Mantan Panglima TNI, Jenderal (Purn) Moeldoko |
Atas kinerja yang buruk itu, Presiden Joko Widodo juga diminta untuk segera mengganti Tedjo Edhy Purdijatno. Namun, orang yang cocok menggantikannya masih dari kalangan militer, salah satunya mantan Panglima TNI, Moeldoko.
Pengamat militer Al-Chaidir, menilai, kinerja Tedjo sama sekali tidak terlihat dan malah menjadi bulan-bulanan warga dengan menyebut warga tidak jelas.
"Saya kira yang paling kuat kemungkinan diganti, ya, dia (Menko Polhukam) Karena, prestasi nggak ada, terlalu santai, nggak cocok dengan semangat Kabinet Kerja," kata Al-Chaidir saat dihubungi, Jumat, 24 Juli 2015.
Untuk penggantinya, dia melanjutkan, harus diisi oleh kalangan militer. Dia menilai, jabatan menko Polhukam jika diisi oleh sipil biasa akan kewalahan.
"TNI salah satu organisasi modern dan rasional dan cepat," katanya.
Chaidir menjelaskan, beberapa bekal harus dimiliki oleh calon pengganti Tedjo, salah satunya kedekatan dengan rakyat.
“Karena kekuatan rakyat yang besar jelas memengaruhi politik, hukum, dan keamanan. Sipil adalah kekuatan kedua setelah tentara, mereka tidak bersenjata tapi bayangkan berapa tenaga kerja yang besar dan sangat berpengaruh," ujarnya.
Moeldoko, dia melanjutkan, dinilai cocok menjadi pengganti Tedjo. Alasannya, selain dekat dengan Presiden Jokowi, jenderal TNI AD yang baru saja pensiun tersebut diyakini mampu membangkitkan semangat bernegara.
Di samping itu, nama lain yang juga patut masuk dalam bursa menko Polhukam, dikatakan Chaidir, adalah mantan Wakil Menteri Pertahanan Syafrie Syamsuddin.
“Saya lihat memang perlu dipertimbangkan Moeldoko, selain itu ada Syafrie Syamsuddin," tuturnya.
Pengamat militer Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Muhadjir Effendy, menambahkan, pergantian menko Polhukam merupakan hak prerogatif Presiden Jokowi.
Muhadjir menuturkan, Presiden Jokowi bisa saja tak mengganti dan memberikan teguran keras bila memang capaian Tedjo masih di bawah target.
“Bidang Polhukam itu memang sebagian urusannya bersifat tak terprediksikan. Semakin tidak stabil keadaan akan semakin banyak kasus yang tak terprediksikan (unpredictable), dengan konsekuensi yang juga tak terhindarkan (unavoidable)," pria yang pernah kursus singkat di National Defense University, Amerika Serikat ini.
Sebelumnya, dari hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), menko Polhukam dinilai paling buruk kinerjanya. Survei tersebut dilakukan pada awal Juli 2015.
Tedjo hanya mendapat nilai 9,9 persen kepuasan responden. Adapun, Kementerian Kelautan dan Perikanan yang dipimpin Susi Pudjiastuti mendapat rapor terbaik.
Direktur Eksekutif SMRC, Djayadi Hanan, mengatakan, kinerja buruk Tedjo disebabkan beberapa faktor. Di antaranya, Tedjo sering menimbulkan kontroversi di masyarakat.
"Beberapa pernyataannya, termasuk yang menyebut pendukung KPK sebagai orang tidak jelas, membuatnya mendapat banyak kritik. Belum lagi, kata dia, kemampuannya dalam mengoordinasikan anak buahnya sangat diragukan," ujar Djayadi.
Dia menjelaskan, faktor lain dikarenakan ulah Menkumham Yasonna Laoly yang berada di bawah koordinasinya sering membuat gaduh politik, di antaranya soal surat keputusan pengesahan pengurus PPP dan Partai Golkar.
"Yang ditangkap masyarakat, yang menyebabkan kinerja Menko Polhukam Tedjo kinerjanya dinilai rendah," kata Djayadi. (VivaNews)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar