Beberapa negara sudah memulai proyek penelitian untuk memungkinkan umat manusia menghuni planet tersebut. Selasa sore kemarin, India sudah meluncurkan roket yang membawa pengorbit pertama mereka ke Mars.
Lalu kapan Indonesia? Pertanyaan itu begitu menantang dan membayangkan saja tidak tega. Tapi pertengahan Oktober lalu, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) sudah mulai melangkah ke arah sana.
Setidaknya, diskusi ke arah itu sudah mulai digalakkan dalam momen penyelenggaraan Festival Sains Antariksa (FSA) di Pusat Sains Antariksa Lapan, Bandung, Sabtu (19/10).
Kegiatan ini merupakan wujud partisipasi Lapan dalam World Space Week 2013 dan rangkaian menyambut HUT Lapan ke-50 pada 27 November 2013. FSA yang diikuti 152 siswa sekolah dasar hingga sekolah menengah atas tersebut bertema Exploring Mars, Discovering Earth.
"Sesuai dengan tema, dengan mengeksplorasi Mars, kita juga mempelajari Bumi kita sendiri. Belajar cara menciptakan lingkungan hidup yang kita inginkan, dan cara manusia bisa mengelola sumber daya yang ada," kata Kepala Pusat Sains Antariksa Lapan Clara Yono Yatini dalam sambutannya dilansir dari laman Lapan,lapan.go.id.
Guru pendamping peserta FSA 2013 mengikuti sesi tanya jawab setelah presentasi Pengaruh Lingkungan Ruang Angkasa terhadap Pertumbuhan Tanaman serta misi Space Seeds for Asian Future (SSAF) pada acara FSA 2013 di Auditorium Lapan Bandung.
Perlukah Bangsa Indonesia ke Mars?
NKRI dibangun untuk berdiri selamanya. Jadi kesempatan untuk mengeksplorasi berbagai kemungkinan di masa mendatang juga merupakan milik bangsa ini. Setidaknya Indonesia dari sekarang harus bersiap, jikalau suatu saat bumi yang dihuni umat manusia mengalami gangguan kosmologis. Ada banyak tujuan lain mengeksplorasi Planet Mars.
"Berjaga-jaga terhadap tumbukan Bumi dengan asteroid di kemudian hari, mengurangi kepadatan penduduk di Bumi, serta mengembangkan berbagai bentuk teknologi baru," ujar Gunawan Edmiranto Peneliti Bidang Matahari dan Antariksa LAPAN dalam presentasinya.
Di FSA ini juga ditampilkan presentasi misi Space Seeds for Asian Future (SSAF) oleh tim SSAF Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung (SITH ITB). Mereka memberikan gambaran tentang biji yang dibawa dan ditumbuhkembangkan di ruang angkasa.
"Kesimpulan yang didapat dari eksperimen tersebut yaitu biji ruang angkasa mengalami kerusakan kulit biji dan aberasi kromosom," ujar Chunaeni Latief dari SITH ITB. Ia menambahkan, meskipun ada perbedaan pada pertumbuhan dan produktivitasnya, penelitian lebih lanjut masih perlu dilakukan. (ROL)
Strategi Militer Indonesia - Menyuguhkan informasi terbaru seputar pertahanan dan keamanan Indonesia
Cari Artikel di Blog Ini
Rabu, 06 November 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Berita Populer
-
Di Era tahun 60an TNI AU/AURI saat itu pernah memiliki kekuatan udara yang membuat banyak negara menjadi ‘ketar ketir’, khususnya negara-ne...
-
Rusia mengharapkan Indonesia kembali melirik pesawat tempur sukhoi Su-35, pernyataan ini diungkapkan Wakil Direktur "Rosoboronexport...
-
by:yayan@indocuisine / Kuala Lumpur, 13 May 2014 Mengintai Jendela Tetangga: LAGA RAFALE TNI AU vs RAFALE TUDM Sejatinya, hari ini adalah...
-
Sejak ditemukan oleh Sir Robert Watson Wat (the Father of Radar) pada tahun 1932 sampai saat ini, radar telah mengalami perkembangan yang sa...
-
Kiprah TNI Dalam Memelihara Perdamaian Dunia : Roadmap Menuju Peacekeeper Kelas Dunia "The United Nations was founded by men and ...
-
Tentara Nasional Indonesia (TNI) berencana menambah armada kapal selam untuk mendukung pertahanan laut. Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL), L...
-
Kalau dipikir-pikir, ada yang ganjil dengan armada bawah laut Indonesia. Saat ini TNI AL hanya memiliki dua kapal selam gaek namun harus m...
-
Rencana Amerika Serikat (AS) menggeser 60 persen kekuatan militernya ke kawasan Asia Pasifik hingga tahun 2020 mendatang, membawa implikasi ...
-
Oleh : Brigjen TNI Bambang Hartawan, M.Sc Berangkat dari sejarah, ide sering berperan sebagai kekuatan pendorong di belakang suatu tra...
-
Ribuan senjata serbu SS2 V5C pesanan Kopassus sedang diproduksi oleh PT Pindad. Untuk tahap awal, Kopassus akan mendapatkan 1000 pucuk SS2...
monggo... dilanjut jiwa petualang dan penjelajah bangsa indonesia, semoga anak cucu kita punya kapling di mars...
BalasHapuswah,, apa ga terlalu tinggi mimpi nya,, buat roket 300km sampai skrg blm mampu,,, trus ke bulan aja blm pernah,, eh langsung ke mars. yg jarak nya lebih jauh lg.. klo bisa mimpi ke bulan dulu.. itu jg dah tinggi bgt,, takutnya malah ga nyampe2,
BalasHapusPertama kita luncurin sendiri dulu satelit lokal, klo bisa jangan satelit mikro, satelit beneran yang besar lah. Kedua luncurin sendiri astronot buat space walk and ber narsis ria di angkasa trus pulang. Ketiga baru kirim satelit surveyor ke bulan, mars, bahkan mungkin ke pandora.
Hapusjika benda bergerak diruang hampa udara -selama dia punya kecepatan tertentu ( katakan Vt, yg bisa di buat dengan dorongan roket at jet) dia tak akan berhenti sampai dia diganggu oleh gaya lain-misal gravitasi planet ato pun tumbukan.
BalasHapusjadi jika dia diberi dorongan tenaga buatan yg cukup untuk keluar dari gravitasi bumi, shg dia punya kecepatan awal serta sudut yg akurat, mau ke bulan at ke mars tinggal meluncur aja, dgn waktu sebanding dgn jarak, sampai dia disambut medan gravitasi bulan at mars.
seperti meteor melanglang angkasa tanpa bahan bakar, bedanya meteor sudutnya tak ditentukan dan kecepatan awalnya tercapai karena ledakan alamiyah.
Tinggal meluncur saja? Setiap satelit yg dikirim ke mars selalu diperbaiki trayeknya oleh stasiun bumi dengan jet pendorong yg terdapat pada satelit tsb, karena trayek satelit pasti melenceng. Tanpa sistem komputer canggih dan jet pendorong, satelit bisa overshoot gravitasi mars kalau terlalu cepat, makanya akan dikoreksi oleh komputer dengan jet pendorong. Skenario terburuk akan jatuh ke atmosfir mars, pernah dengar kasus satelit Mars Climate Orbiter NASA? Memang benar kecepatan satelit dapat konstan saat meluncur ke planet tujuan, tapi banyak parameter lain yg harus dipertimbangkan.
Hapuswah... thank you bro...
Hapus