Cari Artikel di Blog Ini

Jumat, 27 Juni 2014

"PUNA" Drone Buatan Dalam Negeri yang Kurang Dihargai Lokal

Riset drone atau pesawat udara nirawak (PUNA) di Indonesia ternyata tidak banyak berkembang. Dana yang minim dan cibiran menghantui perkembangan PUNA di Indonesia.

PUNA Wulung
Menurut Kepala Bidang Teknologi Hankam Matra Udara BPPT, Mohamad Dahsyat, sejak awal dikembangkan di BPPT tahun 2004, kegiatan riset PUNA  hanya memiliki investasi total Rp20 miliar. Ini artinya, BPPT hanya diberikan dana Rp2 miliar dalam kurun setahun.

Angka ini sangat jauh jika dibandingkan dengan dana riset drone yang digelontorkan Amerika. Menurut situs Singularityhub.com, dana riset PUNA untuk tahun 2001 hingga 2013 lalu menghabiskan US$26 miliar. Jika dihitung rata-rata per tahun, dana riset tersebut mencapai US$2,1 miliar atau sekitar Rp21 triliun.


"Budget memang menjadi kendala. Selain itu juga kurangnya dukungan. Antara lain, orang kita yang selalu membandingkan produknya dengan negara-negara maju. Tentu saja tidak seimbang. Kita baru belajar, mereka sudah lama," papar Mohammad kepada VIVAnews, Kamis, 26 Juni 2014.

Memang tidak adil jika kita membandingkan drone produk lokal dengan luar negeri. Di Amerika, drone sudah digunakan untuk segala bidang, termasuk untuk persenjataan militer sampai pengiriman barang. Sama halnya dengan Rusia yang berencana memiliki drone 'pembunuh'.

Untuk biaya pembuatan memang membutuhkan investasi mahal. Satu buah drone diperkirakan memakan biaya 300 juta. Sedangkan untuk jasa penyewaan drone, meski murah namun tidak bisa diterapkan untuk kegiatan pengawasan negara.

"Kalau sewa biasanya untuk keperluan sipil namun untuk militer biasanya punya sendiri. Sebagai ilustrasi, untuk pengambilan photo kelas UAV yang short range, untuk perkebunan dengan hanya beberapa luas wiliayah, sekitar Rp10 juta sampai Rp30 juta, tergantung dengan perjanjiannya pekerjaannya," papar Mohammad.

Oleh karena itu, katanya, akan lebih menguntungkan jika riset terkait drone terus dilakukan sampai bisa memproduksi banyak PUNA untuk banyak fungsi. Keuntungannya adalah, selain menciptakan lapangan kerja baru, drone buatan sendiri juga bisa dikostumisasi sesuai kebutuhan, bahkan kerahasiaan negara lebih terjamin.

"Secara ekonomi memang tidak terjadi capital flight karena duit mengalir di negeri kita sendiri. Yang paling penting adalah jaminan keamanan rahasia negara. Beda sekali jika kita menyewa atau membeli dari asing. Selain itu kita juga bisa menekan risiko terhadap nyawa pilot dan operator," kata Mohammad.

PUNA buatan dalam negeri diberi nama Wulung yang merupakan hasil keroyokan antara PT Dirgantara Indonesia untuk mengurusi produksi, Lembaha Elektronik Nasional (LEN) untuk sistem komunikasi dan elektronik, serta BPPT untuk bagian riset dan pengembangan.

Dikatakan pemerhati persenjataan militer, Haryo Ajie Nogoseno, Wulung nantinya akan ditemani oleh 4 unit drone baru bernama Heron. Wulung dan Heron akan bersanding di Lapangan Udara Supadio, Pontianak, Kalimantan Barat.

"Heron dapat terbang sejauh 350 km dan mampu terbang terus menerus hingga 52 jam. Dengan kecepatan maksimum 207 km/jam, Heron dengan ketinggian terbang hingga 10.000 meter memang layak menjadi spy plane. Sedangkan Wulung memiliki jarak jelajah 200 km yang di dukung mobile ground station, hanya dimungkinkan untuk pengamatan data secara realtime," papar pendiri situs Indomiliter.com ini.


Investasi Riset Drone 10 Tahun Cuma Rp 20 Miliar

Drone atau yang disebut juga dengan Pesawat Udara Nir Awak (PUNA), sejatinya telah resmi dikembangkan oleh Indonesia sejak tahun 2000-an. Badan Pengembangan dan Penerapan Teknologi (BPPT), lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah untuk melakukan riset ini mengaku  menghabiskan Rp20 miliar sejak 2004.

Dari hasil riset tersebut, saat ini BPPT telah memiliki total sekitar 17 unit PUNA atau yang diistilahkan sebagai Unmanned Aerial Vehicle (UAV). Untuk skala riset UAV, BPPT memiliki 7 buah, sedangkan untuk wahana ada sekitar 10 unit.

"Sejak 2004, masuk ke program Litbang BPPT. Dana yang dihabiskan kurang lebih 20 miliar. Kalau jumlah drone yang dimiliki TNI, mereka yang lebih tahu. Untuk yang di BPPT, karena drone atau PUNA adalah sebuah sistem maka yang siap terbang ada 4 unit. Hanya 4 itu yang memiliki kelengkapan sistem," ujar Mohammad Dahsyat, Kepala Bidang Teknologi Hankam Matra Udara BPPT, kepada Vivanews, Kamis, 26 Juni 2014.

PUNA tersebut memiliki beragam fungsi. Selain sebagai alat pertahanan negara, PUNA juga digunakan untuk pengambilan citra yang digunakan dalam berbagai penelitian. Salah satunya adalah untuk foto wilayah yang sulit dijangkau.

"Kelas UAV yang kita miliki ada 3 dari kelas yaitu short range, medium range, dan long range. Fungsinya lebih banyak untuk mengambil pencitraan wilayah. Ada juga yang digunakan untuk menciptakan hujan buatan," kata Mohammad.

Untuk satu drone, lanjut Mohammad, butuh investasi sekitar Rp300 juta sampai ratusan milar. "Sebab satu kendali darat biasanya terdiri dari 3 atau lebih sistim pesawatnya," katanya.

Jumlah Ideal

Dalam kegiatan pengawasan wilayah, Mohammad memprediksi jumlah ideal yang harus dimiliki Indonesia adalah sekitar 15. Namun jumlah tersebut bukan menunjuk ke jumlah unit drone, melainkan jumlah pangkalan PUNA yang harus dibangun. Dalam masing-masing pangkalan itu diisi oleh minimal 3 unit PUNA yang bekerja secara terus menerus selama 24 jam untuk melakukan pengawasan.

"Tentunya dengan luas wilayah yang besar seperti indonesia mungkin lebih banyak lagi. Idealnya mungkin minimal 15 pangkalan untuk mengawasi wilayah secara komprehensif. 15 pangkalan ini bisa lebih atau kurang tergntung kecanggihan teknologinya," ujar Mohammad.

Akan tetapi, lanjutnya, untuk saat ini, Indonesia membutuhkan  minimal 3 pangkalan di setiap daerah. Daerah tersebut, khususnya adalah yang sering terjadi pelanggaran hankam.

"Bisa saja ke depan dikembangkan lagi ditempat-tempat yang kritis," kata Mohammad.

Ditambahkan pengamat persenjataan militer Indonesia, Haryo Ajie Nogoseno, TNI saat ini memiliki dua jenis UAV modern, Wulung dan Heron. Wulung disebutnya sebagai UAV yang lebih menarik karena adopsinya menandakan lompatan tinggi bagi kemandirian alutsista dalam negeri.

"Bila kita dapat menguasai teknologi UAV, bukan hal yang sulit bila nantinya Indonesia ingin mengembangkan UCAV (Unmanned Combat Aerial Vehicle), yang dipersenjatai," papar pendiri situs Indomiliter.com ini.


Teknologi Drone yang Belum Dikuasai RI


Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) terus mengembangkan kemampuan teknologi pesawat nirawak (drone). Saat ini BPPT sudah mengembangkan pesawat nirawak Wulung dan Sriti, yang mana keduanya didesain untuk pengawasan perairan laut Indonesia.

Meski sudah mampu membuat peawat nirawak secara mandiri, Kepala Program Pesawat Udara Nirawak (PUNA) BPPT, Joko Purwono, mengakui penguasaan teknologi masih belum sepenuhnya dimiliki.

"Untuk desain pesawat kita sudah 100 persen kita sendiri. Tapi untuk sistem komunikasi, sistem kendali mash tergantung dengan komponen dari Eropa maupun Amerika Serikat," jelas Joko kepada VIVanews, Senin malam, 25 Juni 2014.

Bagian yang belum dikuasai itu merupakan bagian yang vital dalam pengawasan sebuah wilayah. Misalnya, pasa sisten komunikasi terdapat komponen kamera, muatan pesawat dan sensor, dan RI masih menggantungkan pada pasokan dari negara asing.

Namun BPPT terus mengembangkan komponen dari dalam negeri. Beberapa komponen pesawat nirawak yang sudah dibuat mandiri oleh Indonesia yaitu komponen untuk menghitung perbedaan tekanan udara agar mengetahui kecepatan pesawat.

"Sekarang kami sedang kembangkan komputer kendali terbang baik yang di pesawat maupun yang di darat. Software Ground Station juga sudah dibuat sendiri," jelas Joko.

Joko tak khawatir dengan membeli komponen sistem komunikasi dari luar bakal menimbulkan celah penyadapan pada data pengawasan.
Menurutnya, dengan pengetahuan mendalam pada program komunikasi, data pengawasan bisa dikelola secara aman.

"Yang penting kita bisa akses ke program, bisa ubah program, integrasi maupun troubleshooting sendiri. Itu nilai tambah," kata dia yang tetap menggarisbawahi kemandirian teknologi pesawat nirawak.

Transfer Teknologi

Upaya penguasaan teknologi tak dilupakan oleh BPPT. Joko mengatakan BPPT tengah mendidik pengembangan sumber daya manusia, agar nantinya mampu menguasai teknologi nirawak secara khusus.

"Ada yang kami sekolahkan ke luar negeri, harus ada strategi ini supaya mereka nanti dedicated untuk teknologi pesawat nirawak," ujarnya.

Upaya penguasaan teknologi ini juga melalui transfer teknologi, yang diamanahkan dalam UU NOmor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.

Dalam undang-undang itu tercantum amanah tranfer teknologi harus tercapai dalam setiap pembelian alutsista, termasuk alat yang merupakan bagian pesawat nirawak.

"Dari negara manapun, itu harus mengacu pada pokom transfer teknologi," ujarnya. (VivaNews)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lazada Indonesia

Berita Populer

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
free counters