Padahal wilayah tersebut merupakan wilayah strategis. Sebab saat konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia, wilayah perbatasan di Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, menjadi garda depan perjuangan rakyat dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Berbulan-bulan, warga setempat menjadi relawan dengan hidup di hutan perbatasan untuk menjaga kedaulatan NKRI.
Tetapi sejak rekan saya bilang ‘malaikat’ belum mengunjungi perbatasan, alih-alih berbicara soal kedaulatan NKRI dan kepahlawanan, saya kemudian menjadi seorang apatis. Apalagi, banyak cerita miring soal perbatasan yang tidak semua orang tahu.
Yah, posisi perbatasan yang langsung dekat dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia ini, kini menjadi wilayah yang terisolasi. Pendidikan, infrastruktur, pelayanan kesehatan dan kebutuhan dasar lain, sangat jauh dari yang dibayangkan.
Wajar, jika kemudian mereka mengais rejeki dari negara tetangga. Bahkan tidak sedikit dari mereka justru memilih menjadi warga negara Malaysia ketimbang Indonesia.
Pasalnya, di Indonesia, biaya sekolah dan kesehatan mahal. Sebaliknya, di negara sebelah mereka bisa mendapatkan biaya sekolah gratis. Untuk biaya kesehatan tentu lebih murah, cepat dan pelayanannya memuaskan. Tak hanya itu pelayanan kesehatan juga memadai, bahkan untuk operasi, pasien hanya dikenakan Satu Ringgit Malaysia atau sekitar Rp 3.000. Murah kan!
Bicara soal perbatasan, saya banyak mendengar cerita dari Jamli, bahwa orang-orang bebas melakukan apa saja. Cerita miring yang saya dengar, wilayah perbatasan Jagoi Babang kerap dijadikan perdagangan ilegal antara Malaysia dan orang-orang pribumi. Salah satunya impor gula.
Impor gula ilegal Malaysia ini menjadi mata pencaharian bagi sekelompok orang pribumi (suku Dayak). Dari sini mereka mendapat keuntungan berlipat. Namun demikian, sejak pemerintah provinsi menetapkan aturan baru, impor gula tiba-tiba distop. Peredaran gula ilegal di perbatasan langsung berhenti. Malaysia tidak lagi memasok barang.
Sekelompok orang pribumi langsung menimpakan kekesalannya terhadap wartawan. Rekan saya Jamli Panago pada Sabtu (2/11/2013) menelpon kalau dia baru saja dianiaya 20 orang. Sepele masalahnya. Dia cerita aksi pengeroyokan itu disebabkan perdagangan ilegal gula distop.
Beruntung rekan saya masih selamat meski harus kehilangan satu gigi depan dan lebam di sekujur tubuh.
Adanya kekerasan yang menimpa wartawan, membuktikan betapa dahsyat dan bebasnya peredaran barang ilegal di wilayah perbatasan. Jamli cerita ke saya, aparatur negara selama ini tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyetop laju perdagangan ilegal di perbatasan.
Dimana peran TNI dan polisi?
Tidak ada. Keluar masuknya barang-barang terlarang di perbatasan bukan bagian dari tugas TNI dan polisi, demikian sindir rekan saya.
Dia juga menceritakan, sewaktu dikeroyok, saat itu ada 9 anggota TNI yang melihat. Tetapi, mereka tidak bisa berkutik. Kan tugasnya hanya menjaga perbatasan bukan melerai pengeroyokan.
Cerita TNI penjaga perbatasan, kalau benar demikian, tentu ironis sekali. Lalu apa yang mereka lakukan di perbatasan? Mengapa barang-barang terlarang tersebut bisa keluar masuk perbatasan tanpa pengawasan?
Jangankan perdagangan ilegal dalam bentuk barang, pedagangan hantu, setan dan jin saja ada. Diakui rekan saya, perdagangan bebas di wilayah perbatasan tidak terkendali. Di sana bahan peledak dengan mudahnya masuk wilayah NKRI. Perdagangan manusia apalagi. Narkoba, seperti angin yang bebas keluar masuk.
