Cari Artikel di Blog Ini

Selasa, 17 Februari 2015

Langgengkan Utang, Pemerintah Mempercepat Kebangkrutan RI

Kebijakan pengelolaan utang pemerintahan Joko Widodo tidak jauh berbeda dengan pemerintahan sebelumnya. Hal itu tecermin dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 yang disetujui DPR akhir pekan lalu, yang ternyata masih mengandalkan utang untuk menutup defisit anggaran.

Langgengkan Utang, Pemerintah Mempercepat Kebangkrutan RI

Dalam anggaran negara itu, pemerintah maupun DPR juga melanjutkan pembiaran terhadap rekayasa utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Meski terbukti tidak adil dan memiskinkan rakyat, negara tetap membayar bunga obligasi rekapitalisasi eks BLBI yang telah membebani APBN selama belasan tahun.

Kebijakan utang pemerintah tersebut dinilai bakal mempercepat kebangkrutan Indonesia akibat tidak kuat lagi menanggung beban utang yang kini mencapai 3.500 triliun rupiah. Negara juga dituding tidak memedulikan nasib generasi mendatang yang terancam sengsara akibat kesalahan pengelolaan utang generasi sebelumnya.


Demikian pendapat Ketua Koalisi Anti Utang, Dani Setiawan, dan pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Aris Yunanto, yang dihubungi terpisah di Jakarta, Minggu (15/2).

Menurut Dani, postur APBN-P 2015 sama sekali tidak memenuhi ekspektasi publik tentang filosofi perubahan yang semestinya lebih baik dari sebelumnya.

“APBN-P 2015 sama saja dengan APBN yang dibuat pemerintahan sebelumnya. Ini artinya pemerintah sekarang meniru pemerintah sebelumnya atau tidak ada perubahan. Bahkan, pemerintah sekarang terang-terangan menambah utang baru untuk menutupi defisit anggaran,” ungkap dia.

Seperti diketahui, di dalam APBN-P 2015, pemerintah kembali mencari utang 291,4 triliun rupiah untuk menutupi defisit anggaran yang ditargetkan 222,5 triliun rupiah atau 1,9 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Sedangkan target pendapatan negara dan hibah dipatok 1.761,6 triliun rupiah, serta pagu belanja negara mencapai 1.984,1 triliun rupiah.

Padahal, ujar Dani, dalam janji kampanye, Presiden Jokowi berulang kali mengatakan akan mengurangi, bahkan menghentikan, utang dan mengambil jalan penghematan anggaran. Pemerintah pun mencabut subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang dinilai boros dan membebani keuangan negara.

“Subsidi dicabut, efektivitas pengeluaran kementerian digembar-gemborkan, tapi kenyataannya utang terus ditambah,” jelas dia.

Selain itu, imbuh Dani, tidak ada penjelasan mengenai kebijakan defisit anggaran yang masih diteruskan di saat sisa lebih pembiayaan anggaran (Silpa) tercatat cukup besar dan korupsi atau kebocoran anggaran masih marak. ”Ini yang mengecewakan,” tegas Dani.

Sebelumnya, pengamat ekonomi dari Perkumpulan Prakarsa, Setyo Budiantoro, mengingatkan pengalaman Yunani yang terancam bangkrut akibat terbelenggu utang menggunung mesti menjadi pelajaran bagi Pemerintah Indonesia untuk segera memperbaiki pengelolaan utang. Jika tidak, perekonomian Indonesia bakal terpuruk lebih parah dibandingkan Yunani sebab kebergantungannya pada utang sangat dominan, tanpa strategi pembayaran kembali yang jelas.

Oleh karena itu, lanjut Setyo, apabila pemerintah enggan menuntaskan biang membengkaknya utang, yakni penerbitan obligasi rekap, perekonomian Indonesia bakal cepat bangkrut karena setiap tahun terus menambah utang demi menutup kewajiban yang ditinggalkan obligor pengemplang BLBI.

Penyelamatan Negara

Menurut Dani, semestinya pemerintah dan DPR fokus pada penyelamatan nasib negara ke depan di tengah impitan jebakan utang yang makin dalam. Dari kondisi itu, akan didapat utang mana yang di masa lalu yang tidak efektif kemudian dievaluasi lalu dijelaskan ke publik. “Di pemerintahan baru ini kita berharap dapat penjelasan tentang kebijakan defisit anggaran dan kondisi utang kita. Sekaranglah seharusnya kesempatan pemerintah mereevaluasi anggaran,” ujar dia.

Ia juga menggarisbawahi pengeluaran negara yang sama sekali menyalahi konstitusi, yakni pembayaran bunga obligasi rekap eks BLBI. “Padahal obligasi rekap adalah sumber kesulitan keuangan negara, apalagi mengancam nasib negara di masa depan saat jatuh tempo,” jelas Dani.

Jumlah utang akan terus menumpuk akibat bunga berbunga menjadi sekitar 60.000 triliun rupiah saat jatuh tempo obligasi rekapitalisasi perbankan eks BLBI pada 2043. Pasalnya, Indonesia sudah masuk jebakan utang, hanya bisa membayar kewajiban utang lama dengan menerbitkan utang baru atau gali lubang tutup lubang. Diperkirakan, tidak perlu menunggu hingga 2043, APBN sudah tidak sanggup lagi untuk membayar beban utang.

Sementara itu, Aris Yunanto mengatakan tren menutup kekurangan anggaran dengan mekanisme penambahan utang merupakan salah satu cara cepat untuk mendapatkan pendanaan, atau pemerintah malas berkreasi memupuk tambahan pendapatan. Namun, kebijakan gampang tersebut akan memperburuk keuangan negara. “Dalam jangka panjang akan membebani pemerintahan pasca Jokowi,” jelas dia.

Aris mengatakan selama ini utang menjadi solusi jangka pendek untuk menutup defisit. Padahal, sebenarnya ada mekanisme lain untuk mendapatkan pembiayaan di luar utang, yaitu dengan memisahkan pos pengeluaran yang tidak bisa dikomersialisasi dan non-tradable dengan yang bisa dikomersialisasi.

Untuk yang bisa dikomersialisasi, dapat diupayakan melalu kerja sama pemerintah dengan swasta, sedangkan untuk yang tidak bisa dikomersialisasi bisa dipenuhi dengan penerimaan pajak dan cukai. Jika belum mencukupi juga, pemerintah bisa membuka surat utang untuk mengumpulkan dana dari domestik. “Saya kira, dengan hal tersebut, dapat mengurangi kebergantungan pembangunan dari utang,” ungkap Aris. (KoranJakarta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lazada Indonesia

Berita Populer

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
free counters