Cari Artikel di Blog Ini

Selasa, 16 Desember 2014

Menguji Anggaran Ideal untuk Pertahanan Laut

Menjadi TNI AL yang andal, disegani, dan berkelas dunia, itulah cita-cita besar TNI AL yang digaungkan oleh Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Dr Marsetio saat memasuki penghujung Renstra tahap pertama 2010-2014. Selama kurun waktu tersebut, TNI AL meningkatkan keunggulannya dalam SDM, Teknologi, Organisasi, dan Operasi. Keempat komponen itu merupakan tolok ukur dari TNI AL berkelas dunia.

Menguji Anggaran Ideal untuk Pertahanan Laut
KRI Bung Tomo-357 dikukuhkan Kasal, Laksamana TNI Marsetio pada peringatan hari Armada 2014 | Foto: Shipspotting

“Beberapa kegiatan meliputi modernisasi, pengadaan dan penghapusan alutsista serta pengembangan organisasi telah mencapai rata-rata 42% dalam pemenuhan Renstra tahap pertama,” ungkap Marsetio saat HUT TNI di Surabaya 7 Oktober 2014.

Selanjutnya, KSAL berharap dalam memasuki Renstra tahap II tahun 2015-2019, fokus pembangunan diarahkan lebih kepada penyelesaian Rentra tahap pertama yang belum selesai serta pemantapan dan peningkatan kemampuan postur TNI AL yang diukur dari empat komponen dasar di atas.


Namun, KSAL berdalih percepatan minimum essential force (MEF) tersebut sangat tergantung dari perekonomian negara dan komitmen yang besar dari pemerintah, DPR, dan seluruh rakyat Indonesia.

Anggaran Pertahanan dan Diplomasi


Mencermati fluktuasinya perekonomian negara yang berdampak pada besarnya anggaran pertahanan turut mengundang beragam pendapat dari beberapa pengamat. Salah satunya pengamat pertahanan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jaleswari Pramodhawardani. Kepada Jurnal Maritim perempuan yang akrab disapa Mbak Dani ini memaparkan,
“Pembangunan MEF pada renstra I sudah mencapai 38%-40% sampai pencapaian 100% pada tahun 2024. Anggaran alutsista itu sebesar Rp150 triliun dan angkatan laut mendapat sekitar Rp60 triliunan. Tapi sekali lagi saya ingatkan bahwa angka itu tidak linier dan itu terus berubah-ubah,” jelas Dani.

Memang pada kenyataannya dari anggaran yang ditetapkan itu tidak seluruhnya terealisasi, dengan pertimbangan kondisi ekonomi yang naik turun tentunya membuat yang apa yang tertulis bisa lain dengan realisasi. Lebih lanjut, Dani menegaskan dalam Renstra II nanti anggaran itu harus meningkat dari tahap sebelumnya dan akan terus meningkat lagi pada tahap berikutnya.

“Kalau kita bicara Security Export Import itu ada ketentuan tidak tertulis bahwa kita harus memenuhi 2% dari GDP untuk pertahanan. Jadi estimasi anggaran periode 2015-2019 kita baru menganggarkan 1,5% dari GDP dan 2% pada tahun 2024. Angka 1,5% itu artinya apa? Kita harus mengalokasikan anggaran sebesar Rp150 triliun untuk pertahanan. Itu saja tidak mudah, ketika ekonomi kita masih begini. Kita akan selalu dibenturkan dengan nasi versus amphibi dan kesejahteraan versus keamanan,” tandasnya.

Menurutnya, hal itu menjadi suatu pertaruhan yang tidak mulus mengingat problem kemanusiaan masih sangat banyak. Akan tetapi perempuan kelahiran Surabaya 50 tahun silam ini mengingatkan pembangunan pertahanan menjadi sesuatu yang penting dan tidak bisa dihitung dengan uang serta komitmen pemerintahan Jokowi dalam mengatasi masalah itu.

“Seharusnya membangun kekuatan pertahanan itu sesuatu yang lain lagi, ini yang penting karena bagaimana kita merasa aman karena perasaan aman. Itu enggak bisa dikalkulasi dengan uang. Saya yakin pak Jokowi ingin membangun pertahanan yang kuat juga bervisi maritim.

Dan dia meletakan dasar-dasar pembangunan itu. Kalau kita bicara pertahanan maritim bukan hanya dilihat dari angkatan laut saja, tetapi bagaimana konsep Tri Matra Terpadu yang berjalan secara bersamaan,” cetusnya.

Sementara itu, pengamat pertahanan dari Universitas Indonesia, Connie R Bakrie menuturkan, tidak selamanya anggaran pertahanan itu dihitung berdasarkan GDP, tetapi bisa didasarkan pada Threat Based Planning atau pembangunan kekuatan yang didasarkan pada pendekatan prediksi ancaman yang dihadapi. Baru kemudian kekuatan pertahanan dibangun berdasarkan Capabilities Based Planning (CBP).

“Ini yang saya maksudkan tidak selamanya Anggaran Pertahanan itu harus dihitung dari ketersediaan dan kemampuan GDP tetapi bagaimana melihatnya dari urgency yang terjadi jika kita tidak menyediakan anggaran pertahanan yang memadai sesuai dengan perkembangan dan eskalasi ancaman atau risiko. Risiko disini adalah ancaman yang timbul karena kita sudah tau ada tetapi kita memilih diam atau tidak berbuat apa-apa,” pungkasnya.

Connie menambahkan, dengan melihat perkembangan dan perubahan eskalasi ancaman dan risiko kemudian kita dapat menetapkan urgensi anggaran pertahanan yang diperlukan

“Itu kenapa sejak awal saya sampaikan pemikiran SBY akan ‘Thousand Friends Zero Enemy’ itu sangat tidak tepat untuk Indonesia yang secara geopolitik, geostrategi dan geoekonomi merupakan pusat maritim dunia dan memiliki 6 chokepoints strategic yang dilalui 90% perdagangan dunia. Kita menjadi negara yang careless pada posisi strategis dan kesempatan yang dimilikinya untuk menjadi negara ‘pemain’ dan bukan sebagai negara penonton semata,” ungkapnya.

Dengan melihat tingginya ancaman itu tentu membuat pembangunan teknologi terkait dengan precision-guided munitions (PGMs); intelligence gathering, surveillance and reconnaissance (ISR); dan command, control, communications, computing, and intelligence processing (C4I), semakin meningkat. Di mana awalnya semua akan kembali bermuara pada peningkatan anggaran pertahanan secara signifikan.

“Kenapa misalnya industri pertahanan kita selama 10 tahun ini tidak tumbuh cepat meski sudah difasilitasi dengan semua elemen? Ya, karena kita kemarin kemarin menjadi negeri dengan nol musuh dan karenanya TNI juga mengambil kebijakan nol growth untuk jumlah personilnya. Lalu, darimana industri pertahanan
bisa berkembang jika demand-nya tidak ada atau statis?” papar Connie heran.

Connie juga mengimbau bila TNI AL belum mampu untuk melakukan itu maka peran diplomasi menjadi sangat penting untuk mendukung upaya pertahanan berdasarkan tingkat ancaman. “TNI AL melaksanakan strategi partner dengan negara-negara tetangga. Dan dari sinilah saya kira mengarah terbentuknya ASEAN Navy dan anggaran pertahanan kita pasti harus mengikuti arah trend ini,” tuturnya.

Formulasi Anggaran Pertahanan

Senada dengan Connie, Wakil Ketua Forum Kajian Pertahanan dan Maritim (FKPM), Laksda (Purn) Budiman Djoko Said memaparkan rincian penyusunan anggaran berdasarkan ancaman atau kebutuhan.

“Anggaran merupakan konsekuensi dukungan suatu kegiatan dan manfaat, keuntungan, efektifitas atau kapabilitas, biasanya adalah kriteria guna membantu memilih suatu alternatif. Misalnya ada beberapa alternatif postur kekuatan militer nasional yang akan dibangun,” ucap Budiman.

Dalam penetapan anggaran untuk postur kekuatan nasional termasuk kekuatan pertahanan lautnya, Budiman menggunakan konsep Capabilities Based Planning (CBP) yang kemudian dilanjutkan dengan Activity Based Cost (ABC).
Melihat pola pembangunan pertahanan nasional ke depan, mantan Danseskoal tahun 2000 ini mengingatkan pemerintah dan DPR untuk dapat mengembangkan skenario yang tidak habis untuk gaji rutin prajurit.

“Jadi yang sangat diperlukan dalam pembangunan kekuatan militer nasional yang beorientasi kepada operasi gabungan paling efisien adalah skenario gabungan yang bisa saja muncul mulai dari arsitektur yang sangat memungkinkan sampai dengan kurang memungkinkan. Namun, setidak-tidaknya pengambil keputusan (Pemerintah dan DPR- red) dan analis biaya bisa melihat dengan jelas biaya rill untuk perbaikan struktur mendatang,” tukas Budiman. (Adityo Nugroho | JMOL)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lazada Indonesia

Berita Populer

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
free counters