TNI AL Harus Menambah dan Memperkuat KRI Untuk Menjaga Wilayah Maritim Indonesia |
"Posisi geografis seperti ini berpotensi menjadi penghambat mutlak bagi lalu lintas laut global," kata Dorodjatun dalam orasi ilmiahnya saat wisuda mahasiswa Pascasarjana Universitas Pertahanan, di Kantor Kemhan, Jakarta, Jumat (7/9).
Tak hanya itu, tambah dia, sekitar 40 persen pelayaran dunia pun harus melalui perairan Indonesia, mulai dari Pasifik ke Hindia. Bisa saja tak melewati Indonesia, namun konsekuensinya harus memutar sekitar 6.000 nautical mile melewati Australia. "Tentu tidak akan ada yang menghendakinya," ujar Dorodjatun.
Strategis posisi geografis maritim Indonesia ini dinilai akan memicu konflik di perbatasan hingga perang total, terutama dengan sembilan negara yang bertetangga. "Tentunya kita tak kehendaki itu. Saya berharap Indonesia sudah harus memperkuat MOOTWA (Military Operations Other Than War). Apalagi negara kita juga rawan terkena bencana alam," kata dia.
Salah satu kemungkinan kecelakaan transportasi laut yang harus diwaspadai adalah kecelakaan kapal tanker dan kapal selam nuklir di perairan Indonesia. Militer Indonesia juga dituntut memiliki respons tinggi terhadap bencana di laut. Militer yang tak responsif akan membuat upaya penyelamatan terganggu, terutama karena begitu luasnya wilayah perairan dan kendala cuaca.
Dorodjatun berharap pemerintah menyiapkan generasi yang akan datang agar lebih melek pengetahuan bahari. Apalagi Indonesia akan mengalami ledakan demografi. "Tanpa rakyat yang terdidik dan sejahtera, kemampuan pertahanan kita akan lemah," kata peraih penghargaan Mahaputera Adi Pradana pada 2005 itu.
Ancaman Tinggi
Menteri Pertahanan (Menhan), Purnomo Yusgiantoro, mengingatkan ancamanan untuk menggoyang keutuhan NKRI yang tinggi di era sekarang. Tingkat kompleksitas ancaman sangat tinggi, tidak saja dari luar, tapi juga dari dalam negeri.
Pesan itu disampaikan Purnomo di hadapan 31 wisudawan Universitas Pertahanan Indonesia (Unhan) dari program pascasarjana program studi Strategi Perang Semesta Angkatan III dan program studi Ekonomi Pertahanan Angkatan I.
Anggota Marini Menjaga Pulau Terluar NKRI |
Purnomo menuturkan pada abad ke-21, kompleksitas ancaman dan tantangan sangat tinggi. "Ancaman tersebut sangat tinggi, menggoyang kutuhan NKRI. Aktornya bukan hanya dari luar, tetapi dari dalam negri juga," papar dia.
Menhan berharap para wisudawan memperhatikan ciri-ciri perubahan abad ke-21 yang penuh dinamika tersebut. "Teori yang diterima dari pendidikan Universitas Pertahanan harus dipraktikkan di dunia nyata, harus dapat diimplementasikan pada masyarakat," kata dia.
Dari 31 wisudawan, 24 di antaranya adalah prajurit TNI dan 7 orang sipil. Mereka berasal dari program studi Strategi Perang Semesta Angkatan sebanyak 30 orang dan satu orang asal program studi Ekonomi Pertahanan Angkatan.
Rektor Universitas Pertahanan, Syarifuddin Tipe, melaporkan hingga saat ini Unhan telah mewisuda 159 lulusan secara keseluruhan. Jumlah mahasiswa sekarang mencapai 399 orang. "Terdiri dari 187 prajurit TNI, 210 orang sipil, dan 2 mahasiswa mancanegara, yaitu dari Australia dan Brunei Darussalam," imbuh dia.
Sebelumnya, Ketua Institut Keamanan Keselamatan Maritim Indonesia (IK2MI), Laksdya TNI Y Didik Heru Purnomo, saat meluncurkan IK2MI, mengatakan 13 instansi yang berhubungan dengan pengelolaan keamanan dan keselamatan laut dinilai kurang efektif. Apalagi masing-masing instansi masih mengedepankan ego sektoral.
"Keamanan dan keselamatan laut harus ditangani maksimal di dalam bentuk kelembagaan yang pas. Kita bisa belajar dengan negara lain," kata Didik.
Mantan Kepala Pelaksana Harian (Kalakhar) Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) itu menyatakan pembentukan IK2MI merupakan upaya menyumbang pemikiran untuk memberdayakan masyarakat maritim dengan regulasi yang tepat. "Saat ini, pemberdayaan masyarakat maritim belum maksimal. Masih banyak kasus pencurian ikan dan perdagangan manusia," kata dia.
IK2MI, lanjut dia, hadir untuk mengeliminasi bentuk kejahatan di laut, terutama di tataran pemikiran. Lembaga ini juga akan terus mengingatkan bahwa penguasaan kelautan merupakan agenda penting untuk menyejahterakan masyarakat. Apalagi sebagian besar wilayah Indonesia adalah lautan.
Mantan Kalakhar Bakorkamla, Laksdya (Purn) Djoko Sumaryono, juga melihat koordinasi keamanan di laut masih saling tumpang tindih. "Bahkan cenderung bolong-bolong," ujar dia.
Dari segi regulasi, dia juga melihat cenderung lambat. Sebagai gambaran, untuk membuat peraturan mengenai kebijakan kelautan, legislatif dan eksekutif Indonesia membutuhkan waktu hingga 11 tahun. UU Kelautan pun sama, dibutuhkan waktu lima tahun dan sampai sekarang belum terbentuk.
"Laut kita masih sangat bolong dan terbuka. Belum ada pengamanan yang maksimal. Pemerintahan di laut belum diterapkan optimal," kata dia.
Sumber : Koran Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar