Pelaut Indonesia yang bekerja di kapal-kapal asing ternyata merupakan penghasil devisa yang tidak kalah dibandingkan TKI profesi lain. Menurut Daniel Ferdinand, pada tahun 2012 saja, dengan 78.000 pelaut Indonesia yang bekerja di kapal-kapal asing, kontribusi devisa yang dihasilkan dapat mencapai 16 triliun rupiah per tahun.
Daniel Ferdinand adalah Chairman Indonesian Seafarers Association dan Pembina Federasi Nelayan Indonesia. Daniel sebelumnya pernah bertahun-tahun bekerja di kapal pesiar di luar negeri.
“Bisa kita bayangkan nilai kontribusi tersebut sejakan dengan bertambahnya jumlah Pelaut Indonesia hingga saat ini, maka devisa yang dihasilkan pasti lebih dari 16 Triliun pertahun,” ungkap Daniel kepada Redaksi.
Namun sebagai penghasil devisa potensial bagi negara, profesi “Pelaut ” masih belum mendapat perhatian, banyak kebijakan Pemerintah yang untuk melindungi kesejahteraan Pelaut Indonesia masih belum direalisasikan.
Salah satu kebijakan yang masih dinantikan oleh pelaut Indonesia adalah Ratifikasi Maritime Labour Convention (MLC) 2006. Hingga saat ini, Indonesia masih belum meratifikasi konvensi Internasional tersebut, padahal International Maritime Organization (IMO) dan International Labour Organization (ILO) sudah mengumumkan status implementasi (enter info force) MLC 2006 pada 20 Agustus 2013. IMO dan ILO menerbitkan MLC 2006, dimana definisi pelaut (seafarers) yang diperluas, yaitu setiap orang yang bekerja di atas kapal. Tidak terbatas hanya ABK atau crew kapal saja.
Menurut Daniel, dampak dari belum diratifikasinya MLC 2006 sangat merugikan dan menyulitkan Pelaut Indonesia maupun perusahaan perekrutan dan penempatan pelaut (Manning Agent) untuk bisa bersaing didunia Internasional. Selain belum diratifikasinya MLC 2006, sampai saat ini Pelaut yang bekerja di kapal-kapal domestik masih menunggu campur tangan pemerintah untuk menetapkan Standar Upah Minimum.
“Jika Pemerintah mau membuka mata, banyak pelaut yang bekerja di perusahaan pelayaran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang gajinya masih di bawah standar,” ungkap Daniel.
Pelaut memang tidak segarang buruh yang bisa berdemo dan menuntut kenaikan upah, karena memang pelaut dididik untuk menjadi insan yang disiplin dan profesional. Untuk menjadi Pelaut harus melalui proses pelatihan dan sertifikasi yang ketat, sehingga dibutuhkan pengorbanan waktu dan biaya yang tidak sedikit untuk meraihnya. (JMOL)
Strategi Militer Indonesia - Menyuguhkan informasi terbaru seputar pertahanan dan keamanan Indonesia
Cari Artikel di Blog Ini
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Berita Populer
-
Di Era tahun 60an TNI AU/AURI saat itu pernah memiliki kekuatan udara yang membuat banyak negara menjadi ‘ketar ketir’, khususnya negara-ne...
-
Rusia mengharapkan Indonesia kembali melirik pesawat tempur sukhoi Su-35, pernyataan ini diungkapkan Wakil Direktur "Rosoboronexport...
-
by:yayan@indocuisine / Kuala Lumpur, 13 May 2014 Mengintai Jendela Tetangga: LAGA RAFALE TNI AU vs RAFALE TUDM Sejatinya, hari ini adalah...
-
Tentara Nasional Indonesia (TNI) berencana menambah armada kapal selam untuk mendukung pertahanan laut. Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL), L...
-
Sejak ditemukan oleh Sir Robert Watson Wat (the Father of Radar) pada tahun 1932 sampai saat ini, radar telah mengalami perkembangan yang sa...
-
Banyak orang yang menunggu kapan pesawat R-80 yang merupakan pengembangan dari pesawat N250 buatan Bacharudin Jusuf Habibie, atau yang lebih...
-
Kiprah TNI Dalam Memelihara Perdamaian Dunia : Roadmap Menuju Peacekeeper Kelas Dunia "The United Nations was founded by men and ...
-
Kalau dipikir-pikir, ada yang ganjil dengan armada bawah laut Indonesia. Saat ini TNI AL hanya memiliki dua kapal selam gaek namun harus m...
-
Ketika Indonesia mulai serius membangun armada pesawat tempur Sukhoi, datanglah godaan dari Amerika Serikat yang menawarkan pesawat tempur ...
-
Rencana Amerika Serikat (AS) menggeser 60 persen kekuatan militernya ke kawasan Asia Pasifik hingga tahun 2020 mendatang, membawa implikasi ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar