yang saat itu menjabat, dan dimediasi oleh Presiden Finlandia Martti Ahtisaari yang memimpin lembaga Crisis Management Initiative – organisasi nirlaba Finlandia yang bekerja untuk mengatasi konflik dan membangun perdamaian yang berkesinambungan.
Kesepakatan Helsinki Bagian I tentang Penyelenggaraan Pemerintah di Aceh sesungguhnya berbunyi “Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah, termasuk bendera, lambang, dan himne.” Namun menurut Djohermansyah, tata cara penyusunan qanun harus sesuai dengan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Maka untuk sementara ini selama DPR dan Pemerintah Aceh mempelajari klarifikasi Mendagri, rakyat Aceh diminta untuk tidak mengibarkan bendera GAM. Gubernur Aceh Zaini Abdullah mengatakan pihaknya tak perlu waktu lama untuk mempelajari klarifikasi Mendagri. “Saya kita tak perlu sampai 15 hari untuk mempelajarinya. Mungkin sudah selesai tanggal 4 April ini saat Mendagri Gamawan Fauzi berkunjung ke Aceh,” kata dia.
Zaini meminta semua pihak bersabar menunggu proses penyelesaian soal qanun itu. “Terlalu dini untuk berkomentar. Kami duduk hari ini untuk mencari solusi terbaik, bukan untuk gontok-gontokan,” ujarnya. Mantan Menteri Kesehatan GAM itu mengatakan, yang terpenting adalah keberlanjutan perdamaian Aceh.
Djohermansyah mengatakan, penggunaan lambang dan bendera GAM sebagai lambang dan bendera resmi Aceh tidak mewakili seluruh golongan dan suku di Aceh sehingga berpotensi menimbulkan perpecahan di wilayah Aceh sendiri.
Penolakan Aceh Barat
Ucapan Djohermansyah Djohan itu tercermin pada realitas di Aceh Barat. Sejak Senin, 1 April 2013, lebih dari 1.000 bendera Merah Putih berkibar di berbagai titik kabupaten itu sebagai bentuk penolakan warga terhadap pengesahan bendera GAM menjadi bendera Nanggroe Aceh Darussalam.
Ratusan bendera Merah Putih misalnya tampak berkibar-kibar di sepanjang jalan nasional Banda Aceh-Meulaboh. Berbagai sudut kota Meulaboh pun dipasangi sang Dwiwarna oleh kelompok yang menyebut diri mereka Pembela Tanah Air (PETA).
“Kami menolak pengesahan bendera GAM karena itu hanya untuk kepentingan kelompok, bukan untuk kepentingan rakyat Aceh. Seribu lebih bendera Merah Putih kami pasang karena kami tidak nyaman dengan pengesahan bendera GAM itu,” kata salah seorang anggota PETA, Teuku Raja Abdullah.
PETA juga mengancam akan membakar bendera GAM jika ada yang berani mengibarkannya di kawasan Aceh Barat dan pantai barat Aceh. Selain memasang bendera Merah Putih di berbagai lokasi, PETA juga mengimbau warga untuk memasang bendera Merah Putih di rumah-rumah mereka. PETA bersikukuh pengesahan bendera GAM menjadi bendera Aceh tidak ada manfaatnya untuk rakyat Aceh.
Alasan Pemerintah Aceh
DPR dan pemerintah Aceh sendiri menyatakan, rakyat Aceh sendirilah yang memilih bendera dan lambang GAM sebagai bendera mereka. “Semua sesuai dengan aturan dan amanah dari Undang-Undang Pemerintah Aceh dan MoU Helsinki,” kata Ketua Badan Legislasi DPR Aceh, Abdullah Saleh.
Ketua DPR Aceh, Hasbi Abdullah, mengatakan Aceh memilih bendera bulan bintang dan lambang singa buraq yang identik dengan GAM, karena keduanya merupakan peninggalan Wali Nanggroe Teungku Hasan Muhammad di Tiro – yang juga pendiri GAM. “Kami tidak ditinggalkan harta, yang ada hanya dua pusaka tersebut,” kata Hasbi.
Apabila bendera dan lambang itu bertentangan dengan Peraturan Pemerintah, maka Hasbi berpendapat PP itu dapat disesuaikan demi kebaikan rakyat Aceh. “UUD ’45 saja bisa diamandemen, maka PP kan bisa juga diubah sedikit untuk menampung kehendak masyarakat Aceh,” ujarnya.
Sementara itu Kepala Biro Hukum Sekretariat Daerah Pemerintah Aceh, Edrian, meminta pemerintah RI tidak khawatir dengan pengesahan bendera GAM sebagai bendera Aceh. “Dengan penandatanganan MoU Helsinki, maka segala atribut yang melekat pada Gerakan Aceh Merdeka menjadi milik Negara Kesatuan Republik Indonesia,” kata dia.
“Bulan Bintang dan Singa Buraq adalah bendera dan lambang daerah Aceh, bukan bendera dan lambang kedaulatan Aceh. Otomatis ini jadi milik NKRI dan bukan ancaman terhadap keutuhan dan kedaulatan NKRI. Orang-orang GAM saja sudah jadi kepala daerah dan anggota legislatif, lantas kenapa atribut saja dipermasalahkan? Pemerintah pusat harus memahami ini sebagai bagian dari penguatan kesatuan bernegara” ujar Edrian.
Ia mengatakan, DPR dan Pemerintah Aceh tidak melanggar ketentuan yuridis apapun dalam menyusun dan mengesahkan Qanun Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh. “Semua telah melalui proses legislasi yang berlaku,” kata Edrian.
Dukungan terhadap pengesahan bendera GAM sebagai bendera Aceh terutama datang dari pendukung Partai Aceh – partai politik lokal di Aceh yang dahulu bernama Partai Gerakan Aceh Merdeka. Partai ini meraih suara mayoritas di provinsi Aceh pada Pemilu 2009.
Ribuan simpatisan Partai Aceh dari wilayah pesisir timur Aceh misalnya berkumpul di sekitar Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, dengan membawa bendera GAM. Sambil mengibar-ngibarkan bendera Aceh yang identik dengan bendera GAM itu, mereka berkonvoi di pusat Banda Aceh melewati Jalan Tengku Daud Beureuh, Jalan Teuku Nyak Arif, Simpang Surabaya, dan kembali lagi ke Masjid Baiturrahman.
Usai berkonvoi, massa membentangkan bendera Aceh berukuran raksasa di depan kantor DPR Aceh. “Kami mendukung pemerintah dan DPR Aceh yang telah menjadikan bendera ini sebagai bendera Aceh,” kata koordinator massa, Hendra Fauzi, Senin 1 April 2013. (Viva)
Strategi Militer Indonesia - Menyuguhkan informasi terbaru seputar pertahanan dan keamanan Indonesia
Cari Artikel di Blog Ini
Kamis, 04 April 2013
Kontroversi di Balik Pengibaran Bendera Aceh
Label:
Kedaulatan Bangsa,
Konflik,
Nasionalisme,
Patriotisme
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Berita Populer
-
Di Era tahun 60an TNI AU/AURI saat itu pernah memiliki kekuatan udara yang membuat banyak negara menjadi ‘ketar ketir’, khususnya negara-ne...
-
Rusia mengharapkan Indonesia kembali melirik pesawat tempur sukhoi Su-35, pernyataan ini diungkapkan Wakil Direktur "Rosoboronexport...
-
by:yayan@indocuisine / Kuala Lumpur, 13 May 2014 Mengintai Jendela Tetangga: LAGA RAFALE TNI AU vs RAFALE TUDM Sejatinya, hari ini adalah...
-
Sejak ditemukan oleh Sir Robert Watson Wat (the Father of Radar) pada tahun 1932 sampai saat ini, radar telah mengalami perkembangan yang sa...
-
Kiprah TNI Dalam Memelihara Perdamaian Dunia : Roadmap Menuju Peacekeeper Kelas Dunia "The United Nations was founded by men and ...
-
Tentara Nasional Indonesia (TNI) berencana menambah armada kapal selam untuk mendukung pertahanan laut. Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL), L...
-
Kalau dipikir-pikir, ada yang ganjil dengan armada bawah laut Indonesia. Saat ini TNI AL hanya memiliki dua kapal selam gaek namun harus m...
-
Rencana Amerika Serikat (AS) menggeser 60 persen kekuatan militernya ke kawasan Asia Pasifik hingga tahun 2020 mendatang, membawa implikasi ...
-
Oleh : Brigjen TNI Bambang Hartawan, M.Sc Berangkat dari sejarah, ide sering berperan sebagai kekuatan pendorong di belakang suatu tra...
-
(Disampaikan dalam Roundtable Discussion yang diselenggarakan oleh Global Future Institute, bertema: Indonesia, Rusia dan G-20, Kamis 25 Apr...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar