Penulis : Tim Riset Global Future Institute (GFI)
Memasuki millenium ketiga, secara teknis dominasi AS di dunia semakin menguat melalui jaringan Bank Sentral di setiap negara yang dikendalikan oleh Federal Reserve dengan IMF dan World Bank sebagai pelaksananya. Demikian pula kontrol perdagangan dunia melalui WTO yang dapat mengendalikan pertumbuhan negara-negara berkembang sesuai dengan kehendak AS.
Survei-survei pertumbuhan ekonomi terhadap negara-negara berkembang yang rutin dirilis oleh AS melalui IMF, World Bank, Goldman Sach, StandChart dan lembaga-lembaga keuangan lain – merupakan bukti nyata dari sistem kontrol AS yang begitu ketat terhadap kemajuan negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Bahkan Indonesia ditempatkan dalam kelompok G20, dalam deretan negara dengan kekuatan ekonomi yang besar.
Jalur sutera maritim abad 21 |
Melalui WTO AS berhasil menghilangkan batas-batas negara dan menaklukan negara berdaulat dengan menjalankan skema liberalisasi, pasar bebas dan privatisasi. Indonesia sendiri sejak Reformasi 1998 telah kembali menjadi ajang rebutan oleh negara-negara industri maju yang sangat membutuhkan bahan baku bagi kelangsungan industrinya. Melihat gejala bergesernya fokus pertumbuhan ekonomi dunia ke Asia Timur – dimana Indonesia persis berada ditengah-tengah jalur strategis itu, tepat dipersilangan – maka dimasa depan tampaknya Indonesia akan menjadi arena pertempuran Non Militer antara kekuatan negara-negara imperialis utama pada 2020.
Siapa saja yang akan terlibat dalam Pertempuran Non Militer di Bumi Nusantara tersebut. Kita mulai saja dari pemain lama sejak zaman kuno, yakni Negeri Tiongkok. Dengan skema Jalur Sutera Maritim abad 21, China jelas-jelas ingin menguasai Indonesia seutuhnya, kalau bisa. Menteri Luar Negeri China Wang Yi ketika melawat ke Indonesia dan bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana Merdeka telah menegaskan bahwa Pemerintah China sangat “terkesan” dengan gagasan poros maritim yang hendak dikembangkan Presiden Joko Widodo lima tahun mendatang. China siap melakukan kerja sama sepenuhnya seperti investasi membangun pelabuhan di jalur tol laut yang dirancang pemerintahan Jokowi. Dan yang paling penting bagi Beijing adalah mengintegrasikan konsep poros maritim dengan Jalur Sutera Maritim Abad 21. Sekadar informasi, jalan sutera yang dimaksud adalah rute kapal dari China, melewati Vietnam, serta Thailand lalu melewati Indonesia terus ke Selat Malaka, melalui Riau, Dumai, dan Belawan. Atau masuk lewat Filipina terus melalui Selat Sulawesi, Bitung, Makassar, hingga Surabaya.
Untuk itu tidak tanggung-tanggung, China telah menyiapkan dana tidak terbatas, teknologi serta sumber daya manusianya untuk menguasai Indonesia – proyek Jurong, sebut saja Jurong Limited di Singapura – merupakan salah satu skema Perang Non Militer yang telah disiapkan sejak lama. Sejak kepemimpinan PM Zhurong Ji dekade 1990-an, Jurong Ltd. memang di desain khusus untuk menginvasi Indonesia dalam bidang energi dan industri, baik industri otomotif, manufaktur, smelter dan industri lainnya, termasuk kilang minyak dan pembangkit listrik. Sebagai catatan saja, Sinopec Group telah lama menyiapkan dana sebesar US$ 850 juta untuk membangun kilang minyak di Batam dengan kapasitas 16 juta barel. Namun terus di delay oleh SBY. Sekarang, China telah siap menginvestasikan US$ 100 milyar di Indonesia, tinggal menunggu tanda tangan Presiden Jokowi saja. Sebagai informasi saja: bila kita bicara investasi perusahaan China artinya dana investasi itu berasal dari negara.
Dedengkot selanjutnya adalah Amerika yang tidak ingin hegemoni globalnya diganggu. Kepentingan nasional AS adalah menjaga stabilitas suplai minyak dan kebutuhan bahan baku bagi pemenuhan kelangsungan industri dalam negerinya. Jumlah impor minyak AS dari Indonesia sendiri masih misteri karena memang kita tidak pernah tahu berapa volumenya. Tapi yang jelas, AS sangat berkepentingan dengan Indonesia karena faktor minyak dan bahan baku tambang lain yang terkandung di Bumi Ibu Pertiwi. Free Port di Papua misalnya, sejak 1967 tidak pernah berhenti mengeruk emas dari Bumi Papua, demikian pula dengan Exxon dan kawan-kawan yang terus memompa minyak kita tanpa kenal lelah, baik di darat maupun di laut. Dan sekaligus menjadikan Indonesia sebagai tempat pemasaran produk-produk pertanian AS dan sekutunya yang tidak terbatas yang diatur melalui tangan WTO. Diluar semua itu, ada agenda besar AS untuk membangun “Free Port” kedua di Kalimantan, tapi kali ini merupakan proyek raksasa Partai Demokrat Amerika. Konon investornya adalah Bill Gates, orang nomor satu terkaya di Amerika. Selamat bergabung Bill Gates!
Tidak mau ketinggalan adalah Belanda dan Uni Eropa (UE). Tampaknya krisis yang berkepanjangan telah menyadarkan Uni Eropa untuk bangkit bergabung dengan dinamika pertumbuhan ekonomi Asia Timur yang sedang menggeliat. Survei-survei lembaga keuangan dunia telah menunjukkan bahwa UE akan disalip oleh negara-negara berkembang seperti China, India, Korea Selatan dan Indonesia dalam satu sampai dua dekade mendatang. Dan tidak tanggung-tanggung konon Rp. 1.000 trilyun telah disiapkan oleh UE untuk membangun Great Garuda sebagi pusat keuangan dan perdagangan dunia di Utara Jakarta.
Tidak salah juga jika disebut VOC datang lagi. Proyek ini memang dibungkus sebagai sebuah bentuk kerjasama G to G, antara pemerintah Belanda dengan Indonesia. Tidak mengherankan bila Retno Lestari Priansari menjadi Menteri Luar Negeri Indonesia yang memang karir dan pendidikannya ditempa di Uni Eropa sibuk menjadi tuan rumah yang baik.
Proyek Great Garuda Di Utara Jakarta |
Masuknya UE ke Indonesia membangun proyek raksasa bukan sekedar pertarungan EURO dan DOLLAR dan transaksi minyak dunia – tetapi lebih perebutan penguasaan SDA Indonesia yang terbukti, seperti migas dan minerba yang sangat berlimpah mulai Aceh sampai Papua. Tinggal bagaimana AS dan UE membagi kavling daratan Sulawesi, Kalimantan dan Aceh yang tersisa. Sedangkan posisi China tampaknya sudah cukup nyaman dengan menguasai ekonomi, industri dan pasar Indonesia – tinggal bagaimana regulasi pemerintah Indonesia menyikapi investasi, relokasi pabrik dan sdmnya ke Indonesia. Skema Jalur Sutera abad 21, tinggal membereskan Malaysia dan menaklukkan Indonesia. China tampaknya telah menemukan skema yang pas untuk menguasai Malaysia. Namun menemui kesulitan besar untuk menaklukkan bangsa Indonesia – karena alam bawah sadar bangsa Indonesia memiliki reflek anti China. Nah, hal inilah yang menjadi ganjalan terbesar bagi mulusnya skema Jalur Sutera abad 21 tersebut.
Masalah yang krusial dalam waktu dekat ini adalah Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 yang sudah di depan mata. Indonesia jelas tidak siap menghadapi persaingan “pasar bebas” dengan negara tetangga. Terbukanya bursa tenaga kerja asing tentu akan merugikan tenaga kerja potensial Indonesia di tanah air – yang memang kalah tingkat pendidikannya dengan negara tetangga. Belum lagi relasi konglomerasi asing yang membanjiri Indonesia tentu mereka lebih nyaman mempekerjakan orang mereka sendiri dilevel tertentu. Nah, ancaman paling serius mungkin di sektor pariwisata – dimana Indonesia kalah bersaing di kawasan – sehingga bisa saja sektor pariwisata kita akan dikuasai oleh Malaysia, Singapura dan Thailand. Dan seperti yang sudah-sudah Indonesia tetap dijadikan pasar yang sangat besar dan menguntungkan bagi MEA 2015 dengan 250 juta penduduknya yang sebagian besar sangat konsumtif dan rakus dengan dengan merk dagang asing. Sekali lagi, Indonesia adalah pasar tunggal MEA 2015. No way out!
KONTRA SKEMA
Dari uraian diatas dapat kita bayangkan bahwa pada tahun 2020 Indonesia akan menjadi arena pertempuran Non Militer dari berbagai kepentingan di atas. Lalu apa persiapan Indonesia menghadapi skema Perang Non Militer tersebut. Hal pertama yang harus disadari oleh bangsa kita adalah bahwa Indonesia bukan lagi sebuah negara merdeka karena sudah memiliki ketergantungan kebutuhan primer yakni pangan dan energi kepada banyak negara. Indonesia memiliki ketergantungan impor pangan dan energi lebih dari 20 negara. Kalau dengan logika terbalik skema Perang Non Militer, Indonesia saat ini sedang digempur habis-habisan oleh lebih dari 20 negara dunia.
Friedrich Ratzel dengan tegas mengatakan bahwa, “suatu negara yang mempunyai ketergantungan atas kebutuhan primer, tidak dapat dikatakan lagi sebagai negara yang telah merdeka.” Oleh karena itu, dalam jangka pendek pemerintah harus segera membentuk sistem Ketahanan pangan dan energi nasional yang terintegrasi dalam rangka menciptakan keamanan nasional.
Memang perlu sebuah paradigma baru doktrin pertahanan keamanan yang berwawasan Nusantara – seperti membuat kontra skema menghadapi ancaman Non Militer yang sudah di depan mata. Misalnya dengan membentuk zona pertahanan keamanan yang terintegrasi sesuai dengan kondisi ancaman yang nyata. Berikut beberapa ancaman Non Militer yang paling nyata. Pertama, skema Jalur Sutera Abad 21. Kedua, Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Ketiga, Kepentingan Nasional AS. Keempat, Kepentingan Jepang. Dan Kelima, Kembalinya VOC dan kawan-kawan ke Bumi Ibu Pertiwi.
Menghadapi kepentingan besar negara-negara tersebut, maka Indonesia perlu segera merumuskan pola ancaman yang sedang berlangsung secara senyap sekarang ini. Disamping membentengi geografi dan teritori ketahanan nasional dengan membagi zona pertahanan sebagai doktrin pertahanan, antara lain: Pertama, Kontra Skema Zona Jalur Sutera Abad 21. Kedua, Kontra Skema Zona Masyarakat Ekonomi ASEAN. Ketiga, Pertahanan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE). Keempat, Pertahanan Konvensional Teritorial Darat, Laut, dan Udara. Kelima, Pertahanan Distrik.
KOMANDO PERTAHANAN NUSANTARA
Solusi untuk mengatasi ancaman pangan dan energi, serta ancaman lain dalam skala yang lebih luas adalah dengan segera membentuk Komando Pertahanan Nusantara yang komprehensif dan terintegrasi. Komando Pertahanan Nusantara (KPN) dibentuk guna kepentingan efisiensi dan efektifitas kerja TNI dalam menyikapi Perang Non Militer yang tengah berlangsung di Bumi Nusantara. Bila dibiarkan, mungkin pada 2020 kita hanya jadi penonton Perang Non Militer antara negara maju di Indonesia. Jadi hal ini dirasa memang sangat mendesak – mengingat konstitusi kita yang telah di amandemen – sekarang justru menjadi pintu masuk bagi kepentingan asing untuk menguasai ekonomi kita. Bahkan sektor pangan yang tadinya tertutup bagi investasi asing, kini telah dibuka pintunya lebar-lebar oleh Presiden SBY melalui PP Nomor 39 Tahun 2014.
Demikian pula untuk sektor ketahanan energi kita harus menata kembali tata kelola migas nasional. sesuai dengan semangat UU No. 8 Tahun 1971 – dimana PERTAMINA kembali menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Kita harus mencontoh keberanian Chavez dan pada Pemimpin negara-negara Amerika Latin lainnya dalam menghadapi tekanan AS dan sekutunya, khususnya dalam masalah Migas.
Nah, inilah saatnya kita berpacu dengan waktu menyelamatkan NKRI yang sudah diujung tanduk. Tampaknya dimasa pemerintahan Jokowi inilah kesempatan terbaik AS, UE, Jepang dan China untuk “finishing” seluruh agenda kepentingan mereka secara serentak di Bumi Nusantara.
Bila kita cermati, situasi negara sebetulnya sudah genting dengan derasnya arus impor pangan yang telah banyak “membunuh” petani kita, tercatat pada awal tahun 2014 ada 280 ribu petani yang sudah meninggalkan profesinya pindah ke sektor lain. Bahkan menurut beberapa survei independen bila terjadi kenaikan harga BBM dan pemerintah tidak mampu membuka lapangan kerja baru secara besar-besaran maka pada 2015 mendatang angka kemiskinan di Indonesia akan meningkat dengan tajam sampai lebih dari 100 juta orang. Fakta tersebut diperkuat oleh laporan Bank Dunia bahwa sekitar 68 juta penduduk Indonesia rentan jatuh miskin karena pendapatan mereka hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga miskin, demikian kata Rodrigo A. Chavez Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia. Sedikit guncangan ekonomi seperti jatuh sakit, kehilangan pekerjaan atau kenaikan harga dengan mudah membuat mereka kembali jatuh miskin.
Jadi tujuan utama komando pertahanan nusantara tersebut selain mempertahankan kedaulatan wilayah NKRI tanpa kompromi dengan membentuk sistem ketahanan dan keamanan pangan dan energi yang komprehensif dan terintegrasi dengan penciptaan lapangan kerja baru secara besar-besaran. Komando pertahanan Nusantara ini terbagi dalam tiga wilayah komando pertahanan yakni: Barat, Tengah dan Timur.
Agar pelaksanaan pembentukan Komando Pertahanan Nusantara berjalan dengan baik, maka perlu dikeluarkan Undang-Undang “Darurat Perang” oleh Presiden sebagai payung hukum “operasi militer” TNI dalam melakukan Perang Non Militer terhadap gempuran ketahanan pangan dan energi nasional. Sedangkan Panglima Perang bisa dipimpin langsung oleh Menteri Pertahanan. Strategi Perang Non Militer dijalankan dengan sistem hankamrata dan siskamling yang diperluas. Dan untuk melibatkan masyarakat sipil aktif yang dibiayai oleh negara maka perlu dikeluarkan Undang-Undang Bela Negara (Pasal 30) sebagai bentuk partisipasi sipil mempertahankan kedaulatan NKRI bersama TNI dalam Perang Non Militer. Dalam skala yang lebih luas UU Bela Negara bisa diintegrasikan dengan program mengatasi pengangguran (Pasal 27), dan sekaligus mengayomi fakir miskin dan anak terlantar (Pasal 34) dalam sistem pertahanan keamanan terpadu sesuai dengan UUD 1945.
Nah, UU Bela Negara ini bisa dijadikan kontra skema menghadapi Perang Non Militer guna mengembalikan kembali kedaulatan pangan dan energi nasional. Dalam bidang energi kita bisa mengembangkan teknologi alternatif yang ramah lingkungan seperti membangun pembangkit listrik tenaga surya dan tenaga angin. Bahkan kalau perlu segera membangun pembangkit listrik tenaga arus laut (PLTAL) yang terintegrasi dengan kluster-kluster perikanan di kepulauan Nusantara. Dan masih banyak lagi jenis-jenis energi yang bisa kita kembangkan bila ada kemauan.
Sedangkan di sektor pangan dengan membangun kluster-kluster pangan dengan sistem pertanian modern yang terintegrasi. Kluster pangan merupakan kontra skema mengatasi ketergantungan impor pangan, sekaligus juga dapat dijadikan solusi jangka pendek untuk membuka lapangan kerja besar-besaran secara nasional sebagai pendukung pasukan ZENI TNI dalam melakukan operasi Perang Non Militer untuk mengembalikan kembali kedaulatan pangan dan energi nasional.
POSTUR PERTAHANAN KEAMANAN TNI JANGKA PENDEK
Ditengah situasi yang tidak menguntungkan ini, perlu dibangun suatu bentuk kontra skema pertahanan keamanan konvensional jangka pendek yang sederhana tapi memiliki daya tangkal yang tinggi terhadap serangan Militer maupun Non Militer yang memasuki wilayah kedaulatan NKRI. Sistem pertahanan ini harus terintegrasi dengan sistem Komando Pertahanan Nusantara dan Doktrin TNI yang bersifat defensif-preventif aktif.
Pertahanan keamanan sederhana dengan daya tangkal tinggi itu adalah dengan membangun pertahanan “statis” terpadu dengan basis Satelit, Radar, Sonar dan Rudal di ZEE dengan teknologi canggih yang mandiri agar lebih efektif dan efisien menjaga wilayah kedaulatan NKRI. Sehingga alutsista yang ada dapat diberdayakan secara optimal. Dan untuk kebutuhan perangkat lunak memang dituntut menggunakan produk sendiri guna lebih menjaga keamanan dan kenyamanan tentunya. Sebetulnya sudah banyak generasi muda bangsa Indonesia yang mampu membuat software untuk keperluan militer – membuat sistem pertahanan dan keamanan Nusantara yang handal.
Skema pertahanan sederhana tersebut bisa berupa model “SISKAMLING LAUT” yang merupakan zona pertahanan pertama NKRI. Dengan Sishankamrata yang terintegrasi maka kita dapat menciptakan jaringan pertahanan yang meliputi pulau-pulau terluar yang berbatasan langsung dengan negara tetangga. Berikut model siskamling laut yang dimaksud:
- Radar dan Rudal Surface to Surface Missile (SSM) ditempatkan disepanjang garis pantai dan dititik-titik rawan yang strategis – terutama diwilayah yang diperkirakan mengandung cadangan migas. Termasuk di pintu-pintu selat yang merupakan lalu lintas perdagangan nasional dan internasional ALKI.
- Radar dan Rudal SSM juga ditempatkan di pulau-pulau terluar NKRI yang strategis sebagai pengamanan Kluster Perikanan – yang juga berfungsi sebagai pangkalan armada Kapal Cepat Rudal (KCR) Angkatan Laut Republik Indonesia. Paling tidak Indonesia minimal memiliki pos pertahanan matra terpadu di 12 pulau terluar yang berbatasan langsung dengan negara tetangga. Keuntungan lain dari pembuatan pos-pos terluar ini adalah dapat menjangkau wilayah-wilayah yang terpencil secara rutin yang memang sering mejadi lokasi illegal fishing, penyelundupan, dan sebagainya.
Sedangkan sishankamrata plus di laut yang “dinamis” dapat dilakukan dengan model daratan, yakni melibatkan semua elemen yang ada, termasuk para nelayan misalnya:
- Mendesain khusus kapal-kapal nelayan kita sehingga bisa menjadi mata dan telinga dengan dilengkapi peralatan radar dan sonar sebagai pendukung siskamling di laut.
- Sedangkan sebagai alat pemukul utama adalah Kapal Cepat Rudal (KCR) sekelas Trimaran yang dilengkapi dengan rudal sekelas Yakhont atau paling tidak C802 yang memiliki jangkauan 200 sampai 400 mil laut.
- Kapal Perang kelas KCR Trimaran bertugas mengamankan ZEE dari kapal-kapal asing yang memasuki wilayah kedaulatan NKRI.
- Memperbanyak jumlah kapal-kapal patroli cepat, dengan kecepatan diatas 40 knot yang dilengkapi dengan rudal SSM. Kapal-kapal patroli ini ditempatkan di sepanjang ALKI sebagai satpam laut untuk memberantas maling-maling kekayaan laut kita tanpa kompromi.
Untuk pertahanan keamanan teritorial kedaulatan NKRI konvensional adalah dengan membagi kawasan Nusantara dalam distrik-distrik strategis – baik menyangkut pangan, energi, industri, dan sebagainya guna untuk penempatan zona komando matra TNI yang terintegrasi dengan sishankamrata plus. Terutama di daerah-daerah medan pertempuran Non Militer.
PENUTUP
Sebagai bahan renungan, diakhir tulisan ini penulis mencoba berimajinasi membuat kontra skema komprehensif Perang Non Militer Jangka Pendek dimasa Presiden Jokowi guna menghadapi gempuran koalisi imperialis global yang mencoba menjarah kekayaan Ibu Pertiwi.
Penulis membayangkan seandainya kita bisa membangun sebuah Kota Mandiri di “Titik Nol Derajad” Kalimantan untuk mengembalikan kedaulatan pangan dan energi sekaligus membuka lapangan kerja baru secara besar-besaran dalam skala nasional dengan melalui Undang-Undang “Darurat Perang” Non Militer dan “Bela Negara” yang diperluas. Maka sebagai tulang punggung operasi Perang Non Militer adalah Pasukan ZENI TNI yang didukung oleh Relawan Bela Negara. Sedangkan alusista TNI yang digunakan harus dimodifikasi khusus disesuaikan dengan kebutuhan medan tempur guna membuka lahan pertanian dan perkebunan terpadu. Alutsista TNI yang diturunkan diprioritaskan yang sudah tua tapi masih bisa dimodifikasi dan diproduktifkan daripada teronggok menjadi besi tua. Bayangkan bila ada ribuan Tank dan Panser yang telah dimodifikasi didukung rampur lain masuk ke “Titik Nol Derajad” Khatulistiwa di Kalimantan. Pasti akan mengejutkan banyak negara, terutama negara tetangga.
Nah, sebagai pusat kendali operasi disiapkan pusat komando yang bernama “Jakarta Dua.” Jakarta Dua adalah sebuah konsep kota mandiri yang dijalankan dengan menerapkan manajemen “birokrat minimalis.” Jakarta Dua sengaja dibangun di “Titik Nol Derajad” Khatulistiwa di Kalimantan sebagai “adik” ibukota Jakarta. Kota Mandiri ini diharapkan dapat menjadi sebuah solusi jangka pendek guna membuka lapangan kerja baru secara besar-besaran dalam rangka menciptakan lumbung pangan dan energi nasional. Membagi beban “Sang Kakak” yang sudah terlampau berat.
Jakarta Dua dibangun terintegrasi dan terkoneksi langsung dengan kawasan pemukiman, kawasan industri terpadu, bandara, Trans Kalimantan, kota-kota perbatasan, kluster pangan, kluster papan, kilang minyak serta pelabuhan. Jakarta Dua menjadi jantung kehidupan yang mensuplai berbagai kebutuhan operasi Non Militer di Kalimantan, khususnya di perbatasan – sekaligus sebagai Pusat Komando Pertahanan Nusantara II yang meliputi kawasan Indonesia bagian Tengah.
Sebagai jalur penghubung utama antar kawasan adalah jalan Tol Samarinda sampai Entikong. Jalan Tol Trans Kalimantan merupakan proyek infrastruktur multifungsi raksasa yang akan menjadi “ikon” Jakarta Dua. Jalan Tol dibangun melintas diatas kluster-kluster pangan hingga menyusuri alur jalur perbatasan. Teknologi pembuatan Tol Trans Kalimantan diharapkan adalah hasil karya anak bangsa yang berasal dari berbagai perguruan tinggi di tanah air .
Dan sebagai pendukung operasi Perang Non Militer, Bandara Jakarta Dua dibangun terintegrasi dengan Jalan Tol Trans Kalimantan. Bandara dibangun dengan konsep minimalis dan terpadu. Bahkan Jalan Tol Trans kalimantan bisa digunakan sebagai landasan pacu pesawat tempur, pesawat angkut Hercules dan komersil sekelas Boeing 737. Demikian pula dengan Bandara Entikong, terintegrasi dengan Jalan Tol Trans Kalimantan.
Bila pembangunan kluster pangan dan kluster papan dan kluster industri sudah berjalan, maka jumlah penerbangan Kalimantan – Jawa akan sangat padat. Seandainya ada 1 juta orang yang berasal dari Pulau Jawa hilir mudik setiap minggu ditambah 1 juta orang pulau Sulawesi juga hilir mudik. Bisa-bisa pesawat terbang menjadi bus “Trans Jakarta” yang mengantar orang hilir mudik setiap 10 menit. Bayangkan berapa besar jumlah penerbangan Jawa – Kalimantan. Disinilah fungsi Jalan Tol Trans Kalimantan yang multifungsi. Bahkan bila perlu bisa diintegrasikan dengan Jalur Kereta Api Trans Kalimantan. Dream, dream, dream...
Sumber : GFI
good idea,''
BalasHapusMerinding deh gue...membayangkan kemajuan Indonesia
BalasHapusKlo ada kemauan pemerintah y jg d jalan kan pasti y indonesia akan menjadi negara d segani
BalasHapusKlo ada kemauan pemerintah y jg d jalan kan pasti y indonesia akan menjadi negara d segani
BalasHapusTetapi apa bisa indonesia maju apabila pejabat dan pemimpin negeri ini hanya punya jiwa BABU
BalasHapusTetapi apa bisa indonesia maju apabila pejabat dan pemimpin negeri ini hanya punya jiwa BABU
BalasHapus