Lagu Indonesia Pusaka karangan Ismail Marzuki itu menjadi pembuka cerita Bambang Soekotjo, salah satu korban G30 S atau yang sering disebut peristiwa ‘65. Dalam acara sarasehan berlabel “Mereka yang Belum Pulang”, eks tahanan politik (tapol) di Pulau Buru itu memberikan kesaksian bagaimana sejatinya peristiwa ‘65 terjadi. Setidaknya apa yang dirasakan dan dialami warga Desa Ngemplak, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati, pada kala itu.
Sarasehan 'Mereka yang Belum Pulang' di gedung NU dalam rangka menyambut peringatan G30 S, Minggu, 29 September 2013. Foto : Jaringnews Rhobi Shani |
“Saat itu saya masih kuliah di Undip (Universitas Diponegoro), tahu-tahu dikumpulkan di auditorium terus sampai Pulau Buru,” ujar Bambang disusul kelakar tawa menghapus duka.
“Kenapa saya awali dengan lagu itu, karena lagu itulah yang mampu menyatukan kita tanpa memandang perbedaan. Lagu itulah yang dapat membangkitklan rasa nasionalisme kita,” tegas Bambang.
Lebih lanjut Bambang menguraikan, meski kini telah dikembalikan pada masyarakat, kebebasan dan kemerdekaan sebagai warga negara yang seutuhnya belum didapat. Pasalnya, Bambang beserta korban eks tapol merasa hak sebagai warga negera belum kembali seutuhnya.
“Kebebasan yang diberikan oleh pemerintah Orde Baru kepada korban tragedi ‘65 dirasakan sebagai kebebasan semu bagi layaknya manusia seutuhnya,” terang Bambang.
“Aku iki salahku apa, apa salahku (saya ini salah apa, apa salah saya)?" imbuh Bambang.
Selain menghadirkan sejumlah korban tragedi ‘65, sarasehan yang diprakarsai Loker Dokumenter Film dan lebaga kesenian NU, Lesbumi, di Gedung NU pada Minggu (29/9) malam, itu juga menghadirkan Muslim Aisha, peneliti yang pernah melakukan penelitian seputar peristiwa ‘65 di Kabupaten Jepara.
Muslim menyampaikan, secara umum peristiwa ’65 pihak-pihak yang tak dapat dilunturkan begitu saja dalam catatan sejarah diantaranya NU dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dimana kedua organisasi tersebut dinilai Muslim sama-sama pihak yang menjadi korban.
“NU menjadi korban hasutan militer, sedangkan PKI adalah yang dikorbankan. Pada masa itu siapa yang tidak bangga pegang senjata. Kalau sudah pegang senjata merasa yang paling gagah, ditambah hasutan cerita-cerita tentang PKI yang ateis, keji, pembunuh dan yang ngeri-ngeri lainnya membuat masyarakat (NU) terdorong untuk menghabisi PKI,” papar Muslim.
Sementara itu, Ketua Lesbumi Jepara M Nuh Thabroni yang menerima dan sadar bahwa NU juga menjadi korban, sebelum acara berakhir pihaknya memintakan maaf kesalahan para algojo-algojo dari pihak NU yang telah membunuh, menyiksa, atau menyakiti masyarakat yang terlibat PKI ataupun tidak.
Sebagai pamungkas acara sarasehan tersebut, Pendeta Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ) Danang Kristiawan mengajak semua pihak untuk jujur mengakui sejarah yang ada. Penglupaan sejarah korban adalah bentuk pengingkaran fakta bahwa pernah di negeri ini manusia dalam titik terendah kemanusiaannya.
“Kita harus sadar bahwa rekonsiliasi tidak sama dengan penglupaan sejarah. Rekonsiliasi yang sejati justru kalau kita mau jujur mengakui sejarah air mata di negeri ini,” ajak Danang. (JN)
NU bukan korban tapi reaksi dari sebuah aksi. PKI telah melakukan genocide itu fakta. Kalau NU kemudian membalas saya kira itu wajar. Maka itu jangan begitu mudah membunuh bila tidak ingin dibunuh.
BalasHapusFUCK PKI