Selama bertugas di perbatasan, tidak banyak yang diperbuat TNI dan polisi. Polisi yang menjadi pelindung masyarakat, selama di perbatasan tidak bisa bertugas maksimal. Setiap ada peristiwa, polisi selalu lambat menangani. Polisi juga, katanya, tidak bisa sembarangan masuk wilayah perbatasan. Demikian juga TNI. Mereka hanya ditugaskan menjadi tentara penjaga perbatasan, bukan mengurusi urusan sipil. Wajar jika mereka tidak mau ambil pusing saat wartawan kami dipukuli.
Saya jadi teringat cerita saudara saya TNI yang ditugaskan di Poso. Di sana dia dan rekan-rekannya pernah mengamankan satu kapal yang dianggap mencurigakan. Tetapi kemudian mereka mendapatkan tembakan dari warga. Beberapa anggota langsung berlindung mengamankan diri. Begitu juga saudara saya. Mereka tidak melakukan kontak senjata. Sebab, katanya, urusannya bisa merabe.
Membalas tembakan dengan tembakan tidak masuk dalam agenda mereka. Memang, komando pimpinan sebelumnya memerintahkan agar jangan menembak dulu sebelum ditembak. Melihat kondisi saat itu, sebenarnya mereka bisa membalas dengan tembakan. Tetapi hal itu tidak dilakukan. Apa katanya? Percuma. Kalau pun dibalas dan jatuh korban, TNI lagi yang disalahkan. Padahal mereka jelas-jelas ditembak duluan. Sebaliknya, kalau sudah jatuh korban di pihak sipil, seperti biasa pucuk pimpinan selalu lepas tangan.
Hampir seluruh personel TNI yang ditugaskan di daerah konflik seperti Aceh, Ambon, dan Timor Timur (Sekarang Timor Leste)–dari yang saya dengar–selalu diakhiri dengan cerita-cerita ironis.
Karena itu saya maklum jika TNI perbatasan Jagoi Babang tidak bertugas maksimal. Di satu sisi, mereka selalu miss komunikasi dengan komando pimpinan, di sisi lain mereka kerap jadi bulan-bulanan masyarakat ketika mengambil keputusan yang salah.
Cuma yang disayangkan, pemerintah sendiri belum punya solusi mengatasi masalah di perbatasan. Mereka yang berada di pusat selama ini hanya gembar-gembor ingin mengentaskan wilayah atau daerah tertinggal. Janji tinggal janji. Terbukti, dana pendidikan dan kesehatan yang diperuntukan bagi daerah tertinggal tidak pernah sampai.
Wajar, jika kemudian orang-orang di daerah terpencil seperti perbatasan membuat aturan main sendiri. Mereka ingin mandiri tanpa bantuan dari pemerintah. Mereka ingin mengembangkan daerahnya sendiri dengan caranya sendiri. Dan, mereka tidak peduli apakah yang dilakukan melanggar hukum atau tidak.
Perlu diketahui, di wilayah perbatasan, masalah melanggar hukum sudah jadi hal yang lumrah. Jangankan pedagangan ilegal, membunuh orang saja begitu mudah. Usai membunuh, mereka tinggal masuk negara Malaysia. Kalau sudah begitu polisi tak bisa berbuat apa-apa. Jangankan mengekstradisi, menyebrang wilayah perbatasan saja susah apalagi menangkap pelaku.
Kalau dilihat dari sisi perbatasan negara, sebenarnya perbatasan ini masih mempunyai 10 permasalahan atau OBP (Outstanding Boundary Problem), yakni lima di kalbar dan 5 kaltim. Sementara dari 5 yang ada di Kalbar, empat diantaranya terdapat di Kabupaten Bengkayang. Yakni masalah di Titik D.400, Batu Aum, Gunung Raya, dan Gunung Jagoi (Sungai Boan). Dihadapkan dengan dinamika perkembangan daerah, sebenarnya wilayah ini memerlukan perhatian khusus dan selayaknya mendapatkan prioritas pembangunan. Tapi kenyataan di lapangan tidak demikian. (Siaga)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar