UAV Alap-Alap dalam sebuah pengujian oleh BPPT (photo : BPPT) |
Teknologi pesawat intai tanpa awak alias unmanned aerial
vehicle (UAV), buatan Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi (BPPT)
tidak bisa dideteksi radar pesawat. Kepala Program Pesawat Udara Nir
Awak (PUNA) BPPT Joko Puwono, mengatakan prototipe pesawat terbang
produksinya dijamin tidak terdeteksi radar musuh.
Pasalnya seluruh bahan pesawat terbuat dari komposit murni tidak mengandung unsur metal. Meski begitu, pihaknya menyatakan pesawat intai Wulung, Gagak, Pelatuk, Alap-alap, hingga Sriti, tetap butuh pengembangan dan inovasi untuk menyiasati semakin canggihnya pendeteksian teknologi radar lawan. "Pesawat kami dijamin tidak terdeteksi radar, tapi kalau memuai sedikit karena panas mesin bisa jadi terdeteksi radar. Masih butuh pengembangan," beber Joko kepada Republika, Sabtu (4/2).
Pasalnya seluruh bahan pesawat terbuat dari komposit murni tidak mengandung unsur metal. Meski begitu, pihaknya menyatakan pesawat intai Wulung, Gagak, Pelatuk, Alap-alap, hingga Sriti, tetap butuh pengembangan dan inovasi untuk menyiasati semakin canggihnya pendeteksian teknologi radar lawan. "Pesawat kami dijamin tidak terdeteksi radar, tapi kalau memuai sedikit karena panas mesin bisa jadi terdeteksi radar. Masih butuh pengembangan," beber Joko kepada Republika, Sabtu (4/2).
Karena pengembangan pesawat intai butuh modal, pihaknya menyarankan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) agar tidak perlu jauh-jauh membeli produk Israel Aerospace Industries (IAI). Selain bisa memperkuat industri pertahanan dalam negeri, lanjut Joko, anggaran pembelian pesawat dapat digunakan untuk inovasi dan pengembangan pesawat intai karya BPPT.
Berdasarkan catatan Republika, harga pesawat intai IAI dengan teknologi terbaru rata-rata 6 juta dolar AS atau Rp 54 miliar. Adapun PUNA BPPT hanya menghabiskan anggaran Rp 1,3 miliar per unit. Memang diakuinya produk Israel lebih canggih, namun kalau pesawat intai BPPT semakin sering diutak-atik maka butuh beberapa tahun untuk mengejar ketertinggalan teknologi. Ini lantaran sumber daya manusia (SDM) BPPT hanya kurang mendapat kesempatan dan pembelajaran sebab Kemenhan maupun user lain tidak pernah mengajak pihaknya untuk mengembangkan pesawat intai terbaru. "Pesawat kami ada yang jenis patroli keamanan di lautan hingga untuk membuat hujan buatan, tinggal dimodernisasi saja," papar Joko.
Sumber : http://garudamiliter.blogspot.com/
yang patut dipertanyakan mengapa Departemen Pertahanan cenderung membeli dari Israel. Apakah karena kurang sosialisasi dari BPPT / kurang koordinasi antar instansi dan lain sebagainya. Sebaiknya semua instansi terkait bisa bersinergi dengan menggunakan produk dalam negeri yang tidak kalah canggin ini sesuai kebutuhannya, di samping menghemat anggaran namun juga untuk pengembangannya ke depan...
BalasHapusMungkin banyak alasan yang melatar belakangi keputusan tersebut, salahsatunya teknologi yang lebih canggih.
HapusYa semoga saja, apaun keputusan Dephan semoga bermanfaat sebesar2nya bagi pertahanan dan kemamanan RI
tapi ngomong2 UAV ini masih type mesin dg bahan bakar fosil ya mas? kabarnya mesin 2 tak & berisik. Apa ada perbandingan spesifikasi UAV Israel atau Predator Amerika atau UAV negara lain yang tercanggih...? untuk nambah pengetahuan... thanks
HapusUAV hasil riset BPPT memang masih banyak memiliki kekurangan termasuk suaranya yang berisik, untuk tipe pesawat mata2 ini jelas penting sekali.
HapusJika dibandingkan dengan UAV produksi negara maju seperti AS atau Israel jelas UAV kita jelas sangat berbeda, sebagai perbandingan kemapuan terbang UAV nasional maksimal baru mampu terbang selama 5 jam sedangkan UAV Heron Israel bisa mencapai 40 jam terbang tampa mengisi bahan bakarm berikut saya berikan gambaran mengenai spek Heron Israel.
HERON I main features and capabilities :
Safe, reliable and easy operation
Simultaneously 4 sensors use capability
Satellite communication for extended range (SATCOM)
Two proven simultaneous Automatic Takeoff and Landing (ATOL) systems
Fully redundant, state-of-the-art avionics
Retractable landing gear
Payloads
Electro Optical (TV & IR Combi or Triple Sensor TV/IR/LD)
Synthetic Aperture Radar (SAR)
Maritime Patrol Radar (MPR)
COMINT & ESM capability
Customer furnished sensor suites
Communication relay package
Integrated ATC Radio
Datalinks
Direct Line-of-Sight (LOS) data link
UAV airborne data relay (ADR) for beyond LOS missions
Ground-based data relay (GDR) for beyond LOS missions
Satellite communication
Performance
Endurance: > 40 hr
Range: 350 km
Range with satellite coverage: Beyond Line of Sight
Altitude: 30,000 ft
Technical Data
Maximum take-off weight: 1,250 kg
Maximum Payload Weight: 250 Kg
Dimensions
Overall Length: 8.50 m
Wingspan: 16.60 m
Ya kita harus ikut bangga , sebenarnya masih bisa di design lagi pesawatnya, yaitu yang punya kemampuan terbang dengan minimum power atau diatas sedikit stalling speed, sehingga bisa mengurangi ke berisikannya.
BalasHapusWulung kan designnya belum sempurna, dulu kebetulan saya ikut membuatnya pertama kali . dan uji coba pertama kali dan berhasil terbang tahun 2006 di Curug.hanya untuk memenuhi beberapa kriteria saja
Waw kembangkan terus pak Arief teknologi UAV Nasionalnya, kami semua rakyat Indonesia turut bangga dan akan selalu mendoakan semoga Bapak dan tim diberikan kemudahan dalam merancang dan mengembangkan UAV Nasional. Aamiin...
HapusBang Itep, kalau ada yang pesan, kami siap mengerjakan....di jamin murah dan berhasil...
BalasHapusInsyaAlloh kalo nanti ada yg membutuhkan akan saya rekomendasikan untuk menghubungi bapak.
Hapus