Cari Artikel di Blog Ini

Selasa, 26 Agustus 2014

Indonesia Poros Maritim Dunia Menuju Ekonomi Berbasis Kelautan

Penulis : Bambang Usadi
Analis Kebijakan Utama Mabes Polri, Dan Satgas II Tim Korkamla Bakorkamla RI, Doktor Bidang Manajemen Sumberdaya Manusia (MSDM).



TANTANGAN perkembangan perekonomian dunia memasuki era baru. Semangat globalisasi perdagangan menjadi ruh kesadaran dalam pembuatan setiap kebijakan negara-negara di dunia, yang didorong dan difasilitasi organisasi-organisasi perdagangan dunia, utamanya WTO (World Trade Organization).


Indonesia Poros Maritim Dunia Menuju Ekonomi Berbasis Kelautan

Semangat ini dilandasi sebuah dasar pemikiran hasil kristalisasi berbagai pengalaman dan pandangan kritis mengenai perdagangan antarnegara dengan berbagai hambatan dan tantangannya. Rezim perdagangan yang dikembangkan menganut paham zero resistance yang menekankan bahwa volume perdagangan antarnegara dapat diperbesar meningkat berkali lipat apabila negara-negara yang terlibat dalam perdagangan berupaya sungguh-sungguh menghilangkan hambatan perdagangan. Salah satunya, menghapus bea masuk barang impor.


Situasi arus barang pun turut terpengaruh berubah, seiring perubahan tingkat produktivitas. Negara-negara kawasan Asia tumbuh sangat cepat (terutama Tiongkok), sementara perekonomian negara-negara Eropa dan Amerika Serikat sedang mengalami kejenuhan dan akhir-akhir ini justru mengalami penyusutan (kontraksi).

Situasi ini mampu semakin menggeser arus perdagangan dari dan menuju Asia (terutama Tiongkok). Setidaknya diperkuat dengan fakta yang telah ada, sejumlah 45 persen seluruh volume perdagangan laut melalui jalur laut Indonesia.

Seiring potensi peningkatan volume perdagangan yang pesat dengan diberlakukannya pasar bebas bagi negara-negara yang tergabung menjadi anggota WTO dan potensi semakin meningkatnya produktivitas perekonomian Tiongkok maka harus mampu diterjemahkan sebagai sebuah tantangan pengembangan wilayah laut Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Karena, arus perdagangan yang terjadi, menggunakan moda transportasi laut, dari dan menuju Tiongkok, akan banyak memanfaatkan alur laut di wilayah Indonesia.   

Posisi Strategis Laut Indonesia

Indonesia merupakan Negara Kelautan terbesar di dunia yang memiliki bentang laut luas dengan ribuan pulau besar dan kecil. Jumlah pulaunya lebih dari 13.500 buah dan mencakup wilayah sepanjang 3.000 mil laut dari Sabang sampai Merauke.

Indonesia merupakan negara dengan pantai terpanjang kedua di dunia. Indonesia terletak pada posisi geografis sangat strategis, terletak di antara persilangan dua benua dan dua samudera, serta memiliki wilayah laut yang menjadi urat nadi perdagangan dunia.

Luas wilayah laut Indonesia mencapai ¾ dari seluruh wilayah Indonesia. Selat Malaka dan jalur ALKI secara umum merupakan jalur perdagangan strategis yang dilalui kapal-kapal perdagangan dunia dengan volume perdangangan mencapai 45 persen dari total nilai perdagangan seluruh dunia. Sampai saat ini, Laut Indonesia berpotensi meningkat di masa-masa datang, mengingat prospek perkembangan perekonomian di wilayah Asia masih menjanjikan.

Posisi geografis Indonesia yang sangat strategis seharusnya mampu menempatkan prioritas kebijakan nasional diorientasikan pada kepentingan Indonesia di wilayah laut. Prinsip dasar yang harus diperhatikan dan dipertahankan sesuai cita-cita konstitusi, hendaknya dalam menetapkan kebijakan dan kepentingan nasional Indonesia mengutamakan integrasi wilayah nasional secara menyeluruh, menjamin politik luar negeri yang bebas dan aktif, dan kesejahteraan masyarakat.

Prioritas pembangunan Indonesia yang berorientasi di wilayah laut, di samping untuk kepentingan kesejahteraan rakyat, sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari kepentingan besar lainnya, menyangkut kepentingan menjaga keutuhan NKRI mengingat ¾ wilayah Indonesia merupakan wilayah laut.

Negara-negara dengan penduduk besar di dunia, seperti Tiongkok, India, Amerika Serikat, Brazil, Indonesia, termasuk Eropa, secara keseluruhan menjanjikan prospek besaran volume perekonomian.

Namun demikian, tidak sebagaimana Tiongkok, India, Amerika Serikat, Brasil, dan Eropa yang wilayahnya terbentang sebagai daratan, Indonesia memiliki tantangan lebih besar dalam distribusi perekonomian, karena wilayahnya sebagian besar lautan dan aktivitas perekonomian antarpulau menghadapi kendala berkaitan biaya distribusi yang sangat mahal.

Potensi Ekonomi Kelautan

Potensi Laut Indonesia memberikan peluang kesejahteraan dan kemakmuran. Indonesia memiliki Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang terbentang seluas 2,4 juta kilometer persegi dengan berbagai potensi kekayaan alam yang siap dieksploitasi di dalamnya. Potensi ekonomi tersebut menjanjikan bagi prospek pencapaian kinerja perekonomian yang mampu menyejahterakan rakyat.

Namun demikian, sebagai negara berkembang yang masih kekurangan kemampuan teknologi untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan bawah laut, Indonesia harus membangun kerja sama lebih erat dengan negara-negara berteknologi maju untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber energi dasar laut.

Potensi perekonomian kelautan dapat dikembangkan dari berbagai sektor, terutama sektor perikanan tangkap, sektor perikanan budidaya, sektor pengolahan perikanan, sektor jasa pelabuhan, eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya energi lepas laut, terutama pada kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), kehutanan pesisir, perdagangan, pelayaran dan pariwisata.

Kesadaran tentang keunikan kebutuhan konsumen mancanegara terhadap produk perikanan dapat memberikan peluang bagi pemasaran ekspor produk perikanan Indonesia. Tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia saat ini masih jauh di bawah tingkat konsumsi negara-negara lain di dunia, sehingga eksploitasi dan pengembangan budidaya perikanan dan perikanan tangkap masih memiliki peluang sangat besar di pasar domestik, dengan asumsi daya beli masyakat semakin meningkat pada masa-masa mendatang, ditopang pertumbuhan ekonomi yang tinggi, semakin berkualitas dan inklusif.

Pengembangan Ekonomi Kelautan

Berbasis pada seluruh potensi dan tantangan yang dimiliki Indonesia sebagai konsekuensi dari reorientasi kebijakan pembangunan menuju pengembangan perekonomian maritim maka paradigma pembangunan pun harus digeser menjadi ‘Prioritas pembangunan perekonomian harus berorientasi pada wilayah maritim yang terintegrasi dengan pembangunan wilayah darat’.

Paradigma ini menegaskan jaminan bahwa pembangunan maritim pada akhirnya akan membantu peningkatan efisiensi dan efektivitas pada aktivitas perekonomian yang berkembang di wilayah darat.

Namun demikian, persoalan yang mengemuka adalah pengembangan paradigma sangat minim dengan dukungan studi kelayakan kuantitatif memadai, sehingga mampu meyakinkan pengambil kebijakan agar benar-benar berpihak pada rezim pembangunan berorientasi maritim.

Selama ini, yang berkembang dominan dalam wacana adalah asumsi-asumsi yang dibangun di atas data kasar atau bahkan abstrak. Misalnya mengangkakan potensi kerugian illegal fishing dan illegal logging, kemudian dengan mudahnya seolah mengasumsikan ‘seandainya tidak dicuri maka potensi pendapatan negara akan sebesar kerugian yang ditimbulkan illegal fishing dan illegal logging’. Sebuah asumsi menyesatkan, karena kita tidak memiliki akses ke pasarnya, sedangkan pelaku illegal fishing dan illegal logging pasti telah memiliki pembeli.

Maka ke depan, proyeksi pengembangan perekonomian maritim harus benar-benar dilengkapi kalkulasi meyakinkan tentang prospek kontribusinya terhadap perekonomian dan kesejahteraan rakyat, sehingga mampu mencuri perhatian pengambil kebijakan, khususnya Bappenas, sehingga dengan sungguh-sungguh memperhatikan potensi perekonomian maritim sebagai solusi atas upaya percepatan pengentasan kemiskinan dan pencapaian kesejahteraan rakyat.

Memang benar fakta yang mengungkapkan 45 persen dari nilai perdagangan dunia sebesar US$ 1.500 triliun ditransportasikan melalui wilayah laut Indonesia. Akan tetapi, membandingkan dengan nilai APBN Indonesia sebesar Rp1.840 triliun atau ekuivalen dengan US$160 miliar sebagaimana pandangan Prof Darmin Danuri sungguh perbandingan yang sangat tidak tepat.

Perbandingan yang lebih fair apabila dilakukan secara apple to apple (setara) dengan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sebesar Rp9.084 triliun, yang lebih mencerminkan besaran aktivitas perekonomian sepanjang 2013.

Pun demikian, 45 persen dari nilai perdagangan dunia sebesar US$1.500 triliun yang melalui wilayah laut Indonesia juga tidak mencerminkan aktivitas transaksi atau volume perekonomian yang terjadi di wilayah laut Indonesia (potensi PDB), akan tetapi sekadar menegaskan besarnya aset yang dibawa, ditransportasikan, dan melalui wilayah laut Indonesia.

Patut disadari juga apabila kita memperhatikan pelajaran dari filosofi alam yang sangat sederhana ‘lebah akan datang dengan sendirinya ketika ada bunga’, demikian juga perilaku manusia, termasuk pelaku ekonomi dan pihak pengambil kebijakan.

Pembangunan berorientasi darat sesungguhnya tidak dengan serta merta menjadi prioritas, karena paradigma berpikir yang tertanam dalam benak pengambil kebijakan sebelumnya. Akan tetapi, justru disebabkan faktor yang jauh lebih dominan, yakni adanya fakta tentang aktivitas perekonomian darat yang lebih besar, lebih pesat, dan jauh lebih atraktif dibanding dengan di laut dan fakta tentang kebutuhan kenyamanan masyarakat yang tentu saja tinggal di daratan.

Solusi yang paling mendekati peningkatan aktivitas di wilayah laut dan pesisir adalah dengan mengembangkan kota-kota pelabuhan dan obyek-obyek pariwisata atraktif, sebagaimana Hongkong dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada investor swasta dan pelaku industri properti untuk mengambil peran besar mengembangkan kota pelabuhan dan obyek pariwisata.

Urgensi Pembentukan Bakamla

Indonesia merupakan negara dengan prospek pertumbuhan ekonomi yang cukup menjanjikan dengan volume perekonomian masuk dalam 16 besar negara di seluruh dunia. Patut disadari bahwa keberlangsungan pembangunan Indonesia di segala bidang sangat tergantung dari sarana prasarana transportasi (perhubungan) dan ketersediaan energi, terutama energi baru dan terbarukan, termasuk hasil eksplorasi sumberdaya energi bawah laut.

Kepentingan suatu negara di wilayah laut, terutama menyangkut masalah pertahanan dan keamanan nasional serta integrasi wilayah secara keseluruhan, yang menjadi modal dasar pelaksanaan tugas pembangunan perekonomian dan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat, dapat dilakukan di bawah jaminan rasa aman dan damai.

Namun yang tidak kalah penting adalah tugas untuk memastikan terjaminnya keamanan dan keselamatan di wilayah laut. Fungsi tersebut pada saat ini dipegang oleh Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) yang harus segera diubah menjadi Badan Keamanan Laut (Bakamla).

Dengan berbagai persoalan mengemuka yang dihadapi Bakorkamla hingga kini semakin menegaskan bahwa eksistensi Bakorkamla belum mampu menunjukkan kinerja optimal sebagai sebuah institusi keamanan laut yang powerfull, efektif dan efisien.

Bakorkamla tidak memiliki kewenangan memaksa sehingga masing-masing stakeholder masih cenderung berjalan sendiri-sendiri tanpa koordinasi. Kondisi tersebut mendorong untuk segera dilakukan reaktualisasi Bakorkamla dalam menjawab persoalan kekinian, menyangkut tantangan kompleks yang dihadapi.

Selainitu, revitalisasi Bakorkamla menjadi Bakamla sebagai sebuah institusi keamanan laut yang memiliki kinerja coast guard, sehingga diharapkan pada masa mendatang, institusi keamanan laut mampu menjalankan kewenangan dan tupoksinya secara efektif dan efisien. Kehadirannya mampu menjadi solusi menyeluruh terhadap berbagai permasalahan di wilayah laut.

Konsekuensinya, sebagai negara hukum yang tunduk, terikat, dan patuh pada ketentuan produk hukum dan perundang-undangan berlaku maka menjadi penting untuk menegaskan pengaturan kelautan, termasuk di dalamnya pengaturan ketentuan penyelenggaraan penegakan hukum di wilayah laut, oleh Bakamla, secara jelas dan pengaturan sistem penegakan hukum di laut dimulai penyidikan, penuntutan, dan sistem peradilan yang berwawasan maritim dalam Rencana Undang-Undang Kelautan.

RUU Kelautan kini sedang dalam pembahasan untuk memastikan arah pembangunan wilayah kelautan agar memiliki dasar hukum jelas dan menjamin kepastian hukum, disertai eksistensi Bakamla yang jauh lebih powerfull, efektif, dan efisien, serta berkewenangan penegakan hukum.

Sistem peradilan yang dibangun dan diatur sesuai ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang Kelautan hendaknya mengedepankan asas penyelenggaraan peradilan murah, cepat, dan sederhana.

Asas biaya murah berarti biaya penyelenggaraan peradilan ditekan, sehingga dapat dijangkau oleh para pencari keadilan dan menghindari pemborosan yang tidak perlu.

Asas cepat menghendaki agar peradilan dilakukan secara cepat. Penyelenggaraan peradilan diharapkan dapat selesai sesegera mungkin dan dalam waktu yang singkat.

Asas sederhana memiliki maksud, dalam penyelenggaraan peradilan dilakukan dengan sederhana, singkat, dan tidak berbelit-belit.

Cita-cita menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia harus mampu memastikan bahwa faktor keamanan dan keselamatan di wilayah laut menjadi prioritas utama dalam pengelolaan potensi perekonomian dan potensi-potensi lain sebagai konsekuensi posisi strategis wilayah laut Indonesia di dunia.

Dalam konteks ini, kehadiran Bakamla yang berdaya (powerful) dengan segala kewenangan yang dijamin secara tegas dalam Undang-Undang Kelautan, termasuk memiliki kewenangan penegakan hukum yang didukung unsur criminal justice system lain berwawasan kemaritiman harus dapat menjamin kepastian hukum.

Selain itu, mampu memastikan Bakamla bekerja secara efektif dan efisien, menjamin keamanan dan keselamatan laut. Para pengguna jasa transportasi laut serta pelaku ekplorasi dan eksploitasi potensi kekayaan laut pun merasa cukup nyaman, terjamin keamanan dan keselamatannya, serta terbebas dari perompakan dan pungutan liar para preman dan oknum aparat yang mengampu di bidang kelautan. Akhirnya, biaya distribusi di laut yang dirasakan sangat mahal akan dapat ditekan. (JMOL)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lazada Indonesia

Berita Populer

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
free counters